Konten Media Partner

Tumpek Uduh, Hari Raya Penghormatan kepada Pohon di Bali

22 Agustus 2020 14:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sesaji diletakkan di batang pohon saat Tumpek Uduh - WIB
zoom-in-whitePerbesar
Sesaji diletakkan di batang pohon saat Tumpek Uduh - WIB
ADVERTISEMENT
"Dadong dadong, I Kaki kije ?. Kaki Gelem. Gelem kenken ?. Gelem kebus dingin ngetor ngeed...ngeed..ngeed... Apang nged mabuah apang ade anggon ngegalung buin selae lemeng" . Begitu ucap Kadek Wiradana kepada pohon jeruk bali yang mulai berbunga di pekarangan rumahnya daerah Jl Teuku Umar Sabtu (22/08).
ADVERTISEMENT
Begini kira-kira artinya, "Nenek, nenek, kakek di mana? Kakek sakit. Sakit kenapa? Sakit demam. Lebat...lebat...lebat. Biar bisa bisa untuk galungan tinggal dua puluh lima hari lagi".
Sembari mengucapkan itu, tangan kanannya memberi sedikit luka pada batang pohon dengan sebilah pisau. Hal yang sama ia lakukan pada pohon kamboja, kenanga, lemon yang tumbuh di sekitaran rumah.
Sesaji ditempatkan di pohon - WIB
Ucapan dan kegiatan itu dilakukannya serangkaian Tumpek Uduh yang juga disebut Tumpek Wariga, Tumpek Bubuh atau Pengatag. Hari istimewa ini dirayakan setiap enam bulan sekali pada hari Saniscara (Sabtu) Kliwon, wuku Wariga (penanggalan Hindu) tepat 25 hari sebelum Hari Raya Galungan.
Pemujaan saat Tumpek Uduh ditujukan manifestasi Tuhan sebagai Dewa Sangkara penguasa tumbuh-tumbuhan. “Tumpek Uduh merupakan upacara berkaitan dengan lingkungan, terutama melestarikan tumbuhan. Doa supaya berbuah lebat, berbunga, punya kualitas bagus,” ungkap Gede Agus Dharma Putra salah satu cendikiawan Hindu.
ADVERTISEMENT
Galungan merupakan hari kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (keburukan). Pada hari itu, umat Hindu sembahyang menggunakan sarana buah dan bunga. Buah dan bunga identik dengan berbagai upacara umat Hindu. Usai persembahyangan, buah-buahan dikonsumsi.
Dharma mengatakan, sebutan Dadong kepada tumbuhan saat Tumpek Unduh ditujukan pada Tuhan dalam manifestasi sebagai Sang Hyang Sangkara, penguasa tumbuh tumbuhan. “Agar memberikan anugerah kepada mangga, durian, pisang, dan pohon pohon lain, supaya buah bisa cepat matang, lalu untuk Galungan,"terangnya.
Tumpek wariga, kata Sudiana, merupakan kearifan lokal dari para leluhur agar warga selalu menjaga lingkungan dengan selalu menanam pohon di pekarangan. "Dalam literatur kuno, Lontar Sundarigama memuat pelaksanaan saat Tumpek Uduh, termasuk banten dan maknanya," terang pria yang merupakan Dosen di Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa (dulu IHDN Denpasar). ( kanalbali/WIB )
ADVERTISEMENT