Para Perempuan yang Melawan Kekerasan dengan Kelembutan

Karina Adistiana (Anyi)
Psikolog Pendidikan, inisiator Gerakan Peduli Musik Anak, Jaringan Pendidikan Alternatif
Konten dari Pengguna
18 Mei 2018 10:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Karina Adistiana (Anyi) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kasih sayang (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kasih sayang (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Pasca beberapa ledakan di Surabaya & Sidoarjo, saya mengirim pesan pribadi ke beberapa kawan yang letak rumahnya tak terlalu jauh dari lokasi-lokasi ledakan untuk bertanya kabar dan menyediakan diri untuk mendengarkan bila ada ketidaknyamanan psikologis. Beberapa percakapan berlanjut panjang.
ADVERTISEMENT
Salah satunya dengan seorang kawan sekolah yang beragama Kristen dan tinggal di Sidoarjo. Ia lalu menceritakan interaksinya dengan para tetangga yang cukup beragam karakter dan latar belakang, lalu mengirimkan catatan percakapan di grup PKK rumahnya pada 2 malam setelah terjadinya ledakan. Atas izinnya, saya menceritakan kembali pengalamannya.
Percakapan rupanya muncul karena salah satu perempuan memasang video yang di antaranya menyebut soal “Mereka yang bukan saudara seiman, adalah saudara dalam kemanusiaan.”.
Seorang perempuan bercadar menanggapi dengan membenarkan kutipan dalam video, lalu menyatakan kesedihan melihat kejadian beberapa hari ini. Ia mengutuk kekerasan yang terjadi, menyatakan belasungkawa, serta menjelaskan bahwa dalam ajaran Islam ada larangan membunuh, apapun agama sasarannya. “Jangankan membunuh banyak orang, 1 pun tidak boleh,” begitu tulisnya. “Bahkan kami wajib menyingkirkan duri dari jalan,”, demikian salah satu contoh yang ia berikan untuk menjelaskan soal kewajiban berbuat baik yang ia pelajari.
ADVERTISEMENT
Yang menarik, perempuan ini melanjutkan percakapan dengan meminta maaf bila pakaiannya membuat tidak nyaman banyak orang dan ia juga menjelaskan tidak akan keluar rumah dulu untuk beberapa hari ke depan bukan karena takut dicap sebagai teroris tapi karena ia khawatir orang akan tidak nyaman dan takut melihatnya.
Ia pun menjelaskan ada banyak alasan mengapa seseorang memilih bercadar. Ia juga tak menampik ada yang ikut aneka aliran. Namun ia menjelaskan alasannya bukan karena aliran, tapi karena permintaan suami yang alasannya sangat personal di antara mereka. Perempuan ini menuliskannya sih, tapi saya tak usah tulis ya.
ADVERTISEMENT
Tulisan panjang perempuan bercadar ini ditanggapi langsung oleh tetangganya yang beragama Nasrani. Ia mengawali tanggapannya dengan menyatakan kesedihan karena sang perempuan bercadar sampai terbeban karena kewajiban agama. Ia pun menjelaskan beban yang ia rasakan selama 14 tahun (sejak awal teror bom di Indonesia), karena setiap mau beribadah ia harus melewati pemeriksaan dan penjagaan ketat.
Selain tidak nyaman, ia juga bertanya-tanya mengapa untuk menjalankan kewajiban agamanya ia harus mengalami hal ini, bahkan hingga ibadah Minggu tanggal 12 itu ditiadakan di semua gereja. Ia lalu berterimakasih atas tulisan itu dan bercerita beberapa temannya yang berjilbab dan bercadar juga langsung menghubunginya.
Ia lalu menyatakan kerinduan akan Indonesia yang rukun, dan mengajak semua anggota PKK dalam grup itu untuk memulai dari grup mereka sendiri. Beberapa saran konkrit ia ungkapkan, termasuk saling mengingatkan ketika ada ucapan yang sensitif atau memancing kebencian muncul di antara mereka.
ADVERTISEMENT
Para perempuan lain lalu saling mengungkapkan perasaan dan pendapatnya terkait pendapat kedua orang perempuan tersebut. Semua saling menyemangati. Salah satunya bahkan mengajak semua orang untuk mencoba berpikir positif bahwa ledakan-ledakan itu bukan mengincar agama maupun etnis tertentu. Perempuan yang mengingatkan ini justru berlatar belakang Tionghoa dan beragama Nasrani.
Kawan yang mengirim catatan percakapan pada saya saat itu tak melibatkan diri dalam percakapan di grup. Namun ia bercerita bahwa setelah membaca catatan percakapan tersebut, ia memutuskan untuk mengirimkan pisang goreng pada sang perempuan bercadar. Alasannya: Kasihan, terbeban sampai tidak mau keluar.
ADVERTISEMENT
Terharu sekali saya membaca cerita dan catatan percakapan itu. Bagi saya apa yang terjadi beberapa waktu terakhir ini bukan sekadar serangan terhadap umat Kristen/Katolik, bukan pula sekadar serangan pada polisi ataupun warga Surabaya/Riau.
Ini adalah serangan terhadap bangsa, dampaknya dirasakan oleh banyak orang. Maka, bangsa ini perlu melawan dengan memperkuat kembali esensi yang membangun bangsa. Perasaan kesetaraan dan kesamaan dalam berbagai hal walaupun ada banyak perbedaan dalam hal-hal lain.
Para perempuan di Sidoarjo dalam cerita nyata tadi memahami betul hal ini, mereka pun memahami pentingnya ruang publik yang inklusif, di mana setiap orang bisa terlibat dan mengungkapkan pendapat serta menjalankan berbagai kewajibannya dengan tetap saling menghargai.
ADVERTISEMENT
Mereka memilih untuk memulai hal ini dengan saling membuka diri dan memulai interaksi yang lebih guyub dan personal di antara mereka. Salut saya pada para perempuan yang melawan dengan kelembutan ini.
Semoga, sebagaimana harapan kawan saya ketika memberikan izin pada saya, cerita ini memberikan sedikit kesejukan bagi yang membacanya. Semoga juga, inisiatif yang sama muncul di lingkungan-lingkungan lain. Kita butuh lebih banyak simpul persatuan.
Salam damai dan salam inklusivitas