Siaga Bencana, Kunci Keselamatan Hidup di Negara Cincin Api

Karina Adistiana (Anyi)
Psikolog Pendidikan, inisiator Gerakan Peduli Musik Anak, Jaringan Pendidikan Alternatif
Konten dari Pengguna
3 Oktober 2018 13:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Karina Adistiana (Anyi) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Peta gempa Indonesia (Foto: Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Peta gempa Indonesia (Foto: Istimewa)
ADVERTISEMENT
Setiap terjadi bencana alam di Indonesia, masyarakat diingatkan akan posisi Indonesia yang termasuk dalam Ring of Fire atau Cincin Api. Posisi ini membuat Indonesia sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi, juga tsunami.
ADVERTISEMENT
Indonesia bahkan berada di jalur gempa teraktif di dunia karena dikelilingi oleh Cincin Api Pasifik dan berada di atas tiga tumbukan lempeng benua. Gempa ini terjadi tak hanya terjadi di satu atau dua daerah saja, namun juga tersebar di banyak lokasi di negara kita.
Gempa selalu memancing diskusi tentang kesiagaan bencana. Sayangnya, topik ini biasanya naik daun dan menjadi tren hanya sampai hitungan beberapa minggu setelah bencana.
Aneka dokumen panduan kesiagaan bencana beredar di media sosial dan di bahas di aneka grup percakapan dekat di hari-hari awal pasca-bencana alam. Namun, tak sedikit yang hanya berhenti ditindakan menyebarkan kembali materi itu.
Pelatihan kesiagaan bencana di Taiwan (Foto: Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Pelatihan kesiagaan bencana di Taiwan (Foto: Istimewa)
Jangankan melatih penerapan langkah-langkah kesiagaan yang dijelaskan dalam buku, beragam materi panduan tersebut bahkan tak dibaca oleh penyebarnya.
ADVERTISEMENT
Materi yang sama kemudian beredar kembali saat bencana alam berikutnya. Coba tanya pada diri sendiri, di kelompok mana kita tergolong? Yang menyebar saja? Atau yang kemudian tergerak untuk membaca panduan dan melatih diri sendiri serta keluarga untuk siap menghadapi bencana?
Beberapa bulan lalu, ketika menghadiri “International Conference on School’s Disaster Reduction and Resicilience Education In Practice” di Taipei, Taiwan, saya mendapat kesempatan belajar sangat banyak dari utusan tuan rumah dan utusan dari Jepang.
Dari mereka, saya belajar pentingnya menyiapkan anak yang rawan menjadi korban dalam bencana alam untuk tak sekadar bisa menyelamatkan diri ketika mengalami aneka bencana, namun juga bisa menerima konsep bahwa alam bisa sangat menakutkan tetapi tetap tak boleh ditinggalkan, bahkan harus dijaga baik-baik.
ADVERTISEMENT
Tak ada sekolah alam di sana, karena materi tentang alam memang terintegrasi dalam semua mata pelajaran. Hal ini amat erat kaitannya dengan mengurangi risiko trauma pasca bencana pada anak-anak.
Kita perlu ingat bahwa anak adalah generasi penerus bangsa, dan sayangnya dalam bencana, anak juga yang sering kali rawan menjadi korban. Maka mengajarkan kesiagaan bencana pada anak bukan sekadar menyelamatkan nyawa mereka, namun juga menyelamatkan masa depan bangsa ini.
ADVERTISEMENT
Peta bencana dari BNPB menunjukkan kita rawan terhadap berbagai bencana. Selain gempa, gunung berapi, dan tsunami, kita juga sering melihat berita seputar banjir, tanah longsong, dan kebakaran. Bahkan kebakaran hutan kita juga menyumbangkan asap pada beberapa negara tetangga.
Apakah ini berarti kita harus pindah negara? Tentu tidak, kita perlu belajar untuk hidup berdampingan dengan alam dan living in harmony with disaster. Ajari anak-anak tentang karakter alam, dan mari kita mulai melatih kesiagaan bencana di tempat kita. *catatan: Keikutsertaan penulis dalam International Conference on School’s Disaster Risk Reduction and Resilience Education In Practice di Taipei, Taiwan. merupakan hasil kerjasama Gerakan Peduli Musik Anak dan Kelompok Riset Kesehatan Mental Komunitas Fakultas Psikologi Universitas Indonesia sebagai bagian dari kegiatan pengabdian masyarakat dengan bantuan dana hibah IPTEKS bagi Masyarakat dari Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM) Universitas Indonesia.
ADVERTISEMENT