Artikulasi SGIE dan Potensi Ekonomi Indonesia yang Terlupakan

Slamet Tuharie
Penulis Buku (Islamuna, Fenomena Keberislaman Kita)
Konten dari Pengguna
7 Januari 2024 11:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Slamet Tuharie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perhelatan akbar pesta demokrasi yang akan diselenggarakan pada 14 Februari 2024 mendatang, kini terasa semakin memanas. Para calon presiden dan wakil presiden telah menentukan visi misi terbaiknya tentang pembangunan Indonesia lima tahun ke depan agar masyarakat dapat memilihnya. Forum debat terbuka juga sudah digelar oleh Komisi Pemiliham Umum (KPU) sebanyak dua kali, masing-masing untuk calon presiden dan calon wakil presiden.
ADVERTISEMENT
Pada debat kedua yang digelar pada 22 Desember 2023 kemarin, para calon wakil presiden diberikan kesempatan untuk menyampaikan dan menajamkan visi misinya terkait dengan isu ekonomi, keuangan, investasi, pajak, perdagangan, pengelolaan APBN-APBD, infrastruktur, dan perkotaan. Isu yang sangat menarik untuk dibedah agar masyarakat tahu kemana para calon pemimpinnya akan membawa arah ekonomi Indonesia ke depan.
‘Istilah baru’ terkait ekonomi pun muncul dalam arena debat, salah satunya adalah tentang State of Global Islamic Economy (SGIE) yang disampaikan oleh Cawapres Gibran Rakabuming Raka. Menarik soal SGIE adalah karena Indonesia menjadi negara mayoritas Islam di dunia yang tengah menguatkan pengaruhnya pada sektor ekonomi syariah di kancah global. SGIE sendiri adalah sebuah laporan yang tentang pemeringkatan negara berdasarkan skor Global Islamic Economic Indicator (GIEI) yang mencakup keuangan syariah (Islamic finance), makanan halal (halal food), fashion, travel (muslim-friendly travel), kosmetik dan obat-obatan (pharma and cosmetic), dan media dan rekreasi (media and recreation).
ADVERTISEMENT
Secara umum, menurut Indikator Ekonomi Islam Global, Indonesia menempati posisi keempat berdasarkan menurut laporan SGIE yang dirilis oleh DinarStandard pada tahun 2022. Posisi Indonesia berada tepat di bawah Malaysia, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Tentu, sebagai negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam Indonesia harus memiliki target sebagai yang pertama dalam berbagai aspek yang menjadi indikator ekonomi Islam, agar pengaruh ekonomi Islam Indonesia di dunia Islam khususnya akan semakin kuat.
Namun, kabar baiknya adalah bahwa pada tahun 2023, berdasarkan laporan yang bertajuk State of the Global Islamic Economy Report (SGIER) yang dirilis oleh DinarStandard menempatkan Indonesia berada pada peringkat ketiga, di bawah Malaysia dan Arab Saudi. Sementara itu, Uni Emirat Arab yang sebelum berada di peringkat ketiga, turun ke posisi peringkat keempat.
ADVERTISEMENT
SGIE; Subtantif atau Artikulatif?
Pertanyaan tentang SGIE yang dilontarkan oleh cawapres Gibran Rakabuming Raka kepada Cawapres Abdul Muhaimin Iskandar telah memantik banyak respon. Salah satunya adalah banyak orang yang kemudian menjadi tahu tentang SGIE atau minimal mencari tahu lebih lanjut tentang apa itu SGIE. Meski sebenarnya, yang lebih tepat bukanlah SGIE, melainkan GIEI. Namun, terlepas dari itu semua, yang sebenarnya lebih menarik adalah apakah SGIE yang dilontarkan dalam debat cawapres (22/12) lalu adalah hal yang subtantif atau hanya artikulatif?
Subtantif dalam arti memang SGIE menjadi salah satu dalam tujuan yang ingin dicapai melalui visi misi Capres Cawapres yang akan berlaga pada pilpres 2024 ini. Sementara artikulatif berarti bahwa pertanyaan tentang SGIE sekadar untuk mencari nilai tambah dengan mengenalkan istilah baru yang tidak diketahui oleh lawan debat dalam rangka melemahkan lawan debatnya semata.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, perlu kita analisis terkait dengan indikator-indikator GIEI yang mencakup isu terkait keuangan syariah, makanan halal, fashion, travel, kosmetik dan obat-obatan, dan media dan rekreasi justru tidak menjadi bahasan utama dalam penyampaian gagasan. Contoh sederhananya adalah dari ketiga Cawapres tidak ada satu pun yang menyinggung soal bagaimana arah pembangunan Islamic finance di Indonesia.
Padahal salah satu indikator dalam SGIE adalah soal keuangan Islam dan Indonesia memiliki potensi yang luar biasa di mana pasar keuangan syariah juga terus mengalami pertumbuhan. Tidak kalah penting juga dalam SGIE adalah social fund yang mencakup zakat, infak, sedekah, dan wakaf.
Perlu diketahui bahwa dalam laporan yang bertajuk “State of The Global Islamic Economy Report; Unlocking Opportunity” yang dirilis oleh DinarStandard tahun 2022 disebutkan bahwa pemulihan pasca pandemic Covid-19 di dunia salah satunya ditopang oleh dana zakat dan infak, termasuk di Indonesia di mana Lembaga Pengelola Zakat (LPZ) berperan aktif dalam penanganan Covid-19 mulai dari bantuan darurat hingga pemulihan pasca pandemi. Tentu ini menjadi hal yang ‘seharusnya’ tidak boleh dilupakan begitu saja.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, isu terkait dengan ekonomi dan keuangan yang telah disampaikan oleh para Cawapres, nyatanya belum menyentuh aspek dana sosial yang memiliki potensi yang sangat besar di Indonesia. Bahkan, menurut data dari Pusat Kajian Strategis Zakat (PUSKAZ) BAZNAS berdasarkan Indikator Pemetaan Potensi Zakat (IPPZ), potensi zakat pada tahun 2023 mencapai Rp. 327 Triliyun.
Artinya ada potensi keuangan negara yang begitu besar namun belum dilirik oleh para Cawapres kita. Padahal jika ditangani dengan serius zakat akan dapat menguatkan keuangan negara yang dapat dimanfaatkan untuk penanganan kemiskinan ekstrem, program pendidikan, kesehatan, kebencanaan, dan lainnya sesuai dengan ketentuan syariat dan perundangan.
Alih-alih menyampaikan hal subtantif terkait dengan pandangan pengelolaan potensi zakat yang sangat besar ini yang termasuk sub dari Islamic finance pada indicator SGIE, istilah tentang SGIE justru hanya muncul sebagai artikulasi dalam debat Cawapres. Bahkan, secara kesuluruhan tidak ada satu Cawapres pun yang memiliki gagasan terkait dengan pengelolaan keuangan syariah, terlebih menyoal zakat.
ADVERTISEMENT
Padahal, jika dikalkulasi, potensi zakat sebesar Rp. 327 triliyun pada 2023 ini ini setara dengan 13,27 persen dari target APBN 2023 sebesar Rp. 2.463 triliyun. Adapun jika dibedah lebih rinci, target penetapan pendapatatan negara dalam APBN 2023 bersumber dari penerimaan perpajakan sebesar Rp 2.021 triliun dan sisanya adalah dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 441 triliun. Artinya potensi zakat di Indonesia saat ini sudah mencapai 74,14 persen dari target PNPB 2023.
Oleh karena itu, jika ada paslon yang berencana meleburkan Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai menjadi lembaga penerimaan negara (atau sejenisnya) yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden, akan lebih menarik jika zakat juga masuk ke dalam struktur badan penerimaan negara dalam rangka memperkuat pendapatan negara dari sektor non-pajak. Atau sebaliknya, zakat dijadikan sebagai pengurang pajak seperti halnya di Malaysia yang merupakan negara peringkat pertama dalam GIEI tahun 2022 dan 2023.
ADVERTISEMENT
Selain zakat, potensi lain dalam keuangan syari’ah di Indonesia yang tak kalah besar di Indonesia adalah terkait wakaf yang menurut data Badan Wakaf Indonesia (BWI) pada tahun 2023 potensinya mencapai Rp. 180 triliyun. Tentu potensi ini bukan angka yang kecil. Bahkan bila potensi zakat dan wakaf ini digabungkan nilainya mencapai Rp. 507 triliun atau berpotensi menyumbang sekitar 20,5 persen dari target APBN 2023. Namun, potensi besar ini hanya akan menjadi potensi saja jika tidak ada political will dari pemerintah yang mengarusutamakan zakat dan wakaf dalam kebijakan keuangan negara.
Akhirnya, saya berharap bahwa debat Capres Cawapres menjadi hal yang konstruktif untuk membangun nalar masyarakat dan melahirkan gagasan-gagasan brilian, bukan sekadar artikulasi untuk mengenalkan istilah baru atau untuk menjatuhkan lawan debatnya semata. Mengapa demikian? Karena masyarakat menunggu gagasan yang konkrit, bukan sekadar 'perang' istilah.
ADVERTISEMENT