Pengelolaan Zakat: Potensi dan Tantangan Standardisasi Kompetensi Amil

Slamet Tuharie
Penulis Buku (Islamuna, Fenomena Keberislaman Kita)
Konten dari Pengguna
10 Maret 2023 15:41 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Slamet Tuharie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
 Ilustrasi Zakat Foto: Thinkstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Zakat Foto: Thinkstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di Indonesia, dunia zakat telah menjadi semacam social industry yang perkembangannya sangat cepat. Saya katakan sebagai social industry karena pada implementasinya pengelolaan zakat di Indonesia telah dikelola secara profesional sebagaimana aktivitas industri, namun dengan fokus utama pada tujuan kemaslahatan sosial (social benefit).
ADVERTISEMENT
Salah satu implementasinya misalkan dengan adanya beberapa Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang telah menerapkan standar manajemen mutu ISO 9001:2015 sebagai bagian dari modernisasi dan profesionalisasi kelembagaan.
Di sisi lain, dalam tataran akademis, banyak perguruan-perguruan tinggi Islam yang kini juga telah membuka program studi manajemen zakat dan wakaf (ZISWAF) sebagai sebuah program studi pilihan bagi mahasiswa. Tentu output dari program studi ini adalah untuk melahirkan insan-insan pengelola zakat yang terampil dan kompeten.
Tentu saja, pembukaan program studi manajemen zakat bukan tanpa alasan. Salah satu yang mendasarinya adalah pada potensi zakat yang masih sangat besar di Indonesia, namun belum dikelola secara maksimal. Oleh karena itu, sektor ketenagakerjaan di bidang pengelola zakat akan menjadi salah satu pekerjaan yang strategis perannya, baik dalam perspektif agama, maupun negara, karena berkaitan dengan pengelolaan keuangan dan kesejahteraan umat.
ADVERTISEMENT
Selain itu, jika sebelumnya profesi Amil dianggap sebagai pekerjaan ‘sebelah mata’, maka hari ini Amil adalah sebuah pekerjaan yang telah diakui oleh negara sebagai sebuah profesi dengan adanya SKKNI Pengelola Zakat.
Peluang pada profesi Amil jika dilihat pada ketersediaan LAZ pada hari ini masih sangat terbuka lebar. Dari sisi kelembagaan misalnya, saat ini telah ada lebih dari 90 Lembaga Amil Zakat yang telah berizin, baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota. Jumlah ini tentu belum termasuk lembaga-lembaga yang bisa jadi telah melaksanakan kegiatan operasional pengelolaan zakat namun belum memiliki izin resmi dari pemerintah atau yang dikelola oleh amil-amil tradisional.
Jumlah ini bukanlah angka yang sedikit untuk ukuran lembaga sosial yang fokus pada bidang pengelolaan zakat. Meski demikian, jika disandingkan dengan data potensi dan perolehan dari sekian LAZ ini maka, jumlah ini ternyata masih sangat kecil.
ADVERTISEMENT
Misalnya, mengacu pada hasil riset yang dikeluarkan oleh Pusat Kajian Strategis (PUSKAS) BAZNAS yang menyebutkan bahwa potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 327 triliun. Potensi didasarkan atas perhitungan dari potensi zakat penghasilan, jasa, pertanian, perkebunan, peternakan, dan sektor lainnya.
Sementara itu, dari jumlah potensi yang ada, realisasi pengelolaan zakat di Indonesia pada tahun 2021 baru mencapai Rp 14 triliun yang terdiri dari zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya (DSKL) dari seluruh Lembaga Pengelola Zakat. Artinya ada gap yang sangat besar antara potensi dengan perolehan yang diterima, di mana perolehan yang tercapai baru 4,28 persen dari potensi zakat yang mencapai Rp 327 triliun.
Salah satu cara untuk "menggenjot" perolehan zakat di Indonesia adalah dengan peningkatan kualitas SDM Amil. Investasi SDM Amil ini merupakan salah satu cara untuk menangkap potensi yang belum tergarap dengan maksimal di dunia zakat saat ini, selain tentunya adalah kebijakan dari para stakeholder dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang strategis terkait dengan pengelolaan zakat di Indonesia.
ADVERTISEMENT

Standardisasi Kompetensi Amil; Sebuah Keharusan

Pengakuan atas status Amil sebagai sebuah profesi adalah hal yang strategis dalam pengelolaan zakat di Indonesia. Sebelum terbitnya Keputusan Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor 30 Tahun 2021 tentang Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) kategori Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib Golongan Pokok Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib Bidang Pengelolaan Zakat, Kementerian Agama telah "mengakui" bahwa Amil adalah sebuah profesi atau pekerjaan.
Salah satunya terlihat dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) RI No. 333 Tahun 2015 yang menjadikan persyaratan kepemilikan jaminan sosial ketenagakerjaan dari para pengelola zakat sebagai salah satu syarat dalam memperoleh izin LAZ dari Kementerian Agama.
Jika secara nomenklaturnya, amil sudah diakui sebagai sebuah profesi, maka tahapan selanjutnya adalah bagaimana memastikan bahwa para amil memiliki standar kompetensi yang sesuai aturan yang disahkan oleh pemerintah. Tidak menutup mata bahwa, para amil di LAZ di Indonesia saat ini tidak sepenuhnya berasal dari mereka yang mengenyam pendidikan pada fakultas syariah atau rumpun Islamic Studies lainnya.
ADVERTISEMENT
Namun sebaliknya, mungkin lebih banyak yang justru berasal dari kalangan non Islamic Studies, termasuk dari lulusan teknik, sains, informatika, pertanian, dan sebagainya. Bahkan, lulusan dari jurusan ilmu komunikasi, teknologi informasi, ekonomi, dan rumpun ilmu humaniora lainnya kini banyak yang terlibat aktif sebagai amil.
Kehadiran para amil yang bukan lulusan dari rumpun Islamic Studies ini telah memberi warna tersendiri, khususnya dari sisi pendekatan penghimpunan maupun penataan kelembagaan LAZ itu sendiri. Namun, sebagai sebuah aktivitas yang lekat dengan ibadah mahdhah karena bagian dari syariat Islam, maka tidak boleh tidak setiap amil harus memiliki ilmu dasar dalam pengelolaan zakat. Khususnya yang kaitannya dengan fikih zakat, sehingga dalam melakukan aktivitas pengelolaan zakat ataupun mengeluarkan produk-produk terkait zakat sesuai dengan aturan yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Salah satu cara untuk melakukan standardisasi profesi ini adalah dengan mewajibkan kepada para amil untuk melakukan sertifikasi sebagaimana yang telah diatur dalam Keputusan Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor 30 Tahun 2021 dan juga pada KMA RI Nomor 18 tahun 2022 tentang Jenjang Kualifikasi Nasional Indonesia bidang Pengelolaan Zakat.
Selain memberikan kepastian bagi profesi amil, standardisasi kompetensi amil juga akan memberikan kepastian bagi para muzaki bahwa LAZ yang dijadikan sebagai tempat untuk menunaikan zakatnya sudah sesuai dengan standar yang berlaku, baik dari sisi syari’at maupun kompetensi manajemennya.
Dalam KMA Nomor 18 tahun 2022 tersebut, setiap amil diharuskan untuk menguasai standar-standar tertentu dalam pengelolaan zakat sesuai dengan kelas jabatannya. Standar minimumnya adalah pada jenjang jabatan 3 yang mensyaratkan kualifikasi minimal seorang amil harus menguasai penghitungan zakat sesuai syariat Islam, pelaksanakan penerimaan zakat dan juga pelayanan komplain muzaki, pemasaran produk dan layanan pengumpulan dana, pelayanan mustahik termasuk keluhannya, kemampuan dalam penilaian kelayakan mustahik dan juga pelayanan dalam komplain mustahik, serta kemampuan dalam pencatatan dan proses transaksi keuangan.
ADVERTISEMENT
Jika dilihat secara saksama, baik dalam kualifikasi jenjang 3 hingga 7, target utama pada amil adalah penerapan prinsip profesional dalam rangka menciptakan customer satisfaction (muzaki, mustahik, pemerintah). Bahkan, khusus untuk kualifikasi jenjang 7, seorang amil diwajibkan memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk menyusun kebijakan strategis pengelolaan zakat, termasuk di dalamnya adalah mencakup kemampuan dalam menerapkan kebijakan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme.
Tentu hal ini adalah standar acuan yang sangat tepat untuk diterapkan oleh seluruh LAZ untuk memastikan bahwa dana zakat yang dikelola dari muzaki sesuai dengan ketentuan syari’at Islam dan peraturan perundang-undangan.
Dengan adanya SKKNI Nomor 30 tahun 2021 ini juga membuka ruang bagi seluruh praktisi zakat yang bukan berasal dari kajian zakat ataupun rumpun Islamic Studies untuk memiliki kemampuan standar yang sama dalam pengelolaan zakat, sehingga tetap bisa berkarir menjadi amil profesional. Begitu pula, dengan penyediaan SDM pengelola zakat yang kompeten sesuai dengan standar yang telah diterapkan, bukan tidak mungkin potensi zakat yang jumlahnya sangat besar itu akan dapat direalisasikan perolehannya karena Amil di seluruh LAZ memiliki standar kompetensi yang unggul []
ADVERTISEMENT