Konten dari Pengguna

Menyelami Déjà vu: Mengapa Kejadian Ini Pernah Terjadi Sebelumnya?

Karin Saragih
Mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya
26 November 2024 17:19 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Karin Saragih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi seseorang merasa pernah mengalami kejadian yang sama (Sumber: Asli dari penulis)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi seseorang merasa pernah mengalami kejadian yang sama (Sumber: Asli dari penulis)
ADVERTISEMENT
Apakah kamu pernah merasa bahwa kejadian yang sedang kamu alami tampak pernah terjadi di masa lalu? Atau bahkan seperti pernah muncul dari mimpi kamu?
ADVERTISEMENT
Fenomena seperti itu bukanlah karena otak kita rusak atau sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya, melainkan fenomena ini merupakan hal yang alamiah terjadi di otak kita, bahkan para ilmuwan dan neurolog tertarik untuk meneliti fenomena ini selama berabad-abad.
Lantas, bagaimana fenomena ini bisa terjadi?
Sumber: freepik.com
Apa itu Déjà vu?
Istilah déjà vu sendiri berasal dari Bahasa Prancis yang jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris memiliki arti ”already seen” atau “sudah pernah dilihat” dalam Bahasa Indonesia. Menurut definisi yang diusulkan Neppe (1983), déjà vu merupakan suatu kesan subjektif yang tidak tepat tentang keakraban terhadap pengalaman saat ini dengan masa lalu yang masih belum terdefinisi. Secara sederhana, déjà vu adalah perasaan bahwa situasi yang sedang dialami tampak akrab, meskipun sebenarnya itu adalah pengalaman baru.
ADVERTISEMENT
Déjà vu dalam Otak
Banyak orang beranggapan bahwa déjà vu terjadi karena alam semesta paralel mengalami gangguan yang menyebabkan seseorang terhubung dengan versi dirinya yang lain. Beberapa orang juga percaya bahwa fenomena tersebut adalah sisa memori dari kehidupan lampau, yang mengalir hingga ke kehidupan mereka saat ini. Sayangnya, kedua pernyataan tersebut tidaklah benar.
Sumber: https://neurosurgery.education/wiki/doku.php?id=parahippocampal_gyrus
Déjà vu secara neurologis melibatkan beberapa region of interest (ROI) dalam otak, termasuk hippocampus, korteks parahippocampal, dan amygdala. Hippocampus adalah bagian otak yang memiliki peran penting dalam memori episodik, yaitu memori yang berkaitan dengan pengalaman masa lalu.
Pada déjà vu, hippocampus dapat salah mengenali pengalaman baru sebagai sesuatu yang pernah terjadi sebelumnya. Korteks parahippocampal yang mengolah kefamiliaran visual dan spasial, juga sering aktif berlebihan yang menyebabkan terciptanya sensasi “familiar” terhadap hal baru.
ADVERTISEMENT
Selain itu, amygdala berkontribusi pada perasaan intens yang sering menyertai déjà vu. Aktivitas abnormal di lobus temporal yang biasanya terjadi pada pasien epilepsi, telah terbukti memicu fenomena ini. Penelitian dengan stimulasi listrik dan fMRI menunjukkan bahwa déjà vu mungkin muncul karena gangguan sinkronisasi otak atau “kesalahan pemrosesan” informasi sensorik dan memori secara bersamaan.
Teori Utama Déjà vu
Sejauh ini, terdapat 40 teori yang menjelaskan bagaimana Déjà vu bisa terjadi. Namun, dalam artikel ini, saya akan membahas 3 teori utama yang relevan.
Kesalahan Pemrosesan Ganda
Teori ini menyatakan bahwa déjà vu muncul karena ketidaksesuaian antara pemrosesan memori jangka pendek dan jangka panjang. Umumnya, informasi yang masuk diproses melalui dua jalur, yakni:
ADVERTISEMENT
Ketika jalur jangka pendek memproses informasi lebih dulu, otak dapat salah menafsirkannya sebagai memori lama yang akhirnya menciptakan ilusi familiaritas. Fenomena ini membuat informasi yang sama diproses dua kali sehingga terasa seperti pernah terjadi sebelumnya.
Gangguan Sinkronisasi Otak
Dalam keadaan normal, otak kanan dan kiri membagi informasi secara cepat dan terkoordinasi. Namun, terjadi gangguan sinkronisasi otak pada fenomena déjà vu, menyebabkan informasi yang sama diproses dua kali. Belahan otak kiri dapat mengirimkan informasi lebih lambat dibandingkan belahan kanan, sehingga pengalaman yang baru dirasakan terulang dalam waktu sangat singkat. Gangguan ini menciptakan ilusi bahwa pengalaman tersebut telah terjadi sebelumnya. Penelitian neurosains mendukung teori ini dengan menampilkan bahwa area otak tertentu, seperti lobus temporal, lebih rentan terhadap gangguan sinkronisasi.
ADVERTISEMENT
Model Neuroanatomical Tape Recorder
Teori ini menganggap otak seperti “perekam kaset,” yang di mana informasi sensorik direkam (encoding) dan diputar ulang (retrieval) secara simultan. Pada déjà vu, otak mungkin melakukan kedua proses ini sekaligus secara tidak sengaja. Ketika informasi baru masuk, otak merekam pengalaman tersebut dan secara bersamaan. Informasi tersebut juga diputar ulang sehingga menciptakan kesan bahwa pengalaman itu berasal dari masa lalu.
Proses ini melibatkan beberapa area otak, termasuk hippocampus untuk pengolahan memori dan korteks parahippocampal untuk pengenalan visual. Aktivasi simultan di jalur sensorik dan memori memperkuat rasa familiar terhadap situasi baru.
Déjà vu adalah fenomena kompleks yang melibatkan interaksi antara memori, persepsi, dan emosi dalam otak. Meskipun sering dianggap misterius, penelitian neurosains mengungkap bahwa déjà vu muncul akibat kesalahan dalam pemrosesan informasi oleh otak. Studi tentang déjà vu tidak hanya penting untuk memahami mekanisme neurologisnya, tetapi juga untuk menggali lebih dalam tentang bagaimana otak mengintegrasikan pengalaman, memori, dan persepsi. Hal ini memiliki implikasi pada diagnosis dan penanganan gangguan neurologis seperti epilepsi, serta pengembangan teknologi neuroimaging untuk memahami fungsi otak lebih lanjut. Pemahaman tersebut tidak hanya membantu kita memahami bagaimana otak memproses pengalaman, tetapi juga membuka wawasan tentang bagaimana memori dan persepsi bekerja bersama, serta potensi implikasinya dalam kondisi neurologis tertentu. Dengan demikian, déjà vu menjadi cermin bagi kompleksitas luar biasa cara otak manusia berfungsi.
ADVERTISEMENT
Referensi:
Wild, E. (2005). Deja vu in neurology. Journal of neurology, 252, 1-7.
Neppe, V. M. (1983). The causes of déjà vu. Parapsychological Journal of South Africa, 4(1), 25-35.
Urquhart, J. A., Sivakumaran, M. H., Macfarlane, J. A., & O’Connor, A. R. (2022). fMRI evidence supporting the role of memory conflict in the déjà vu experience. In Déjà vu and Other Dissociative States in Memory (pp. 87-98). Routledge.
Gillinder, L., Liegeois-Chauvel, C., & Chauvel, P. (2022). What déjà vu and the “dreamy state” tell us about episodic memory networks. Clinical Neurophysiology, 136, 173-181.