Konten dari Pengguna

Legitimasi Pemilu dan Transparansi Dokumen Pencalonan Presiden

Dykasakti Azhar Nytotama
Researcher Kamufisa Green Intiative- Postgraduate student at Galuh University, Constitutional Law Program, - A young Muhammadiyah cadre.
18 September 2025 19:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Legitimasi Pemilu dan Transparansi Dokumen Pencalonan Presiden
Keterbukaan dokumen calon pemimpin wajib dijamin, agar demokrasi tetap transparan, berintegritas, serta menguatkan legitimasi konstitusional penyelenggaraan pemilu. #userstory
Dykasakti Azhar Nytotama
Tulisan dari Dykasakti Azhar Nytotama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pemilihan Umum. Sumber : Fexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pemilihan Umum. Sumber : Fexels
ADVERTISEMENT
Pemilihan Presiden 2024 ternyata belum sepenuhnya menutup ruang perdebatan di tengah masyarakat. Euforia kemenangan dan peralihan kekuasaan masih diikuti dengan polemik hukum dan politik yang berkepanjangan. Sebelumnya publik diramaikan dengan kontroversi putusan Mahkamah Konstitusi yang dinilai sarat kepentingan politik, khususnya karena kedekatan waktu putusan dengan agenda pemilu dan dugaan konflik kepentingan seorang hakim konstitusi.
ADVERTISEMENT
Kini, setelah satu tahun lebih berlalu, muncul kembali perdebatan dengan nuansa baru, yakni soal Keputusan KPU No.731 Tahun 2025 yang menetapkan dokumen persyaratan calon presiden dan wakil presiden, termasuk ijazah, sebagai informasi yang dikecualikan.
Keputusan KPU ini menimbulkan gelombang kritik. Akademisi, anggota DPR, hingga masyarakat sipil mempertanyakan urgensi dan dasar hukumnya. Misalnya, Ketua Komisi II DPR RI, Rifqizamin Karsayudha, menilai keputusan tersebut keliru karena dikeluarkan setelah Pemilu 2024 selesai. Ia menegaskan bahwa dokumen persyaratan calon, baik untuk pileg, pilpres, maupun pilkada mestinya dapat diakses publik, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara. Kritik ini memperlihatkan adanya ketegangan antara kebutuhan transparansi publik dengan pendekatan administratif tertutup yang diambil oleh KPU.
Ilustrasi Pemilu. Foto: Dok Kemenkeu
Dari perspektif regulasi, dasar hukum mengenai persyaratan calon presiden dan wakil presiden terdapat dalam PKPU No.19 Tahun 2023. Pasal 18 secara rinci mengatur jenis dokumen yang wajib dilampirkan, mulai dari KTP, akta kelahiran, ijazah, hingga dokumen administratif lainnya.
ADVERTISEMENT
Pasal 19 dan 20 lebih menekankan pada aspek teknis pengumpulan dokumen dan keterbukaan informasi. Namun, keterbukaan ini ternyata sangat terbatas. Hanya Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang diwajibkan diumumkan secara publik. Norma ini memperlihatkan bahwa keterbukaan dokumen persyaratan calon masih bersifat parsial, tidak menyentuh aspek fundamental seperti ijazah yang justru menjadi syarat konstitusional.
Dalam konteks ini, muncul pertanyaan mendasar: Apakah dokumen ijazah dapat dikategorikan sebagai informasi publik? UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik memberikan kerangka jawabannya. Pasal 17 mengatur adanya pengecualian terhadap informasi tertentu, misalnya yang dapat mengungkapkan akta otentik bersifat pribadi atau wasiat seseorang. Namun, pengecualian tersebut harus dimaknai secara ketat. Ijazah seorang calon presiden bukan semata-mata merupakan dokumen pribadi, melainkan dokumen publik yang menjadi prasyarat konstitusional untuk menduduki jabatan tertinggi negara.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, secara normatif ijazah lebih dekat pada kategori informasi publik yang seharusnya terbuka, bukan informasi pribadi yang tertutup.
Ilustrasi Pemilu. Foto: Shutterstock
Permasalahan ini semakin kompleks karena peran Bawaslu pun terbatas. Dalam Peraturan Bawaslu No.14 Tahun 2023 tentang Pengawasan Verifikasi Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, fungsi Bawaslu hanya sebatas memastikan kelengkapan dokumen pencalonan. Tidak ada kewenangan eksplisit untuk menguji keaslian dokumen di hadapan publik.
Dengan kata lain, Bawaslu hanya menjadi penjaga administrasi, bukan lembaga yang memastikan integritas substantif dari dokumen pencalonan. Hal ini menimbulkan celah regulasi yang signifikan. Seandainya ada dugaan pemalsuan atau manipulasi dokumen, mekanisme pengawasan publik menjadi lemah karena tidak tersedia ruang transparansi yang memadai.
Dalam perspektif hukum tata negara, problem ini harus dikaitkan dengan Pasal 22E UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Prinsip kejujuran dan keadilan tidak hanya dimaknai dalam konteks perhitungan suara, tetapi juga harus berlaku sejak tahap awal pencalonan.
ADVERTISEMENT
Jika dokumen persyaratan calon ditutup rapat, maka asas fairness dalam kompetisi politik menjadi tercederai. Publik kehilangan hak untuk melakukan kontrol sosial, padahal kontrol inilah yang menjadi inti dari demokrasi partisipatif.
Gedung Bawaslu di Thamrin, Jakarta Pusat. Foto: Shutter Stock
Lebih jauh, keterbukaan informasi merupakan salah satu prinsip good governance yang telah diakui secara internasional. Konsep open government menggarisbawahi bahwa penyelenggaraan negara harus membuka data dan dokumen publik terkait dengan kepentingan masyarakat luas. Indonesia sebagai negara demokrasi seharusnya menegakkan prinsip ini, apalagi dalam konteks pemilihan presiden yang menyangkut kepemimpinan nasional. Menutup akses publik terhadap dokumen fundamental seperti ijazah justru berpotensi menimbulkan distrust dan memperkuat spekulasi politik.
Dalam kacamata politik hukum, langkah KPU tampak ambigu. Di satu sisi, KPU berdalih melindungi informasi pribadi calon. Namun di sisi lain, kebijakan ini justru memperlemah legitimasi publik terhadap proses pemilu. Padahal, KPU sebagai penyelenggara pemilu memegang amanat untuk menjaga integritas, netralitas, dan transparansi. Setiap keputusan yang berpotensi memicu kecurigaan publik semestinya dihindari, bukan dipelihara.
ADVERTISEMENT
Jika ditinjau dari teori demokrasi konstitusional, keterbukaan dokumen persyaratan calon merupakan bagian dari prinsip accountability. Setiap calon yang hendak menduduki jabatan publik harus siap mempertanggungjawabkan kelayakan dirinya, termasuk dari aspek administrasi dan akademik. Transparansi dokumen bukan sekadar formalitas, melainkan mekanisme untuk memastikan bahwa tidak ada syarat yang dipalsukan atau direkayasa. Menutup akses tersebut sama dengan memutus mata rantai akuntabilitas.
Ilustrasi Pemilu. Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan
Selain itu, terdapat implikasi yuridis yang perlu diperhatikan. Jika ijazah ditetapkan sebagai informasi yang dikecualikan, maka setiap permintaan informasi publik yang diajukan masyarakat berpotensi ditolak dengan alasan formal. Hal ini berbanding terbalik dengan semangat UU Keterbukaan Informasi Publik yang justru dirancang untuk memperkuat peran masyarakat dalam mengawasi penyelenggaraan negara. Kontradiksi antara PKPU, Keputusan KPU, dan UU KIP inilah yang berpotensi menimbulkan konflik norma.
ADVERTISEMENT
Penulis berpandangan bahwa solusi dari problem ini bukan sekadar memperdebatkan apakah ijazah termasuk informasi publik atau pribadi. Yang lebih penting adalah membangun kerangka regulasi yang konsisten antara PKPU, Bawaslu, dan UU KIP. Pertama, PKPU seharusnya menambahkan klausul tentang keabsahan dokumen, bukan hanya kelengkapan administratif.
Kedua, KPU perlu membuka ruang akses publik dengan batasan yang jelas, misalnya dengan menampilkan ringkasan dokumen yang telah diverifikasi keasliannya. Ketiga, Bawaslu harus diberi kewenangan lebih dalam menguji validitas dokumen secara terbuka agar publik dapat turut mengawasi, tanpa melanggar privasi yang esensial.
Ilustrasi perhitungan suara pemilu. Foto: AFP/Bas Ismoyo
Dengan demikian, problem hukum ini pada dasarnya menyangkut bagaimana negara menempatkan prinsip keterbukaan dan kepercayaan publik dalam sistem demokrasi. Transparansi bukan ancaman bagi penyelenggara, melainkan fondasi legitimasi. Tanpa keterbukaan, setiap proses pemilu akan selalu dibayang-bayangi oleh kecurigaan dan delegitimasi.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, keputusan KPU yang menutup akses terhadap dokumen ijazah dan dokumen persyaratan lainnya perlu ditinjau ulang agar sejalan dengan semangat konstitusi, UU KIP, dan prinsip good governance.
Persoalan dokumen ijazah hanyalah pintu masuk dari isu yang lebih besar, yakni akuntabilitas dan transparansi dalam penyelenggaraan pemilu. Publik memiliki hak untuk mengetahui, mengawasi, dan memastikan bahwa setiap calon pemimpin bangsa benar-benar memenuhi syarat konstitusional. Keterbukaan informasi tidak sekadar kewajiban hukum, tetapi juga merupakan kebutuhan demokrasi yang tidak boleh dinegosiasikan.
Jika KPU dan Bawaslu gagal merespons tuntutan ini, maka demokrasi Indonesia akan terus dihantui oleh defisit legitimasi, bahkan setelah pemilu selesai.