Konten Media Partner

Sengap soal Tarian Rangda: Bila Ditarikan Asal-asalan Bisa Berujung Bencana

4 Maret 2021 16:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
 Mangku Nyoman Ardika alias Sengap (kaos hitam) saat menjadi pembicara dalam jumpa pers di Kubukopi, Bali - WIB
zoom-in-whitePerbesar
Mangku Nyoman Ardika alias Sengap (kaos hitam) saat menjadi pembicara dalam jumpa pers di Kubukopi, Bali - WIB
ADVERTISEMENT
DENPASAR - Personel Kelompok Bondres Celekontong Mas, Mangku Nyoman Ardika atau yang kerap disapa Sengap menuturkan, seorang penari Rangda harus memenuhi berbagai syarat. Bukan hanya secara jasmani dan rohani, tapi juga secara niskala (gaib) untuk dapat menarikan jenis tarian sakral itu.
ADVERTISEMENT
“Saya tidak melarang orang belajar menari rangda. Saya sangat mendukung. Namun harus bisa memposisikan, mana yang sakral, mana yang hanya hiburan,” ungkapnya Kamis (04/03/21).
Sengap menjelaskan, penari rangda pada ranah ritual, sudah dikategorikan sebagai pemangku (rohaniawan). Sementara jika seorang penari belum melaksanakan pawintenan (ritual pengesahan) saraswati, belum boleh belajar aksara, ia mengimbau lebih baik jangan menarikan jenis tarian sakral itu.
Tapel (topeng) rangda sendiri merupakan barang yang sakral dan berfilosofis, mulai dari konsep rambut yang panjang nyapu jagat, hingga lidah menjulur yang melambangkan kesaktian.
Ia menilai, saat ini masih banyak penari rangda yang asal-asalan menggunakan tapel rangda dan menarikannya sehingga terjadi kecelakaan. "Padahal seorang penari rangda harus memiliki tiga taksu yakni sasaluk yang bermakna belajar dengan benar, lintang trenggana yang berarti memiliki aura, dan pengider bhuana atau wawasan," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Tarian Rangda yang mempunya dimensi gaib di Bali - IST
“Siapa yang boleh memiliki rangda? Kalau untuk seni pergunakan untuk seni, jangan dipakai ritual. Sekarang banyak yang memiliki rangda, melakukan napak pertiwi. Napak pertiwi dilakukan jika mempunyai pertigaan atau perempatan. Makanya kalau calonarang murni, setelah menari di kalangan, rangda akan menuju ke pempatan atau setra,” imbuhnya lagi.
Sementara di beberapa tempat di Bali, seperti di Tabanan, sebelum rangda tersebut mesolah (ditarikan) harus berdasarkan pawisik (bisikan ataupun fenomena mistis). "Semisal, sehari sebelum pentas, tapel rangda dipasangi bunga, jika bunga tersebut tidak layu, maka boleh dipentaskan. Sementara apabila bunga tersebut layu, maka tidak diijinkan untuk dipentaskan," terangnya.
Mangku Nyoman Ardika atau yang kerap disapa Sengap saat diwawancarai wartawan - IST
Menurut Sengap, agar tak terjadi hal-hal yang tak diinginkan, seorang penari rangda harus mengikuti SOP yang ada.“Kalau saya sebelum pentas selalu menanyakan, yang dipentaskan itu rangda sesuhunan (dipuja) atau bukan. Jika sesuhunan maka saya akan bersembahyang di pura tempat saya pentas dan menyerahkan diri saya di sana,” katanya.
ADVERTISEMENT
Sengap akan menjadi salah-satu pembicara pada talkshow dan webinar dengan tema ‘Sasana Tari Rangda’ yang akan digelar Sabtu (06/03/21) oleh Kagama Bali. “Nanti akan kita bicarakan lebih dalam soal ini, saya juga akan memberikan pandangannya terkait pembagian tiga wilayah rohani di Bali, yang dijadikan 'kiblat' dalam tari rangda, baik secara sarana upacara, maupun gelaran tariannya sendiri,” katanya.
Ketiga pembagian wilayah itu juga berpengaruh kepada jenis upacara, maupun karakteristik di berbagai tempat. "Memang di Bali hulunya adalah Matahari dan Gunung. Kalau di Bali ada 3 patokan yaitu, Mahawidya dengan hulunya gunung Batukaru (Tabanan) dengan simbol Pertiwi dengan rangda aeng (wujud menyeramkan)," ungkapnya
Lalu Maharata dengan hulu Gunung Batur (di Kabupaten Bangli) dengan simbol Barong Landung Jegeg (indah) dan Aeng. Dan Maha Agung dengan hulunya gunung Agung (Karangasem) dengan karakteristik Bagus ataupun Jegeg. Sengap akan menjelaskan secara lebih dalam pada gelaran webinar Sabtu mendatang. (Kanalbali/WIB)
ADVERTISEMENT