Konten dari Pengguna

Pentingnya Mengembangkan Kesiagaan Bencana pada Anak

Karina Adistiana (Anyi)
Psikolog Pendidikan, inisiator Gerakan Peduli Musik Anak, Jaringan Pendidikan Alternatif
4 Oktober 2018 13:12 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Karina Adistiana (Anyi) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pelatihan kesiagaan bencana di Taiwan (Foto: Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Pelatihan kesiagaan bencana di Taiwan (Foto: Istimewa)
ADVERTISEMENT
Setengah tahun lalu, saya menghadiri “International Conference on School’s Disaster Reduction and Resicilience Education In Practice” di Taipei, Taiwan. Salah satu rangkaian acara adalah melihat langsung simulasi kesiagaan bencana di dua sekolah.
ADVERTISEMENT
Di kedua sekolah, saya melihat anak-anak beragam usia mampu dengan cepat bereaksi terhadap alarm. Kelompok anak terkecil yang baru berusia 2 sampai 3 tahun bahkan dalam waktu kurang dari satu menit setelah alarm bencana berbunyi langsung mengambil dan memakai pelindung kepala, lalu masuk ke bawah meja bersama para guru.
Semua dilakukan dengan diam, agar mereka dapat mendengarkan instruksi para guru. Ini adalah pemandangan yang cukup berbeda dari yang saya lihat selama 14 tahun terakhir di berbagai daerah yang baru terkena bencana ataupun pernah mengalami bencana.
Di Padang, saya melihat langsung ketika gempa, jalanan yang tadinya kosong langsung dipenuhi masyarakat yang panik berlarian ataupun naik motor tak tentu arah. Padahal, beberapa tahun sebelumnya, Padang mengalami gempa besar.
ADVERTISEMENT
Di Aceh, saya melihat masyarakat yang setelah gempa langsung masuk kembali ke rumah, tanpa mempertimbangkan kemungkinan gempa susulan.
Sementara sebuah video yang viral menunjukkan sekelompok anak-anak sekolah dasar di Sinabung yang bereaksi ketika terjadi erupsi. Ada yang berteriak kencang, ada yang menangis sambil memanggil ibunya, ada yang berlari lalu memanjat pagar sekolah, dan tak sedikit yang diam mematung tak tahu apa yang harus dilakukan. Tak tampak orang dewasa di video itu. Padahal, video itu diambil setelah selama beberapa tahun Sinabung selalu aktif bergejolak. Kesiagaan bencana masyarakat kita buruk.
ADVERTISEMENT
Dalam konferensi yang sama, ada pertanyaan dari tuan rumah yang tak bisa saya jawab, yaitu: “Umur berapa anak-anak di Indonesia mulai belajar tentang kesiagaan bencana?”
Wajar tuan rumah menanyakan ini, sebab mereka sudah menghabiskan 16 tahun sejak mulai mengintegrasikan materi kesiagaan bencana dalam kurikulum mereka. Mereka tak sekadar melakukan kegiatan simulasi bencana secara rutin (di semua sekolah di Taiwan, kegiatan ini dilakukan setiap bulan), namun juga selalu melakukan pencatatan dan pengembangan program sehingga integrasi materi berjalan efektif dan efisien.
Memberi pelatihan siaga bencana pada anak (Foto: Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Memberi pelatihan siaga bencana pada anak (Foto: Istimewa)
Sedangkan utusan Jepang mengungkapkan saat ini negara mereka sudah sampai pada tahap memberi perhatian besar pada kesiagaan bencana yang mempertimbangkan efek mengurangi dampak risiko bencana pada anak, baik secara fisik, kognitif, maupun psikologis. Konsep “safe the playgrounds” membuat mereka berusaha sebaik mungkin agar dalam setiap bencana, anak dapat segera bermain karena lewat bermain di lingkungan terbuka anak belajar banyak.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan Indonesia?
Pendidikan kesiagaan bencana di masa lalu sering kali diartikan sebagai transfer ilmu ataupun pengembangan keterampilan dari ahli kebencanaan dan pengurangan risiko bencana kepada yang non-ahli.
Ini tak lagi sesuai. Dari beragam kejadian, dapat dilihat setiap bencana punya karakteristik yang berbeda-beda. Paling tidak, dari dua bencana alam terakhir yaitu Lombok dan Sulawesi Tengah (Donggala & Palu), kita bisa lihat betapa sangat berbedanya karakteristik gempa yang skalanya tak terlalu beda jauh.
Inilah yang membuat pola pendidikan kesiagaan bencana sekarang diarahkan untuk menjadi lebih partisipatif. Cara menyelamatkan diri bisa jadi berbeda, tergantung pada situasi daerah dan jenis bencana.
ADVERTISEMENT
Tapi yang terpenting, kita tak bisa menunggu pihak tertentu melakukannya. Kita perlu mulai memetakan lingkungan dan membuat sendiri prosedur kesiagaan bencana. Ingat, anak selalu menjadi kelompok rawan dalam bencana, karena itu kita perlu melatih anak-anak untuk menyelamatkan diri, baik di rumah dan di sekolah, maupun di tempat umum.