Konten dari Pengguna

Mencapai Target Pertumbuhan Ekonomi Tanpa Pengendalian Korupsi: Mungkinkah?

Kanetasya Sabilla
Peneliti bidang ekonomi makro dan pembangunan di Direktorat Kebijakan Ekonomi, Ketenagakerjaan, dan Pengembangan Regional, Badan Riset dan Inovasi Nasional
11 November 2024 16:34 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kanetasya Sabilla tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kawasan perkantoran di Jakarta (Sumber: Iqro Rinaldi via Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Kawasan perkantoran di Jakarta (Sumber: Iqro Rinaldi via Unsplash)
ADVERTISEMENT
Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa pemerintahannya menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 8 persen pada masa jabatannya. Menurutnya, target ini merupakan sebuah keharusan agar Indonesia dapat menjadi negara maju dan keluar dari jebakan kelas menengah (middle income trap).
ADVERTISEMENT
Namun, melihat data historis, Indonesia belum pernah mencapai pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen pasca berakhirnya era orde baru. Di tengah ketidakstabilan ekonomi dunia pasca pandemi COVID-19, target pertumbuhan ini tentu terlihat sangat sulit untuk dicapai.
Menurut Wakil Menteri Keuangan, Thomas Djiwandono, target pertumbuhan ekonomi ini dapat diraih dengan memanfaatkan mesin pertumbuhan baru seperti ekonomi digital dan hijau melalui pengembangan inovasi. Selain itu, Thomas juga menekankan pentingnya pembangunan sumber daya manusia (SDM) melalui investasi di sektor pendidikan, keterampilan, dan kesehatan.
Mengejar target pertumbuhan ekonomi dengan mengembangkan inovasi dan membangun SDM bukanlah hal yang keliru. Sudah banyak teori dan studi empiris yang mendukung pendapat tersebut. Namun, untuk mengejar target pertumbuhan tinggi, tata kelola yang baik juga akan menjadi kunci pertumbuhan, salah satunya dengan pengendalian korupsi.
ADVERTISEMENT
Banyak penelitian yang menjelaskan bagaimana korupsi dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Secara empiris, korupsi dapat mengurangi inovasi dan berkembangnya pekerjaan baru sehingga dapat menurunkan minat investor asing untuk berinvestasi secara langsung. Selain itu, investor asing juga cenderung lebih memilih untuk memberikan investasi kepada pemerintah yang lebih efektif dan efisien. Korupsi juga dapat meningkatkan harga barang dan jasa serta menyebabkan semakin timpangnya distribusi kekayaan.
Penelitian terdahulu juga umumnya menyebutkan bahwa pengendalian korupsi lebih efektif meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada negara berpendapatan rendah dan menengah ke bawah. Sementara itu, di negara berpendapatan menengah ke atas dan tinggi, variabel lainnya seperti perdagangan internasional dan sumber daya manusia merupakan variabel lebih berpengaruh.
Uniknya, di negara-negara Asia Timur seperti Tiongkok dan Korea Selatan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga bisa berdampingan dengan tingkat korupsi yang juga tinggi. Namun, hal ini tidak meniadakan reformasi yang telah dilakukan oleh kedua negara tersebut dalam pemberantasan korupsi.
ADVERTISEMENT
Di Korea Selatan misalnya, negara ini melakukan reformasi dalam pengendalian korupsi pasca pemerintahan Presiden Syngman Rhee yang berkuasa pada tahun 1950-an. Presiden Rhee mengendalikan pemerintahan dan membangun jaringan dengan beberapa pengusaha kelas atas untuk memberikan keuntungan bagi bisnis mereka sendiri hingga terbentuk sebuah sistem korupsi.
Sebaliknya, pada tahun 1960-an, Presiden Park Chung Hee mereformasi perekonomian Korea Selatan dengan memberikan kesempatan yang lebih luas dan adil untuk pengembangan bisnis bagi para pengusaha. Berbeda dengan Presiden Rhee yang hanya menguntungkan golongannya, pemerintahan Presiden Park membantu bisnis manapun yang dapat berjalan baik dalam rangka meningkatkan kondisi perekonomian. Reformasi inilah yang akhirnya mendorong Korea Selatan mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi hingga menjadi salah satu negara industri maju di Asia.
ADVERTISEMENT
Hal ini juga senada dengan argumen dari Daron Acemoglu, pemenang hadiah nobel ekonomi di tahun 2024. Acemoglu berhasil menunjukkan bahwa institusi yang inklusif dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sehingga negara-negara dengan institusi yang baik akan mencapai kemakmuran. Institusi yang inklusif hanya mampu diterapkan jika seluruh pihak memiliki kesempatan yang sama untuk bersaing, baik dalam hal ekonomi maupun politik, seperti yang telah dilakukan oleh Presiden Park di Korea Selatan.
Di Indonesia, pengendalian korupsi masih menjadi pekerjaan rumah bagi setiap pemangku kebijakan. Dari data Worldwide Governance Indicators (WGI) yang dikeluarkan oleh Bank Dunia tahun 2022, Indonesia mengalami penurunan kinerja pada indikator pengendalian korupsi sejak tahun 2018. Hal serupa tidak terjadi pada empat negara ASEAN lainnya, yaitu Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina.
ADVERTISEMENT
Dari data tersebut, Indonesia dinilai sempat melakukan perbaikan kinerja pengendalian korupsi sejak tahun 2009 hingga tahun 2017. Namun, indikator pengendalian korupsi di Indonesia turun dari 44,29 di tahun 2018 menjadi 35,24 di tahun 2019 dan hanya meningkat sedikit pada tiga tahun berikutnya.
Buruknya pengendalian korupsi di Indonesia juga terlihat dari data Indeks Persepsi Korupsi yang dikeluarkan oleh Transparency International pada tahun 2023. Indonesia berada di peringkat ke-115 dari 180 negara di dunia dengan skor 34. Skor ini berada jauh di bawah Singapura yang berada di peringkat ke-5. Peringkat Indonesia bahkan masih lebih rendah dari Malaysia, Vietnam, dan Thailand yang masing-masing berada di peringkat ke-57, 83, dan 108 secara berurutan.
Data tersebut sepertinya mampu merekam terjadinya banyak kemunduran pada upaya pengendalian korupsi di Indonesia dalam beberapa tahun ke belakang. Salah satunya dengan diberlakukannya revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang dianggap semakin melemahkan otoritas KPK untuk memberantas korupsi di Indonesia. Ditambah lagi, pemerintah malah mengesahkan beberapa peraturan baru yang dianggap semakin membuka peluang korupsi seperti Undang-Undang Cipta Kerja dan revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, pemerintah juga tidak kunjung melakukan reformasi hukum untuk mencegah praktik korupsi serta menghukum para koruptor di Indonesia. Sebagai contoh, pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset masih terhambat. Pemerintah juga belum memperbarui Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang sudah berlaku sejak lebih dari dua puluh tahun yang lalu.
Hal inilah yang menyebabkan Indonesia masih berada pada peringkat ke-73 dari 190 negara dalam Ease of Doing Business 2020 yang dikeluarkan oleh Bank Dunia. Artinya, pemerintah Indonesia belum mampu mendorong kemudahan berusaha bagi para investor, salah satunya akibat adanya korupsi dan pungutan-pungutan lainnya yang menghalangi kemudahan berusaha.
Karena itulah, keseriusan pemerintah baru dalam upaya pengendalian dan pemberantasan korupsi seharusnya menjadi salah satu prioritas untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen. Tata kelola yang masih sering melancarkan aksi-aksi ilegal, tidak transparan, dan tidak adil hanya akan menjadi ancaman bagi target pertumbuhan ekonomi tinggi.
ADVERTISEMENT