Konten Media Partner

Rumah Berdaya di Denpasar: Mengikis Stigma, Mengatasi Dampak Skizofrenia

10 April 2021 16:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para penyandang skizofrenia berolahraga bersama sebagai bagian dari terapi kesehatan di rumah berdaya
zoom-in-whitePerbesar
Para penyandang skizofrenia berolahraga bersama sebagai bagian dari terapi kesehatan di rumah berdaya
ADVERTISEMENT
DENPASAR- "Penderita skizofrenia itu susah karena sudah mendapat stigma dari masyarakat, kalau kita diam, dianggap kumat, malah kalau kita tertawa lepas dianggap kumat juga," begitu ungkap Nyoman Sudiasa, Koordinator Rumah Berdaya simpul Denpasar.
ADVERTISEMENT
20 tahun lalu, pria itu didiagnosa mengidap skizofrenia atau gangguan kejiwaan oleh dokter. Kala itu, pemahamannya dan masyarakat di tempat tinggalnya di Singaraja mengenai jenis gangguan psikis ini masih sangat terbatas. "Pengobatannya dulu ke Balian (dukun-red)," ungkapnya.
Awalnya Sudiasa merasakan gejala itu, ia merasa ada suatu hal yang aneh pada dirinya. Sesuatu itu begitu sulit untuk diungkapkan, namun yang jelas dia mulai merasakan cemas berlebih. Bahkan, kemanapun ia pergi seperti ada yang mengawasi. "Saya mulai mendengar suara-suara di dalam kepala saya, sampai saya sangat sulit untuk tidur (insomnia akut)," ungkapnya.
Belajar menulis cerita menjadi bagian dari terapi di rumah berdaya - WIB
Waktu terus berlalu, namun dia tak menggubris tentang apa yang dirasakannya, hingga pada suatu ketika Sudiasa tiba-tiba mengamuk tanpa sebab di tempat kerjanya. Ia mulai membanting barang sembari mengucapkan kata-kata yang tidak jelas. "Saya kemudian diikat oleh teman-teman, dan dibawa ke rumah sakit," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Saat dirawat di rumah sakit, dokter bagian psikiatri menjelaskan bahwa ia mengalami gangguan kejiwaan. "Baru saat itu saya baru ngeh kalau mengidap skizofrenia," kenangnya.
Sebetulnya, sampai saat ini Sudiasa belum pulih dari Skizofrenia, namun kini kondisinya sudah stabil. Kendati ia masih kerap minum obat dan terapi supaya kesadarannya tetap terjaga.
Berinteraksi dan bersantai menjadi hal yang sangat penting - WIB
Ia bercerita, saat ia gangguan psikis itu kambuh, ia kerap merasakan dirinya seperti manusia yang spesial. Sampai-sampai ia mengklaim seperti titisan tuhan yang datang untuk menyelamatkan umat manusia. "Saya seperti dapat membaca pikiran seseorang ataupun punya indera ke-6 namun, saya baru tahu dari dokter bahwa itu adalah skizofrenia," ungkapnya.
Sudiasa adalah salah satu dari sekian warga yang mendapat treatment atau pemulihan di Rumah Berdaya Denpasar, sebuah tempat rehabilitasi psikososial Orang Dengan Skizofrenia (ODS) dan ODGJ di bawah naungan Dinas Sosial Pemerintah Kota Denpasar. Rumah Berdaya (RB) didirikan oleh seorang spesialis kedokteran jiwa (Psikiater) Dr. I Gusti Rai Putra Wiguna pada bulan September 2016.
ADVERTISEMENT
Fasilitas ini berada di Jl Raya Sesetan Nomor 280, Denpasar Selatan. Tujuan utamanya, terang Dr Rai adalah untuk mengikis stigma masyarakat terhadap ODGJ yang selama ini kerap dikenal sering menggelandang di jalan, tidak berguna, kotor mengganggu. " Yang negatif-negatif lah, kita ingin menampilkan sudut pandang berbeda, bahwa ODGJ kalau diobati secara rutin oleh medis bisa pulih, stabil dan menjadi seperti masyarakat pada umumnya," ujarnya lagi.
Rumah berdaya berada di Jl Raya Sesetan Nomor 280, Denpasar Selatan - WIB
Bersama dengan beberapa pasiennya yang telah mengalami pemulihan, dokter ahli jiwa itu memutuskan untuk membuat lembaga sebagai penaung orang dengan Skizofrenia agar hidupnya lebih bermanfaat.
“Kita tidak bisa menghapus kata gila dari kamus besar bahasa Indonesia. Kita tidak bisa melarang orang lain untuk berkata eh, itu gila. Tapi memberi makna yang lain dan berbeda pada kata gila, tentu kita bisa. Karena dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata gila juga mempunyai arti luar biasa, sehingga sedikit demi sedikit arti kata gila akan bergeser maknanya. Jadi misi kami membuat masyarakat memakai kata gila untuk makna yang luar biasa.” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Skizofrenia adalah gangguan mental jangka panjang yang menyebabkan penderitanya mengalami halusinasi, delusi, kekacauan berpikir, dan perubahan perilaku. Gejala itu merupakan gejala dari psikosis, yakni kondisi di mana penderitanya kesulitan membedakan kenyataan dengan pikirannya sendiri.
Nyoman Sudiasa, Koordinator Rumah Berdaya - WIB
Warga yang tercatat mendapatkan perawatan di tempat ini ada sekitar 60 orang lebih. Meski begitu yang benar-benar 'dirawat' sekitar 30 orang ODGJ. "Kan banyak kawan-kawan yang kini sudah stabil dan hidup normal seperti manusia, kita sebut alumni lah," sambungnya.
Dr Rai mengutarakan, ODS maupun ODGJ yang mendapat pemulihan di Rumah Berdaya tidak dipisahkan dari keluarganya. Konsep pelayanan di sana tak jauh seperti sekolah, pagi datang, sore pulang. "Ada mobil jemputan, kebetulan dibantu oleh Pemkot Denpasar dipinjami mobil, ini diperuntukan untuk teman-teman yang kesulitan kesulitan akses ke sini, jadi kota antar jemput dan pulang," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Namun karena pandemi COVID-19 warga yang datang berkurang drastis. "Paling banyak 15 orang per hari," ungkapnya.
Sudiasa menyambung, terdapat dua aktivitas upaya pemulihan yang dilakukan di RB, yaitu bersosialisasi dan produksi. "Sosialisasi yaitu upaya untuk mulai berinteraksi, salah satunya ya mengajak teman untuk mulai bisa komunikasi, belajar ngobrol," ujarnya.
Berbagai kegiatan produktif dilakukan agar dapat mengatasi masalah kesejahteraan - IST
Bagi masyarakat pada umumnya, komunikasi adalah hal yang sepele. Namun beda bagi ODGJ. Terdapat sebuah program dalam sosialisasi, yakni 'MeGae' atau grup art expression dimana para warga mengekspresikan apa yang dirasakan melalui seni seperti menulis puisi, melukis bernyanyi. "Kita arahkan ke teman-teman untuk mengekspresikan perasaan secara kondusif, kita arahkan seumpama sedang kesal, kita arahkan untuk menulis apa yang dirasakan supaya tidak ada yang mengganggu orang lain," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Kemudian yaitu produksi, yakni menghasilkan sesuatu yang mempunyai nilai ekonomis. "Ada membuat dupa, tas sablon, sampai cuci motor," terangnya lagi.
Rumah Berdaya (RB) berfokus pada pengembangan kognitif dan berkarya bagi pengidap ODGJ. "Kalau ditanya apakah skizofrenia bisa sembuh, kita tidak menggunakan kata sembuh tapi pulih, stabil, yang artinya bisa jaga diri, bisa komunikasi dan interaksi dengan orang-orang serta produktif, walau masih harus terapi medis dengan obat untuk menjaga kestabilan," tandasnya.
Kedepannya, menumbuhkan empati yang konstruktif perlu dikembangkan di masyarakat. Perlu ada komitmen bersama untuk menghilangkan stigma tentang ODGJ yang terbentuk dalam pemikiran masyarakat yang kerap memberikan komentar tanpa intropeksi diri. (Kanalbali/WIB)