Konten dari Pengguna

Pembaharuan Ijtihad Ketatanegaraan : Menangkal Anti NKRI

Dykasakti Azhar Nytotama
Researcher Kamufisa Green Intiative- Postgraduate student at Galuh University, Constitutional Law Program, - A young Muhammadiyah cadre.
8 Juni 2025 15:20 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Pembaharuan Ijtihad Ketatanegaraan : Menangkal Anti NKRI
Tulisan ini berbicara soal narasi kebangkitan Islam Transnasional yang pemikirannya terdistribusi di Indonesia melalui gerakan anti Pancasila, sehingga perlunya pembaharuan pemahaman hukum tata negara
Dykasakti Azhar Nytotama
Tulisan dari Dykasakti Azhar Nytotama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sumber :https://www.shutterstock.com/id/image-illustration/flag-islam-3d-rendering-illustration-waving-1900430071
zoom-in-whitePerbesar
Sumber :https://www.shutterstock.com/id/image-illustration/flag-islam-3d-rendering-illustration-waving-1900430071
Pendahuluan: Peralihan Tantangan Pasca-Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, perjuangan bangsa tidak serta-merta usai. Tantangan baru muncul bukan lagi dalam bentuk fisik kolonialisme, melainkan dalam bentuk perdebatan ideologi. Semangat "Persatuan Indonesia" yang tertera dalam Sumpah Pemuda dan Pembukaan UUD 1945 diuji oleh tarik-menarik kepentingan ideologis dari kelompok-kelompok besar yang ingin membentuk sistem negara berdasarkan paham masing-masing.
ADVERTISEMENT
Tiga kekuatan utama mendominasi perdebatan ini: Islam, Komunisme (PKI), dan Nasionalisme. Ketiganya memiliki landasan filosofis dan cita-cita kenegaraan yang berbeda-beda, yang kemudian berdampak besar terhadap arah politik dan sistem hukum di Indonesia pasca kemerdekaan.
Islam dan Pencarian Sistem Kenegaraan Ideal
Dari ketiga ideologi tersebut, Islam memiliki pengaruh yang sangat kuat karena faktor demografis—mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Sejak awal kemerdekaan, kelompok Islam telah memperjuangkan agar sistem negara Indonesia dibangun berdasarkan syariat Islam. Hal ini menimbulkan diskusi panjang mengenai apakah Indonesia seharusnya menjadi negara Islam atau tetap sebagai negara nasionalis-sekuler dengan nilai-nilai religius.
Menurut Abdullah Ahmad An-Naim dalam Dekonstruksi Syariah, identitas suatu bangsa akan selalu membawa implikasi pada bentuk dan corak politik negara. Oleh karena itu, memperdebatkan posisi Islam dalam negara Indonesia bukan hanya wacana keagamaan, tetapi juga pertarungan identitas nasional.
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan An-Naim, Ija Suntana dalam bukunya Pemikiran Ketatanegaraan Islam mengungkapkan bahwa Indonesia bukan negara Islam, tetapi negara Muslim. Ini berarti, meskipun mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, struktur negara dan sistem hukumnya tidak secara eksplisit mengadopsi sistem syariah secara formal.
Runtuhnya Khilafah dan Kebangkitan Gerakan Islam
Runtuhnya Kekhalifahan Turki Utsmani pada awal abad ke-20 menandai berakhirnya otoritas Islam global yang terpusat. Hal ini memicu munculnya gerakan kebangkitan Islam di berbagai penjuru dunia Muslim, termasuk Indonesia. Muncul kesadaran baru di kalangan umat Islam untuk membebaskan diri dari penjajahan barat dan mengembalikan tatanan masyarakat Islam berdasarkan syariat.
Dalam bukunya Islam and Revolution: Fundamentalism in the Arab World, R. Hrair Dekmejian mengklasifikasikan kebangkitan Islam menjadi empat tipologi besar:
ADVERTISEMENT
Gradualis adaptasionis – mengikuti jalur politik dan adaptif terhadap kebijakan negara. Contoh: Ikhwanul Muslimin di Mesir.
Syiah revolusioner – dipelopori oleh Ayatollah Khomeini di Iran, menggunakan pendekatan revolusi.
Sunni revolusioner – gerakan radikal seperti al-Qaeda, terinspirasi oleh Ibn Taimiyyah dan Ibn Abd al-Wahhab.
Mesiatif-primitif – kelompok yang berusaha secara literal menghidupkan kembali sunnah dalam seluruh aspek kehidupan.
Gerakan-gerakan ini masuk ke Indonesia melalui mahasiswa yang belajar di Timur Tengah, yang kemudian membentuk organisasi seperti Gerakan Tarbiyah, Hizbut Tahrir Indonesia, dan kelompok Salafi. Mereka membawa ide dan strategi baru dalam upaya mewujudkan tatanan Islam di Indonesia.
Ideologi dan Ancaman terhadap Pancasila
Perkembangan ideologi Islam transnasional ini membawa dampak besar dalam konteks politik dan keamanan di Indonesia. Muncul narasi yang mempertanyakan legitimasi Pancasila sebagai dasar negara, karena dianggap tidak sejalan dengan prinsip hukum Islam. Hal ini berujung pada munculnya kampanye pendirian Negara Islam Indonesia (NII), dan dalam beberapa kasus, aksi terorisme yang menentang otoritas negara sah.
ADVERTISEMENT
Mereka menilai bahwa sistem hukum Indonesia—terutama dalam hukum pidana—tidak sah karena tidak didasarkan pada syariat Islam. Penolakan ini didasarkan pada keyakinan bahwa hukum Allah (hak Allah) harus diutamakan daripada hukum buatan manusia.
Madzhab Hanafi dan Fleksibilitas Hukum Islam
Di tengah kerasnya tuntutan penerapan syariat secara tekstual, muncul pandangan moderat yang menunjukkan bahwa hukum Islam sesungguhnya bisa adaptif dan kontekstual. Dalam disertasinya, Dadang Syaripudin menjelaskan bahwa Mazhab Hanafi memiliki pandangan hukum yang lebih fleksibel, terutama dalam melihat relasi antara hak Allah (ḥaqq Allāh) dan hak hamba (ḥaqq al-‘abd). ( Dadang Syaripudin, 2022)
Contoh Penerapan Fleksibilitas dalam Mazhab Hanafi:
Zakat Fitrah: Tidak harus berupa makanan pokok; bisa diganti uang tunai jika lebih bermanfaat untuk penerima.
ADVERTISEMENT
Kafarat: Bisa dibayar secara bertahap sesuai kemampuan.
Haji: Gugur jika seseorang wafat tanpa sempat melaksanakan dan tidak meninggalkan wasiat.
Dalam kasus di mana hak Allah dan hak hamba bersinggungan, madzhab Hanafi mengedepankan hak hamba selama tidak mengabaikan prinsip syariat yang tegas. Pendekatan ini membuka ruang besar untuk ijtihad kontekstual baik dalam urusan ibadah maupun muamalah.
Hukum Islam dan Implementasi dalam Konteks Indonesia
Dalam konteks Indonesia, banyak aspek hukum Islam yang tidak diterapkan secara tekstual, namun semangat dan nilainya tetap dijaga. Misalnya:
Pencurian: Islam mensyaratkan potong tangan, tetapi di Indonesia diterapkan hukuman penjara sebagai bentuk ijtihad tathbiqi.
Qishas dalam pembunuhan: Hak korban diwakilkan pada jaksa dan hakim, bukan pada keluarga korban langsung, untuk menjaga keadilan dan ketertiban umum.
ADVERTISEMENT
Hal ini mencerminkan pendekatan substansi syariat, bukan formalitasnya. Konsep Hak Asasi Manusia (HAM), keadilan, dan perlindungan terhadap hak individu tetap dijunjung dalam kerangka hukum nasional Indonesia.
Relasi Agama dan Negara: Pendekatan Simbiotik
Menurut Acep Djazuli, relasi agama dan negara di Indonesia bersifat simbiotik-mutualistik: keduanya saling mengisi dan tidak harus dipertentangkan. Negara membutuhkan nilai moral dari agama, sementara agama memerlukan negara untuk mengatur kehidupan sosial secara adil.
Abdullah Ahmad An-Naim menegaskan bahwa syariat diciptakan untuk manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, penerapannya harus sejalan dengan nilai-nilai demokrasi, kesetaraan gender, dan hak asasi manusia. Syariat yang otoriter dan menindas tidak mencerminkan esensi Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Pemikiran Progresif dalam Islam: Jalan Tengah Masa Kini
ADVERTISEMENT
Omar Safi, dalam bukunya Progressive Muslims: On Justice, Gender, and Pluralism, menyatakan bahwa Islam tidak boleh terjebak dalam tradisi dogmatis dan tertutup. Ia menekankan pentingnya ijtihad baru, pendekatan multidisipliner, dan kerja sama antara ulama tradisional dan sarjana kontemporer.
Safi percaya bahwa sistem hukum Islam harus selalu bertransformasi mengikuti perkembangan sosial, politik, dan budaya umat manusia. Tidak ada satu pun madzhab atau aliran yang boleh menjadi monopoli kebenaran dalam menyelesaikan masalah umat.
Kesimpulan: Mencari Titik Temu antara Islam dan Negara
Indonesia tidak harus menjadi negara Islam untuk menerapkan nilai-nilai Islam. Sebaliknya, semangat Islam dapat dihidupkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui substansi keadilan, keseimbangan hak, dan perlindungan masyarakat. Pancasila dan syariat Islam bisa berjalan berdampingan jika fokus diletakkan pada tujuan hukum (maqashid al-shari’ah), bukan pada simbol atau formalitas.
ADVERTISEMENT
Melalui pendekatan kontekstual ala Mazhab Hanafi, pemikiran inklusif dari Abdullah Ahmad An-Naim, serta pandangan progresif dari Omar Safi, bangsa Indonesia dapat membangun sistem negara yang adil, demokratis, dan religius tanpa harus kehilangan jati diri kebangsaan.