Imagologi Politik: Upaya Memenuhi Ekspektasi Publik

Slamet Tuharie
Penulis Buku (Islamuna, Fenomena Keberislaman Kita)
Konten dari Pengguna
4 Januari 2024 19:23 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Slamet Tuharie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi politik. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi politik. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Sosok atau figur seperti apakah yang akan anda pilih dalam pemilihan umum legislatif dan presiden tahun ini?”
ADVERTISEMENT
Inilah pertanyaan mendasar yang selalu ditanyakan kepada publik yang kemudian harus dijawab oleh partai politik dan para politisi agar mendapatkan simpati publik. Maka, tugas partai politik dan politisi adalah menjadi semacam ‘toko serba ada’ yang menyediakan semua kebutuhan pelanggan atau calon pelanggannya, yang dalam hal ini adalah masyarakat.
Jika publik menginginkan figur politisi yang merakyat, maka partai politik dan politisi akan menampakkan dirinya sebagai sosok yang merakyat sehingga masyarakat akan memberikan persepsi bahwa partai politik atau politisi yang dimaksud adalah sosok yang merakyat dan sesuai dengan harapannya.
Begitu pula, jika ternyata calon pemilihnya menginginkan figur yang visioner, religius, dan amanah misalnya, maka para politisi juga akan berupaya untuk menampakkan dirinya sebagai figur yang visioner, religius, dan amanah untuk mendapatkan hati masyarakat yang berimbas pada kenaikan tingkat elektabilitasnya dan partai politiknya.
ADVERTISEMENT
Hal ini bisa dilihat dari visi-misi yang diusung, jargon yang diangkat, atau visual yang ditampilkannya; pakaian dan aksesoris yang dikenakan, latar yang digunakan, dan lainnya. Sekali lagi, hal ini tidak lain adalah bagian dari upaya untuk memenuhi harapan publik terhadap sosok ideal yang pantas dijadikan pilihan politik dalam gelaran pesta demokrasi mendatang.
Itulah secara mudah untuk menggambarkan apa yang disebut dengan imagologi politik, atau yang lazim dikenal dengan istilah pencitraan. Sebenarnya, tujuan dari pencitraan ini sendiri adalah untuk membangun persepsi publik terhadap sebuah brand sehingga melahirkan brand awareness terhadap produk tertentu.
Dalam dunia bisnis, membangun brand awareness atau citra sebuah produk menjadi hal yang sangat vital. Sayangnya, bahasa ‘pencitraan’ di Indonesia ini malah lebih dekat dengan rumpun kosakata yang berkaitan dengan partai politik, politisi, dan segala macam aktivitas politiknya. Sehingga ketika mengucap kata ‘pencitraan’, secara otomatis persepsi kita adalah politik.
ADVERTISEMENT

Komunikasi Politik; Seni Membangun Persepsi

Mungkin ada benarnya jika mengatakan bahwa komunikasi politik adalah tentang seni dalam membangun persepsi politik terhadap publik, baik itu membangun persepsi tentang partai politiknya maupun politisinya itu sendiri. Mungkin pertanyaan selanjutnya adalah apakah politisi yang membangun persepsi agar publik dapat diarahkan sesuai dengan keinginan politiknya, atau justru politisi yang membangun persepsi tentang partai politik dan dirinya sesuai dengan keinginan publik?
Pertanyaan ini cocok jika dianalogikan dengan strategi marketing dari perusahaan produsen smartphone dan mobil yang saat ini semakin menjamur di dunia. Misalnya, apakah fitur-fitur yang berlimpah pada handphone dan mobil itu memang sesuai dengan kebutuhan konsumen? Atau sebenarnya konsumen tidak terlalu membutuhkan fitur sebanyak itu, tetapi produsen smartphone dan mobil sedang membangun persepsi kepada publik bahwa fitur-fitur melimpah yang disematkan di smartphone dan mobil-mobil mereka adalah sebuah kebutuhan? Dalam dunia industri, persepsi diciptakan agar produk-produk yang diciptakan dapat diterima oleh pasar dengan baik yang pada akhirnya memiliki produk dari produsen tersebut adalah sebuah kebutuhan.
ADVERTISEMENT
Inilah yang sedang dibangun dalam proses komunikasi politik kita saat ini, di mana partai politik dan figur yang diusung sedang dipersepsikan sebagai ‘semacam kebutuhan’ atau jawaban dari problematika yang dihadapi oleh bangsa dan negara saat ini. Maka, kebutuhan masyarakat didata dan dianalisis sehingga memunculkan visi-misi dan program kerja yang kemudian ditawarkan kepada masyarakat. Bagaimana cara mengenalkan dan menawarkannya, itulah tugas dari komunikasi politik. Tentu harapannya dengan membangun persepsi yang sesuai dengan keinginan masyarakat, partai politik dan figur yang diusung dapat dipilih oleh masyarakat.
Hal lain yang juga perlu dipahami adalah bahwa para politisi akan selalu membangun persepsi yang baik tentang dirinya untuk menarik simpati publik. Maka tidak heran jika citra yang diusung adalah citra tentang kebaikan, kepedulian, keberpihakan dan sebagainya. Artinya, semua politisi yang ingin mendapatkan simpati masyarakat akan berupaya untuk mempersepsikan dirinya sebaik dan seideal mungkin.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, pada tataran realitas, tidak semua orang yang dipersepsikan sebagai ‘orang baik’ oleh publik adalah orang yang benar-benar baik secara realitas. Bisa jadi, ini adalah bagian dari keberhasilan menciptakan persepsi publik atas dirinya yang dicitrakan sebagai ‘orang baik’. Begitu pula dengan orang yang dipersepsikan negatif oleh publik, mungkin juga tidak sepenuhnya negatif. Bisa jadi, masih lemah dalam upaya membangun brand atas dirinya di publik, atau ‘kalah’ dengan lawan politiknya yang lebih kuat dalam membangun persepsi ‘baik’ terhadap diri mereka.
Inilah yang kemudian secara lebih mudah disebut dengan ‘manipulasi realitas’ di mana sifat alamiah yang dimiliki bisa jadi berbeda dengan karakter yang dicitrakan atau dimunculkan dalam benak publik. Maka, pertanyaan pamungkasnya adalah lalu jargon-jargon yang diusung oleh para politisi saat ini, apakah benar-benar didasari atas karakter alamiah atau sekadar upaya untuk membangun persepsi dalam rangka memenuhi ekspektasi publik?
ADVERTISEMENT