Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Citra Sosial dalam Novel “Aib dan Nasib” Karya Minanto
4 November 2022 19:57 WIB
Tulisan dari Kanaya Afflaha Nissa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Novel “Aib dan Nasib” karya Minanto adalah pemenang sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta 2019. Minanto menyusun novel ini dengan sangat menarik. Cerita yang terbagi dengan beberapa bagian, sehingga membuat pembaca penasaran dan ingin segera menyelesaikannya. Setelah saya menuntaskan untuk membaca novel ini, isu yang menurut saya menarik dalam novel Aib dan Nasib ini ialah citra sosial. Citra sosial yang saya maksud adalah penggambaran mengenai sifat-sifat kemasyarakatan (sifat suka memperhatikan umum, suka menolong, dan sebagainya). Pada artikel saya kali ini, saya akan membahas citra sosial beberapa tokoh dalam novel “Aib dan Nasib”. Mari disimak~
ADVERTISEMENT
Sifat-sifat kemasyarakatan yang dituangkan oleh Minanto dalam novelnya ini sangat menarik. Mulai dari awal sampai akhir, kita diberikan penggambaran mengenai sosial yang ada di Desa Tegalurung (baik seluruh masyarakatnya, maupun tokoh-tokoh utama yang terdapat dalam novel ini). Masyarakat di Desa Tegalurung saling bantu-membantu ketika tetangganya sedang mendapat musibah, seperti kematian. Tetapi mereka juga suka membicarakan satu dengan yang lainnya. Semua itu terdapat pada penggalan novel berikut :
Pagi selepas subuh, pengeras suara musala Nurul Bayyinah mengumumkan berita kematian Marlina. Kabar itu disiarkan tiga kali dan memohon kesudian orang-orang Tegalurung untuk bantu-bantu mengurus jenazah di rumah Nurumubin. Ketika langit agak merekah, barulah para bapak jamaah musala berbondong-bondong mendatangi rumah duka sedangkan para ibu mengekor sembari menjinjing kantong plastik berisi beras tanda belasungkawa. (hal. 3-4)
ADVERTISEMENT
Malam itu, dengan dipertontonkan sinetron Cinta Suci, beberapa pembeli siap berlama-lama menduduki kursi Panjang Inem sembari ia mengambilkan satu-satu barang keperluan masing-masing. Mereka adalah bapak-bapak dan ibu-ibu. Salah seorang perempuan membuka percakapan, “Itu kasihan sekali Kiai Jamaluddin. Dia mengurus tiga jenazah dalam sehari.” (hal. 262)
Berdasarkan penggalan novel di atas, digambarkan bahwa masyarakat Tegalurung memiliki perilaku positif yaitu suka menolong satu dengan yang lain. Tetapi dibalik perilaku positif mereka, terdapat pula perilaku negatif yang sangat melekat pada diri mereka yaitu suka menggunjing atau mengumpat (membicarakan kekurangan orang lain; memfitnah).
Salah satu tokoh yang bernama Yuminah, digambarkan oleh Minanto mempunyai sifat suka memperhatikan umum dan suka menolong, Yuminah suka menolong keluarga Mang Sota (Baik kepada Mang Sota sendiri, maupun kepada anak Mang Sota; Uripah ataupun kepada cucu Mang Sota; Duloh). Tergambar dalam beberapa penggalan novel berikut :
ADVERTISEMENT
Selepas ikamah magrib pintu dapur diketuk, dan seperti biasa pintu itu tidak akan terbuka penuh lantaran menggesek lantai tanah lempung. Jika ingin dibuka penuh, diperlukan tenaga lebih besar dan susahlah dilakukan dari luar. Mang Sota melongokkan kepala saat tahu Yuminah membawa sepiring nasi dan tempe goreng. Tak lama tadi sewaktu azan magrib ia juga sudah datang dari pintu depan membawakan jajanan sisa kondangan. (hal.5-6)
Orang-orang seantero Tegalurung beranggapan Mang Sota adalah seorang pembunuh setelah ia didapati terisak merangkul jenazah Turi. Tentu saja anggapan itu membikin panas kepala Mang Sota sehingga ia berpikir tidak sekali untuk menjotos satu-satu orang Tegalurung.
“Katakan padaku siapa yang bilang aku membunuh istriku sendiri, Yuminah.”
“Orang-orang bilang begitu,” kata Yuminah pada suatu hari.
ADVERTISEMENT
“Ya, siapa orang itu?”
“Semua orang kampung bilang begitu.”
“Berarti suatu saat aku harus menjotos satu-satu mulut mereka agar tidak bicara sembarangan.”
Mang Sota ingat betul justru Yuminahlah yang pertama kali mengatakan bahwa ia adalah seorang pembunuh. Demikian ia berpikir ia perlu menjotos mulut Yuminah sebelum menjotos mulut orang lain. Ketika itu, ia belumlah lepas berkabung lantaran ditinggal Turi mati. Namun, baik dulu ataupun sekarang, ia masih ingin menjotos mulut orang Tegalurung satu per satu. (hal. 32)
Ketika Turi masih hidup dan Mang Sota masih bersemangat bekerja ke sana kemari, pun Yuminah dan Saiful masih bersemangat bantu-membantu membangun rumah tangga. Mereka tinggal bersebelahan, sekadar dipisahkan oleh gang kecil. Setelah semua berubah di antara mereka, kini gang kecil itu dijadikan tempat rongsokan. Di sanalah tempat gelas-gelas plastic, kardus-kardus bekas, dan besi-besi berkarat buruan Turi dan Mang Sota ditampatkan.
ADVERTISEMENT
“Mas, kenapa kamu membiarkan sampah plastic mereka ditumpuk di samping rumah kita?” tanya Yuminah kepada Saiful.
“Samping rumah kita kan samping rumah mereka juga.”
“Ya, tapi rumah kita ikut-ikutan kotor.”
“Tidak apa-apa. Mereka tidak ada tempat penampungan lain. Toh, kalau sudah ditukar di tengkulak, samping rumah kita akan bersih lagi.”
“Ya, tapi akan kotor lagi nanti.”
“Tidak apa-apa.”
“Kenapa kamu tidak mengerti juga? Tempat itu bukan tempat kosong, tetapi sebuah gang. Tempat itu bukan sebuah gang jika kita tidak merelakan sebagai gang karena tempat itu masih tanah kita. Maka, tempat itu adalah sedekah kita buat orang-orang, sebuah amalan tak putus pahala, bukan tempat barang-barang bekas.”
“Dengan membiarkan Mang Sota dan Turi menampung hasil jerih mereka memulung di sana, itu juga amalan kita, Yum.”
ADVERTISEMENT
“Itu jelas berbeda,” sanggah Yuminah.
“Bagaimana bisa berbeda? Tolong jelaskan kepadaku lebih utama mana;hibah sebagian tanah untuk orang lain atau tetangga sebelah rumah?” (hal. 66-67)
Yuminah tidak berhenti terisak setelah menemukan jenazah Duloh terbaring dengan bau sudah tidak sedap lagi. Para tetangga mengerubungi gubuk Mang Sota. Tak satu dari mereka tidak mengungkapkan rasa penasaran terhadap Mang Sota sekaligus marah melihat kekejian di depan mata mereka. Kiai Jamaluddin belumlah pulang ke rumah setelah dari pemakaman Marlina saat Yuminah menangis memohon menjenguk ke dalam kamar bekas Uripah. (hal. 260)
Dibalik kebaikannya Yuminah kepada keluarga Mang Sota, perilaku negatif masyarakat desa Tegalurung (menggunjing) tetaplah tertanam pula di jiwa Yuminah. Serta perdebatan dengan Saiful (suaminya) juga pernah terjadi, karena Yuminah merasa sedikit terbebani oleh barang rongsokan hasil kerja Mang Sota dan Turi waktu itu membuat kotor samping rumahnya.
ADVERTISEMENT
Mang Sota memang sering menjadi bahan gunjingan masyarakat desa Tegalurung. Bukan hanya bahan omongan Yuminah dan Bi Sartinah (perempuan paruh abad penjual nasi keliling), melainkan juga menjadi bahan omongan Rusniti dan Ratminah. Terdapat pada penggalan cerpen berikut :
Mang Sota dapat mendengar jelas seorang tetangga menertawakannya setelah berkata, “Itu si Sota mulai hilang pikiran. Masa Uripah diperlakukan seperti anak lelaki. Aku jadi kasihan.”
“Kau kasihan kepada siapa? Si Sota apa si Uripah?” timpal seseorang lagi.
“Kau pikir aku harus mengasihani salah satu?”dan tergelak-gelaklah mereka.
Mang Sota mengenal mereka-dua orang perempuan bernama Rusniti dan Ratminah. Mereka, sebagaimana ia mengenal sebagian ibu-ibu kampung, suka bergunjing. Lantaran mereka tidak pernah terlibat dalam percakapan baik sengaja maupun tidak, perkataan mereka itu bukanlah masalah bagi Mang Sota. (hal. 57)
ADVERTISEMENT
Tokoh lain yang akan saya bahas mengenai citra kesosialannya dalam novel “Aib dan Nasib” ini adalah Marlina dan keluarga, serta Kaji Basuki. Marlina dan keluarga adalah warga baru di Desa Tegalurung dan mengontrak di kontrakan milik Kaji Basuki. Setelah itu, Marlina bekerja di tampat Kaji Basuki. Kaji basuki adalah sosok yang terkenal di Desa Tegalurung, ia kaya namun kikir. Masyarakat Tegalurung sangat menghormatinya, tetapi beberapa juga membicarakannya dari belakang. Kaji Basuki sangat tidak suka jika ada orang lain yang ikut campur atau menyentuh harta miliknya. Sampai-sampai Sumarta, ketua RT Tegalurung pun pernah dimarahinya. Berikut beberapa penggalan novel yang membuktikan semua itu :
Ketika baru pindah ke Tegalurung, Marlina menggendong Semanggen, sedangkan Nurumubin, Pang Randu, dan Godong Gunda bahu-membahu menggotong barang-barang masuk rumah. Barang-barang mereka telah diangkut oleh seorang tukang angkut dari pikap sewaan milik Kaji Basuki.
ADVERTISEMENT
“Untung Kaji Basuki ada pikap. Kalau enggak, kita bisa bolak-balik angkut barang pakai becak saja,” ujar Nurumubin.
Di lingkungan tetangga, mereka tidak mengenal siapa-siapa. Nurumubin pun Cuma kenal Kaji Basuki lantaran ia pernah membeli bahan material bangunan di toko milik Kaji Basuki. Selain itu mereka pernah berjumpa di kota. (hal. 30)
“Tidak ada pilihan lain,” kata Nurumubin. “Tapi kita selalu ada kesempatan untuk menabung saat musim panen nanti. Hasil catu bisa kita jual nanti.”
“kudengar sawah milik Kaji Basuki itu berhektar-hektar.”
“Ya.” (hal. 31)
“Selama sebulan ini Kaji Basuki bilang apa kepadamu?”
“Tidak bilang apa-apa.”
“Masa?”
“Barangkali dia bilang sesuatu tentang aku, atau tentang mendiang ibumu, atau barangkali sekadar memuji hasil pekerjaanmu.”
ADVERTISEMENT
“Kaji Basuki itu bos. Dia tidak akan muncul di Gudang. Sekali muncul ia Cuma melihat-lihat saja. Mana mungkin dia mengajakku mengobrol.”
“Bagaimanapun juga dia majikanmu. Kau harus menunjukkan sikap baik.”
“Ya.” (hal. 24)
Biarpun tanah itu kosong dan tak urus, ia dirangkul dengan pagar bamboo dan selalu diperbarui jika sudah kelihatan keropos. Sumarta, ketua RT setempat, pernah menerobos demi mencari cacing tanah-barangkali untuk umpan pancing- dengan merobohkan satu sisi pagar. Melalui laporan satu satu pekerja di toko material bangunan, Kaji Basuki mengetahui itu. Ia kemudian mendatangi rumah Sumatra, berteriak-teriak hingga Sumarta keluar rumah, lantas memarahi bapak RT itu. (hal.34-35)
Citra kesosialan pada tokoh Boled Boleng beserta keluarga (Ibunya; Ratminah dan ayahnya; Baridin) novel “Aib dan Nasib” juga menarik. Boled Boleng yang bandel, serta Baridin yang suka memarahi bahkan memukul anaknya tanpa malu ditonton oleh masyarakat Telagulurung, serta kesabaran Ratminah akan menghadapi sikap suaminya yang kasar terhadap anaknya tersebut. Boled Boleng mempunyai sifat yang sangat berani, sampai-sampai ia berani memasuki perkarangan punya Kaji Basuki. Penggambaran semua itu, terdapat dibeberapa penggalan novel berikut :
ADVERTISEMENT
Boled Boleng dipukuli dengan gagang sapu dan ia bisa saja lumat jika tidak dilerai oleh Ratminah. Namun malang tetap menimpa Boled Boleng dan Ratminah lantaran Baridin tidak segan memukul mereka jika bocah itu tetap membatu di teras rumah. Dengan agak terisak, Ratminah meminta Boled Boleng pergi. Dan dengan muka datar tanpa rasa bersalah Boled Boleng melenggang pergi, sedangkan Ratminah menarik-narik lengan Baridin agar anak mereka itu tidak sampai kena pukul.
“Malu, Pak. Malu sama tetangga,” isak Ratminah. Sedangkan tak satu pun tetangga, yang menonton mereka, berani melerai pertikaian itu. Sebagai tindakan pamungkas, Baridin melemparkan sapu itu sampai mengenai ubun-ubun Boled Boleng. Bocah itu berjingkat, lalu ia menggaruk-garuk kepala, tetapi tidak sedikit pun ia menoleh ke arah datang sapu itu. (hal. 29)
ADVERTISEMENT
Tengah siang itu setelah zuhur, dengan membawa sebuah ranting, Boled Boleng setengah berlari menuju pekarangan itu. Bukan tanpa alasan kedua pemuda bengal itu memaksa Boled Boleng menggali tanah Kaji Basuki. Sebagaimana orang-orang mengenal Kaji Basuki sebagai lelaki kikir, orang-orang selalu berhati-hati jika bersentuhan dengan harta benda milik lelaki itu. Tidak rumah gedong dan lumbung padi, tidak mobil dan sepeda motor-sepeda motor, tidak kandang kambing, tidak pula pekarangan kosong yang ditumbuhi semak belukar yang tidak terurus. (hal. 34)
Jika ketua RT saja dapat dipermalukan, orang-orang pastilah tambah menghormati, atau justru mencemooh, Kaji Basuki. Seseorang pernah berseloroh haruslah ia membangun tenda di pekarangan itu agar tidak tersentuh panas dan hujan. Para jongosnya mungkin masih hormat, tetapi para tetangganya pasti diam-diam mencemooh. Yang jelas hampir setiap orang tidak sudi bersentuhan dengan harta benda milik Kaji Basuki, termasuk pekarangan kosong itu, kecuali seorang Boled Boleng. (hal. 35)
ADVERTISEMENT
Masyarakat desa Tegalurung ada yang menghormati, tetapi ada pula yang mencemooh Kaji Basuki. Banyak sekali yang tidak menyukai sikap Kaji Basuki yang sangat kikir dan sombong itu. Kaji Basuki mencalonkan dirinya sebagai ketua partai kuning. Ia aktif membagikan uang ataupun sembako dan menebar janji (ingin membangun masjid dan juga madrasah) kepada masyarakat desa Tegalurung. Sampai pada akhirnya, ia tidak terpilih. Kaji Basuki jatuh miskin dan menagih semua utang-utang masyarakat desa Tegalurung dan membatalkan semua janjinya itu.
Boled Boleng adalah sosok lelaki pemberani, ia terkenal sebagai seorang yang gila. Tetapi ada pula yang beranggapan bahwa Boled Boleng pura-pura gila. Ia berteman dengan Susanto dan Bagong Badrudin. Tetapi pertemanan mereka selalu diliputi dengan pertengkaran atau saling melukai satu dengan yang lainnya. Mereka semua sangat suka berkelahi jika untuk menyelesaikan suatu permasalahan.
ADVERTISEMENT
Marlina menikahi Eni (Marlina sangat mencintai Eni, walaupun Eni adalah seorang janda) yang sebenernya diawal tidak disetujui oleh bapaknya Marlina (Nurumubin). Bapaknya Marlina tidak enak hati kepada Eni karena kondisi keluarganya yang miskin. Tetapi pada akhirnya Marlina dan Eni pun menikah. Sampai akhirnya Eni pergi keluar negri untuk bekerja demi keluarganya.
Jadi, pada novel “Aib dan Nasib” ini penulis mengemas citra sosial dengan sangat menarik disetiap tokohnya. Saya memberikan kesimpulan bahwa tidak semua yang baik atau perhatian kepada kita, tidak mungkin membicarakan kita dari belakang (menggunjing). Karena sudah jelas dipaparkan pula pada novel ini, Yuminah yang selalu membantu Mang Sota pun ikut mengunjing dengan masyarakat Desa Tegalurung yang lain mengenai kehidupan Mang Sota. Masyarakat desa Tegalurung mempunyai sifat sosial yang berbeda-beda, namun yang sangat menonjol pada novel ini dalah sifat negatif mereka semua yaitu suka menggunjing atau membicarakan kekurangan oranng lain.
ADVERTISEMENT