Konten dari Pengguna

Ra Srawung Rabimu Suwun: Di Balik Pepatah Pemersatu Masyarakat Jawa

Karina Ade Rahmawati
Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta
24 September 2024 13:09 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Karina Ade Rahmawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto : Nyinom Karang Taruna Manggala Muda
zoom-in-whitePerbesar
Foto : Nyinom Karang Taruna Manggala Muda
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia merupakan negara yang kaya akan perbedaan. Dari Sabang hingga Merauke terdapat perbedaan suku, budaya, tradisi,dan bahasa. Walaupun banyak perbedaan yang dimiliki indonesia, tetapi semangat persatuan dan gotong royong masih dijunjung tinggi. Tolong-menolong dan gotong-royong masih kental terlihat di masyarakat pedesaan. Dalam membantu sesama, masyarakat desa tidak membeda-bedakan siapa yang akan mereka bantu. Semua itu merupakan bentuk romantisme kehidupan masyarakat desa. Masyarakat jawa sering menyebutnya sebagai “Guyub Rukun” yang bermakna kebersamaan yang ada di dalam masyarakat bermula dengan adanya kerukunan. Namun, generasi sekarang, terutama anak muda cenderung sulit berbaur dengan masyarakat desa. Hal ini terjadi karena majunya teknologi komunikasi dan jaringan yang semakin cepat sehingga mereka asyik dengan dunia mayanya sampai mereka enggan untuk berbaur dengan masyarakat. Untuk mengatasi lunturnya budaya gotong-royong pada generasi muda, masyarakat desa, terutama masyarakat jawa menciptakan slogan “Ra Srawung, Rabimu Suwung” yang ditujukan kepada generasi muda yang enggan bersosialisasi dengan masyarakat. “Ra Srawung Rabimu Suwung” memiliki makna “tidak bersosialisasi maka nikahanmu sepi”. Terlihat jahat, tetapi slogan ini memberikan makna bahwa dampak gotong-royong memang sebesar itu. Slogan ini sering kita jumpai ketika kerabat atau tetangga kita sedang memiliki hajatan. Pada dasarnya slogan ini ditujukkan bagi pemuda yang jarang bersosialisasi atau kepada pemuda yang dulunya senang bersosialisasi, tetapi tiba tiba menutup diri. “Ra Srawung Rabimu Suwung” sebagai Pemersatu Hidup bermasyarakat sudah menjadi suatu kenormalan, mau tidak mau, harus menjadi pribadi yang sopan atau paling tidak bertegur sapa. Memang benar ini menjadi salah satu cara agar pemuda bisa andil dalam melestarikan “Guyub Rukun” dalam masyarakat Jawa. Slogan ini semacam upaya untuk meminimalisir sifat-sifat anti sosial terjadi. Benar saja, cara ini cukup efektif untuk mempersatukan masyarakat. Siapa yang ingin pernikahannya sepi? tentu saja tidak ada yang menginginkan. Maka dari itu, slogan ini muncul untuk memberikan semangat kepada generasi muda bahwa mempertahankan persatuan dalam kebudayaan Jawa sangat menyenangkan. Makna kata “srawung” bukan sekedar feedback sosial personal saja, tetapi sebuah kultur yang harus dilestarikan. “Ra Srawung Rabimu Suwung” Pepatah Tak Sehat Sekilas pepatah ini efektif diajukan kepada generasi muda agar lebih bersosialisasi di masyarakat. Namun,“Ra Srawung Rabimu Suwung” juga termasuk salah satu sindiran yang kejam. Pemuda justru merasa was-was akan masa jika suatu saat pernikahanya sepi. Jatuhnya pepatah ini memberikan tekanan pada pemuda, mau tidak mau mereka harus melakukanya. Semakin pepatah itu disuarakan, maka semakin besar juga efek terornya kepada para pemuda. Bersosialisasi di masyarakat bukan lah sebuah keharmonisan, melainkan hanya sebuah formalitas demi diterima di lingkungan masyarakat. Hal ini menyebabkan makna “Srawung” pada konteks ini tidak lagi suci. Masyarakat hanya menerapkan prinsip take and give dalam mengimplementasikan pepatah “Ra Srawung, Rabimu Suwung”. Menurut saya pepatah “Ra Srawung Rabimu Suwun” terkesan intimidatif. Mungkin saja sindiran yang kita lontarkan yang sebenarnya menjadikan teman kita menutup diri dan menjadi penyebab perpecahan. Harusnya fokus kita disini merangkul teman kita, bukan saling melontarkan sindiran. Cara lain bisa kita lakukan dengan bersilaturahmi dengan teman kita yang terlihat menutup diri. Hal ini malahan terkesan damai dan rukun untuk memperkuat persatuan dibandingkan dengan melontarkan pepatah sindiran.
ADVERTISEMENT