Plagiarisme dan Bibit Koruptor

Kantin Non-Plagiarisme FH UGM
Berfokus pada upaya menciptakan iklim akademik di Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada yang bebas plagiarisme.
Konten dari Pengguna
16 Oktober 2023 20:26 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kantin Non-Plagiarisme FH UGM tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Korupsi. Foto: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Korupsi. Foto: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Robert Klitgaard (1988: 7) mempostulatkan korupsi sama tuanya dengan pemerintahan itu sendiri. Dalam laporan Transparancy International, korupsi menjadi masalah utama dari sebuah transformasi dari negara berkembang menuju negara maju.
ADVERTISEMENT
Apabila ditinjau indeks persepsi korupsi, kecenderungan negara-negara Barat yaitu negara dengan tingkat ekonomi yang relatif tinggi justru memiliki kecenderungan tingkat persepsi korupsi yang selaras pula.

Korupsi Sektor Pendidikan

Korupsi dalam lintas sejarah telah ada beribu-ribu tahun yang lalu dan menjangkiti semua sektor tak terkecuali di sektor pendidikan. Korupsi pada lokus pendidikan merupakan bentuk kejahatan dan pengerdilan yang luar biasa terhadap peradaban umat manusia.
Kenapa demikian? Sebab, seharusnya lingkungan pendidikan adalah tempat melatih, mendidik dan menanamkan nilai-nilai integritas bagi perabadan suatu bangsa.
Thomas Lickona dalam Imam B. Prasodjo (2012: 59) menuturkan bahwa sejatinya di kampus melalui pendidikan karakter harus mendorong peserta didik untuk mampu memahami nilai-nilai moral yang baik, mampu merasakan nilai-nilai luhur, hingga lubuk hati paling dalam.
ADVERTISEMENT
Pendidikan sebenarnya menjadi tameng yang bersifat preventif (mencegah) terjadinya tindak korupsi di kemudian hari. Sayangnya korupsi ibarat penyakit yang menjalar ke berbagai sisi. Tak luput dari korupsi atau keadaan disintegritas personal, memasuki tempat yang seharusnya “suci” dari praktik disintegritas personal yaitu perguruan tinggi.
Pada dasarnya banyak faktor yang membuat kampus bukan lagi tempat suci atau bebas dari tindakan disintegritas personal. Menarik untuk disimak apa yang dikemukakan oleh John Smyth (2017: 5) mengenai toxic university yang mempermasalahkan bahwa dewasa ini kampus atau universitas mengalami perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Termasuk, merasuki aspek-aspek dari universitas dan membawa dampak atau perubahan besar seperti di bidang pengalaman belajar mahasiswa, kepemimpinan dan institusi, penelitian dan riset serta sifat kerja akademik.
ADVERTISEMENT

Kampus dan Plagiarisme

Ilustrasi mahasiswa ujian. Foto: exam student/Shutterstock
Tuntutan yang tinggi tidak disertai dengan murahnya biaya kuliah dan prospek masa depan yang memadai, mengakibatkan civitas akademika layaknya seperti apa yang dikemukakan Machiavelli sebagai praktik the aims justifies the means (tujuan menghalalkan segala cara) salah satunya dengan praktik plagiarisme.
Plagiat dapat dengan lugas dikatakan sebagai korupsi integritas lembaga akademis (H. Priyono, 2018: 36). Sifatnya merusak karena penilaian terhadap suatu karya dan kemampuan justru dibangun di atas fondasi ketidakjujuran.
Civitas akademika begitu mendambakan gelar dan nilai meski harus dengan mengorbankan kejujuran. Padahal di perguruan tinggi bagi peserta didik yang baru memasuki kampus diberi gelar "maha" di depan kata "siswa" yang menegaskan bahwa ada perbedaan status yang jelas antara sekadar siswa dan mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Padahal beberapa guyonan sering dikemukakan bahwa hanya ada dua "maha" di dunia ini yaitu "mahasiswa" dan "Maha-kuasa". Namun Tindakan plagiat di lingkungan mahasiswa justru seolah-olah mencoreng status siswa sebagai mahasiswa.
Begitu pula dengan istilah "guru besar" yaitu gelar akademik tertinggi yang diberikan kepada seseorang yang memiliki ilmu mumpuni dan berbagai kontribusi dalam bidang yang digeluti.
Sayangnya, tidak sedikit yang dijumpai pada beberapa universitas justru praktik plagiarisme didukung dan dilakukan oleh orang yang mempunyai gelar sebagai guru besar. Hal ini tentunya tidak baik bagi eksistensi kampus sebagai sumber peradaban dunia. Kampus haruslah menjadi pabrik untuk memproduksi orang-orang berintegritas diseluruh dunia dan bukan sebaliknya.

Bibit Koruptor

Ilustrasi korupsi. Foto: Shutter Stock
Kurangnya nilai anti korupsi dan budaya jujur dalam pembuatan tugas dan karya ilmiah menjadi salah penyebab kerapnya budaya plagiarisme terjadi di perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
Budaya tersebut akan memengaruhi perilaku dan integritas di masa mendatang untuk melakukan korupsi pada level yang lebih besar ketika memperoleh suatu jabatan. Sebab pada prinsipnya, budaya korupsi yang menjangkiti beberapa instansi pemerintah tentunya berawal dari kurangnya integritas sehingga terkesan “mewajarkan” korupsi yang sifatnya kecil seperti korupsi waktu.
Pada posisi tersebut akan melunturkan integritas secara perlahan dan pada akhirnya melakukan korupsi pada level yang besar. Budaya plagiarisme di perguruan tinggi akan berdampak jangka panjang, sehingga akan merusak karakter mahasiwa sebagai penerus bangsa untuk melakukan korupsi yang lebih besar di masa mendatang apabila tidak segera dibenahi.

Budaya yang Disepelekan

Permasalahan yang terjadi pada beberapa kampus di Indonesia, belum terdapat budaya yang tegas yang dimulai dari kelas untuk menetapkan angka maksimal plagiarisme melalui uji turnitin dalam pengerjaan tugas harian mahasiwa.
ADVERTISEMENT
Meskipun beberapa dosen mengecek indikasi plagiarisme, namun belum ada gerakan dan upaya yang sifatnya pencegahan sejak dini. Padahal seyogyanya untuk menumbuhkan budaya jujur dan antikorupsi, diperlukan penanaman perilaku yang sederhana dan tidak harus dimulai dari hal-hal besar.
Penanaman perilaku anti-plagiarisme untuk kalangan mahasiwa diyakini mendesak dan penting untuk digalakkan sebagai langkah awal menanamkan nilai-nilai integritas pada mahasiswa.
Permasalahan lainnya, langkah preventif plagiarisme pada lokus kegiatan umumnya dilakukan pada akhir pengerjaan karya ilmiah (skripsi, tesis, atau desertasi) melalui uji turnitin yang dilakukan oleh bagian akademik masing-masing fakultas, tetapi tidak dimulai sejak dini yakni pada pengerjaan tugas harian mahasiswa.
Hal ini akan menyulitkan beberapa mahasiswa untuk menghindari plagiarisme pada pengerjaan akhir karya ilmiah sebab tidak dibiasakan oleh sistem untuk menghindari plagiarisme sedini mungkin.
ADVERTISEMENT

Membangun Budaya dan Sistem

McCabe dan Trevino dalam (Qudsyi, 2018) menyebutkan bahwa salah satu penyebab yang memengaruhi budaya ketidakjujuran akademik adalah faktor kontekstual.
Faktor tersebut meliputi kebiasaan kelompok di lingkungan, ketidaksetujuan lingkungan teman sebaya, pengaduan teman sebaya, serta berat-ringannya hukuman yang diterima. Jika dikontekstualisasikan dengan upaya mewujudkan perilaku anti plagiarsime di kampus, maka program dan rencana aksi yang dapat mendukung agenda tersebut.
Foto: Dok. Pribadi
Pertama, menyediakan akses fasilitas pengecekan angka plagiasi melalui Turnitin secara mudah dan terjangkau. Pada konteks ini, tiap-tiap perpustakaan di tingkat fakultas dapat menginisasi hadirnya fasilitas tersebut yang didukung dengan sumber daya manusia yang mumpuni.
Kedua, menyediakan fasilitas bimbingan atau konsultasi mengenai cara parafrase yang baik dan benar guna menurunkan tingkat similliarity atau kemiripan suatu karya ilmiah.
ADVERTISEMENT
Ketiga, mendorong kepada stakeholder kampus untuk mengeluarkan kebijakan guna membudayakan non-plagiarisme secara efektif dan efisien. Misalnya, dengan mewajibkan kepada mahasiswa untuk mengecek tingkat similliarity tugas harian dan menjadikan angka tersebut sebagai salah satu indikator penilaian.
Dengan demikian, upaya untuk mewujudkan lingkungan kampus yang bebas plagiarisme dapat terwujud dengan membangun sistem tersebut. Hal ini tentu mampu untuk membentuk karakter dan kepedulian mahasiswa terhadap nilai-nilai kejujuran dalam lingkup kecil, sehingga tidak membiarkan tumbuhnya bibit-bibit koruptor di lingkungan kampus.