Konten dari Pengguna

Mobilisasi Revolusioner Purnawirawan TNI

Dykasakti Azhar Nytotama
Researcher Kamufisa Green Intiative- Postgraduate student at Galuh University, Constitutional Law Program, - A young Muhammadiyah cadre.
7 Juli 2025 13:01 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Mobilisasi Revolusioner Purnawirawan TNI
Tulisan ini mengkaji gerakan purnawirawan TNI yang mendesak pemakzulan Gibran Rakabuming Raka dalam kerangka mazhab politik dan teori revolusi sosial.
Dykasakti Azhar Nytotama
Tulisan dari Dykasakti Azhar Nytotama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sumber : https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-mengenakan-jas-militer-kamuflase-hijau-dan-coklat-saat-berdiri-memegang-senapan-104764/.
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-mengenakan-jas-militer-kamuflase-hijau-dan-coklat-saat-berdiri-memegang-senapan-104764/.
Pemakzulan Gibran dan Gejala Awal Revolusi Politik dalam Sistem yang Membeku
ADVERTISEMENT
Isu pemakzulan Gibran Rakabuming Raka tidak lahir dalam ruang hampa. Ia muncul di tengah situasi politik yang menunjukkan gejala delegitimasi sistemik, khususnya terhadap lembaga-lembaga representatif seperti DPR dan Mahkamah Konstitusi. Ketika sejumlah purnawirawan TNI menyurati DPR untuk mendesak pembahasan dugaan pelanggaran etik dalam pencalonan Gibran sebagai wakil presiden, publik menyaksikan sebuah peristiwa yang jauh lebih dalam dari sekadar kritik moral. Ini adalah sinyal terbukanya fase kontestasi kekuasaan non-formal, sesuatu yang dalam teori mazhab politik revolusi menandai awal dari proses perubahan politik radikal.
Gerakan ini menunjukkan satu hal yang krusial: bahwa sistem politik Indonesia, dalam konfigurasi pasca pemilu 2024, telah kehilangan kapasitas untuk merespons tekanan politik secara sah dan terlembagakan. Dan ketika mekanisme formal tidak bekerja, maka kanal alternatif akan terbentuk. Dari situlah benih revolusi tumbuh.
ADVERTISEMENT
Mazhab Politik: Menempatkan Revolusi dalam Lintasan Politik Biasa
Berbeda dengan pendekatan strukturalis (Marxis) atau kultural dalam teori revolusi, mazhab politik tidak melihat revolusi sebagai ledakan anomali atau hasil ketimpangan material semata. Mazhab ini menempatkan revolusi sebagai lanjutan dari kontestasi politik yang tidak dapat lagi diselesaikan dalam kerangka institusi formal. Dalam kalimat yang menggemakan Clausewitz: "Revolusi adalah kelanjutan politik dengan cara lain."
Mazhab politik melihat sistem politik sebagai arena yang terdiri atas dua aktor utama:
1. Pemerintah: pemilik otoritas formal, alat koersif, dan klaim legitimasi tunggal;
2. Konstestan politik: kelompok yang ikut berkompetisi dalam sistem, baik melalui jalur formal (partai politik, parlemen) maupun informal (gerakan sosial, elite moral, purnawirawan, mahasiswa).
Ketika kanal formal tertutup dan konstestan tidak lagi dapat menyampaikan aspirasinya secara sah—maka, dalam istilah Charles Tilly, protes politik bergeser menjadi mobilisasi revolusioner. Inilah momen saat claim-making terhadap kekuasaan bergeser dari tuntutan kebijakan ke tuntutan atas otoritas.
ADVERTISEMENT
Gerakan purnawirawan yang mendesak pemakzulan Gibran, diabaikan oleh DPR, dan mendapatkan resonansi luas di ruang publik, menandai terputusnya komunikasi politik antara negara dan masyarakat sipil. Inilah salah satu indikator paling awal dari state breakdown, sebagaimana dirumuskan dalam mazhab politik.
Teori Revolusi: Negara Gagal, Elite Bergerak, Masyarakat Terguncang
Teori revolusi kontemporer memperkuat kerangka mazhab politik dengan menjelaskan prasyarat dan dinamika munculnya gerakan revolusioner:
1. Theda Skocpol – Negara Melemah, Revolusi Menguat
Dalam States and Social Revolutions (1979), Skocpol menjelaskan bahwa revolusi terjadi ketika negara tidak mampu merespons krisis internal dan tekanan eksternal secara institusional. Yang penting dari teori Skocpol adalah bahwa revolusi tidak dirancang, tetapi lahir dari kegagalan negara untuk beradaptasi.
ADVERTISEMENT
Kondisi Indonesia hari ini mencerminkan itu: Mahkamah Konstitusi kehilangan kepercayaan publik, putusan etik dianggap tidak berdampak substantif, dan DPR tidak menjalankan fungsi konstitusionalnya untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran berat dalam pencalonan Gibran. Negara gagal menanggapi krisis legitimasi yang muncul dari proses pemilu. Inilah momen yang dalam istilah Skocpol disebut sebagai “state incapacity to accommodate crisis.”
2. Charles Tilly – Mobilisasi dan Aksi Kolektif Politik
Tilly memandang revolusi sebagai hasil dari mobilisasi kolektif yang terstruktur, bukan sekadar ledakan spontan. Ketika kelompok penantang memiliki kapasitas mobilisasi (sumber daya, reputasi, jaringan), dan negara kehilangan daya represif atau legitimasi moralnya, maka pergeseran otoritas terjadi.
Gerakan purnawirawan dan masyarakat sipil hari ini menunjukkan bentuk awal dari contentious politics—di mana klaim politik atas kekuasaan negara diajukan melalui kanal-kanal non-negara: surat terbuka, diskursus publik, gerakan kampus, hingga narasi moral. Ini adalah basis dari apa yang oleh Tilly disebut sebagai contentious performance: gerakan yang mencoba merebut kembali otoritas simbolik dari negara.
ADVERTISEMENT
3. Jack Goldstone – Elite Fracture dan Discontent Mobilization
Goldstone dalam kerangka teori revolusi demografis dan politik menjelaskan bahwa fragmentasi elite adalah syarat utama lahirnya revolusi. Ketika sebagian elite (militer, birokrat senior, intelektual) kehilangan akses ke pusat kekuasaan dan membentuk aliansi tandingan, maka sistem mulai retak dari dalam.
Purnawirawan TNI mewakili elite lama yang terpinggirkan secara politik, tetapi masih memiliki legitimasi historis dan sosial. Ketika mereka bergabung dengan masyarakat sipil dan menyuarakan delegitimasi proses politik (termasuk pemakzulan Gibran), maka fragmentasi elite mulai membentuk blok alternatif terhadap kekuasaan.
Pemakzulan Gibran sebagai Titik Krisis Konstitusional
Dalam kerangka ini, desakan pemakzulan Gibran bukan semata soal hukum atau etika pribadi. Ia adalah simbol dari pembusukan sistem representasi politik. Ketika Ketua MK dicopot karena konflik kepentingan, tetapi putusannya tetap dipakai untuk meloloskan Gibran sebagai cawapres, dan DPR tidak mengambil tindakan apapun untuk mempertanyakan proses ini, maka kita sedang menyaksikan konstitusi dibekukan oleh kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Diamnya DPR adalah bentuk konkret dari apa yang disebut Tilly sebagai closed opportunity structure—struktur politik yang tertutup, sehingga memaksa aktor politik keluar dari sistem dan menggunakan tekanan non-formal untuk memperjuangkan aspirasi. Itulah yang terjadi ketika masyarakat sipil, purnawirawan, dan akademisi menyuarakan pemakzulan tanpa kanal formal yang memadai.
Dari Deligitimasi ke Revolusi Mental dan Moral
Revolusi dalam mazhab politik tidak harus bersenjata. Ia dimulai dari pergeseran legitimasi. Ketika publik lebih percaya pada suara moral dari luar kekuasaan ketimbang pada narasi resmi negara, maka legitimasi negara sudah terbelah. Dalam istilah Barrington Moore, ini adalah momen ketika “the ruled stop believing that the rulers rule rightfully.”
Kita menyaksikan itu hari ini: kepercayaan terhadap DPR anjlok, Mahkamah Konstitusi dinilai bias, dan pemilu dianggap sarat manipulasi. Jika kondisi ini berlanjut tanpa koreksi institusional, maka revolusi bukan sekadar kemungkinan. Ia adalah konsekuensi politik dari sistem yang gagal menjawab tekanan perubahan.
ADVERTISEMENT
Penutup: Gibran, Purnawirawan, dan Jalan Senyap Revolusi
Gerakan purnawirawan dan desakan pemakzulan Gibran bukan peristiwa biasa. Mereka adalah tanda bahwa sistem politik kita sedang memasuki fase krisis legitimasi tingkat lanjut. Ketika lembaga representatif kehilangan otoritas, dan publik mulai membentuk saluran politik alternatif, maka benih revolusi telah ditanam.
Dalam logika mazhab politik, revolusi tidak diawali oleh senjata, melainkan oleh pembusukan otoritas formal dan kebangkitan kekuasaan moral. Dan hari ini, kita sedang hidup dalam masa itu.
Mungkin tidak hari ini, tidak esok. Tapi dalam sejarah politik, ketika negara menolak berubah dari dalam, perubahan akan datang dari luar. Bukan dengan ledakan, tapi dengan retakan yang terus membesar—hingga tak ada lagi jalan kembali.