Konten Media Partner

Soal Perpecahan PHDI, Akademisi di Bali Ini Anggap Sudah Warisan Turun Temurun

4 November 2021 10:03 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Berbagai spanduk yang meminta pembubaran Hare Khrisna dan Reformasi PHDI dalam sebuah unjuk rasa di Bali - WIB
zoom-in-whitePerbesar
Berbagai spanduk yang meminta pembubaran Hare Khrisna dan Reformasi PHDI dalam sebuah unjuk rasa di Bali - WIB
ADVERTISEMENT
Organisasi Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) kembali berada dalam posisi terpecah setelah adanya dua versi kepengurusan. Akademisi sekaligus Pengamat Sosial-Agama dari Universitas Hindu Indonesia I Gusti Agung Paramita menilai, konflik itu sudah memiliki akar yang cukup panjang dan turun menurun.
ADVERTISEMENT
"Kita tidak bisa melihat konflik internal Parisada sekarang dengan kacamata saat ini, karena ini adalah konflik historis yang belum selesai," katanya saat ditemui, Selasa (02/11/21).
Majelis tertinggi umat Hindu di Indonesia itu juga sempat mengalami perpecahan tahun 2001-2002 silam dimana terdapat pengurus Parisada versi Campuhan dan versi Besakih. Saat itu Parisada Pusat dan Bali saling tidak mengakui. "Sampai saat ini belum ada rekonsilisasi yang baik. Isu-isu yang menjadi pemicu konflik juga hampir sama seputar sampradaya," jelasnya.
Sampai saat ini, permasalahan itu ternyata belum selesai. Menurutnya, Bali selalu memiliki dua aspirasi yang belum terakomodir dengan baik. Yakni, PHDI harus dipimpin oleh unsur pandita, dan kedua tidak memasukkan kelompok sampradaya.
"Dari dulu aspirasi Bali selalu seperti itu. Meskipun di Bali sendiri terpecah, kita tidak bisa mengatakan seluruh masyarakat Bali menolak sampradaya. Karena ada juga yang mengikuti aliran itu. Ini adalah efek dari dinamika internal yang terjadi di Bali. Banyak alasan umat Hindu di Bali memilih ikut dalam kelompok spiritual tersebut,” papar penulis buku Wajah Tuhan dan Sifat Pemuja ini.
Aksi massa menolak Mahasabha PHDI dan meminta sampradaya tak dilindungi oleh PHDI - WIB
Gung Paramita menyebut, polemik ini kembali memuncak sejak pandemi virus corona mulai mewabah, saat banyak warga Bali kehilangan pekerjaannya.
ADVERTISEMENT
"Awal tahun 2020 ketika COVID-19 mulai menyebar, pariwisata Bali terpukul, masyarakat semakin punya banyak waktu untuk main medsos. Akhirnya isu-isu identitas semakin mendapat perhatian publik. Polemik di media sosial ini melahirkan gerakan-gerakan penolakan sampradaya sampai turun ke jalan. Bisa dikatakan, media sosial memang jadi media efektif menggalang pergerakan," ungkapnya.
Isu itu semakin menjalar bak api membakar semak kering, saat masyarakat Bali meributkan video-video pidato salah satu politisi yang cukup kontroversial. Lewat media sosial mereka meributkan video yang sesungguhnya sudah beredar sejak lama.
Politisi itu dianggap terafiliasi dengan International Society for Krishna Consciousness atau ISKCON. "Ketika muncul video itu, akhirnya ramai di media sosial sampai melahirkan gerakan untuk menolak sampradaya. PHDI juga didesak untuk mencabut pengayoman,” paparnya.
ADVERTISEMENT
Mahasaba Luar Biasa atau MLB yang mencuat beberapa waktu lalu, merupakan puncak atas reaksi penolakan sampradaya. MLB 19 September lalu menetapkan Marsekal TNI (Purn) Ida Bagus Putu Dunia sebagai Ketua Umum PHDI Pusat periode 2021-2026, dan Komang Priambada selaku Sekertaris.
Banyak pihak yang menyebut MLB itu ilegal. Namun, ada juga yang mengatakan Mahasaba PHDI XII yang berlangsung akhir Oktober lalu di Jakarta juga tidak memiliki relevansi.
"Dulu ada perpecahan Parisada Campuhan dan Besakih, sekarang ada MLB dan Parisada Mahasaba. Ujung-ujungnya kita terus mewarisi konflik masa lalu yang tak kunjung selesai. Mestinya semua kalangan mulat sarira, intropeksi diri dan mencari jalan keluar yang baik," ucapnya.
Satu-satunya jalan yang dapat ditempuh atas polarisasi ini, menurutnya adalah rekonsiliasi atau musyawarah. Baik di tingkat bawah atau akar rumput maupun di tingkat elit. Kalau bisa, PHDI membangun rekonsiliasi menampung aspirasi-aspirasi dari umat Hindu, semua aspirasi harus ditampung.
Pengamat Sosial-Agama dari Universitas Hindu Indonesia I Gusti Agung Paramita - WIB
"Ini bukan hanya di grassroot, ini juga konflik elit. Elit ini mendukung ini, elit itu mendukung itu, jangan sampai ada unsur politik. Karena elit ini juga elit politik juga. Sementara umat Hindu diombang-ambing olehnya," tegasnya.
ADVERTISEMENT
Sejatinya, untuk mencapai musyawarah yang diinginkan, peran perguruan tinggi juga sangat diharapkan untuk membantu melihat lebih jernih polemik itu. Namun persoalannya, para akademisi maupun perguruan tinggi Hindu belum banyak tampil untuk menjernihkan persoalan tersebut.
"Ada ketakutan atau stigmatisasi. Misalnya saja ketika saya berbicara soal Hare Krishna sudah dianggap sebagai HK, begitu sebaliknya. Jadi ada upaya penstempelan. Mungkin ini yang menyebabkan akademisi takut berwacana di medsos. Mestinya jangan takut, akademisi harus bicara berdasarkan data, fakta, konsep dan teori, terlebih berangkat dari kajian," terang Agung Paramita.
Perguruan tinggi harus jadi agen yang mencerahkan publik, jangan justru dibuat terombang-ambing oleh gerakan di bawah. Akademisi mesti punya sikap. "Jika kita tidak menyelesaikan masalah ini sekarang, artinya kita akan mewarisinya kepada anak cucu nanti. Mewarisi konflik historis yang tak diselesaikan,” tutupnya. (Kanalbali/WIB)
ADVERTISEMENT