Konten dari Pengguna

Ekspor Pasir Laut: Dilema di Bawah Payung PP No. 26 Tahun 2023

Karisma Nisaul
Halo, saya Karisma Nisal M, mahasiswa ilmu politik UIN Sunan Ampel Surabaya
29 September 2024 12:59 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Karisma Nisaul tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi pengangkutan pasir laut. Sumber: shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pengangkutan pasir laut. Sumber: shutterstock
Negara tercinta kita ini, seperti tidak ada habisnya memberikan stimulus terhadap khalayak mengenai hal yang perlu diperdebatkan. Pertengahan 2023 lalu Presiden Joko Widodo menerbitkan PP No.26 Tahun 2023 terkait pengelolaan hasil sedimentasi laut. Bagaimana tidak hal ini dihiraukan begitu saja mengingat kebijakan terkait ekspor pasir laut yang telah lama ditutup sejak dibawah kepemimpinan Megawati, dikarenakan dampak negatif yang ditimbulkan khususnya pada lingkup lingkungan. Lalu apa yang melatarbelakangi diterbitkannya PP. No 26 tahun 2023?
ADVERTISEMENT
Pendekatan Pilihan Rasional: Menimbang Dampak
Mengutip buku edisi revisi dari Miriam Budiarjo berjudul “Dasar-Dasar Ilmu Politik” (2007), mengatakan bahwa istilah pendekatan menjadi tolak ukur yang digunakan untuk memilih masalah, menentukan data mana yang akan diteliti dan data mana yang akan dikesampingkan. Dalam hal ini penulis mencoba mengaitkannya menggunakan pendekatan pilihan rasional sembari memberikan jawaban atas pertanyaan diatas.
Pendekatan ini berasumsi bahwasanya individu (dalam konteks ini, pembuat kebijakan) akan mengoptimalkan kepentingannya dalam meraih tujuan dengan cara yang efisien. Pada PP. No 26 Tahun 2023 dijelaskan hal yang melatarbelakangi kebijakan ini diterbitkan adalah karena Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar memiliki sumber daya berlimpah baik hayati maupun nonhayati, salah satunya yaitu hasil sedimentasi di laut. Pemerintah kemudian melihat dampak yang ditimbulkan jikalau hasil sedimentasi di laut tidak dikelola maka dapat menurunkan daya dukung ekosistem pesisir dan laut. Sehingga, kemudian kebijakan ini ditimbang dari aspek ekologinya, yang intinya pengolahan hasil sedimentasi di laut akan memberikan dampak positif dengan terpeliharannya daya dukung ekosistem disana dan juga dari aspek ekonomi dapat dimanfaatkan untuk pembangunan dalam negeri, ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi guna meningkatkan nilai ekonomi masyarakat maupun negara.
ADVERTISEMENT
Pembuat Kebijakan (pemerintah) memutuskan Kebijakan ini dengan melihat manfaat yang dapat dikatakan hanya jangka pendek saja dan cukup percaya diri atas peraturan yang dikeluarkan untuk meraih tujuan yang diharapkan. Akan tetapi pada kenyataanya, ekspor pasir laut lebih banyak memberikan dampak negatif dalam kilas balik sejarahnya. Mengutip laman VOI dalam artikel yang berjudul “Sejarah Ekspor Pasir Laut Nusantara: Singapura Untung, Indonesia Buntung” (2024), Indonesia mengalami kerugian yakni, kehilangan lima pulau kecil di sekitar Riau dan pendapatan dari ekspor pasir laut tidak sebanding dengan kerusakan yang terjadi. Disisi lain, dampak sosial dan politik dari ekspor pasir laut juga patut diperhatikan. Masyarakat pesisir yang selama ini menggantungkan hidup pada sumber daya laut terancam kehilangan mata pencaharian. Konflik sosial pun tidak dapat dihindari akibat distribusi manfaat yang tidak merata serta kebijakan ini melibatkan tarik-menarik kepentingan antara berbagai kelompok, mulai dari pengusaha tambang, pemerintah daerah, hingga masyarakat sipil.
ADVERTISEMENT
Melansir laman Ombudsman RI, Hery Susanto (Anggota Ombudsman RI) mengemukakan kekhawatirannya terhadap PP No. 26 Tahun 2023, yang mana dinilai tumpang tindih, karena ketentuan terkait pasir laut sudah didelegasikan dengan Undang-Undang Minerba bantuan non logam dari Permen ESDM, sehingga hal ini mengganggu harmonisasi antar kementerian. Serta soal mekanisme penerapan, dimana KKP diberikan wewenang untuk melakukan pengawasan di tengah banyak keterbatasan infrastruktur, SDM, dan anggaran.
Rekomendasi yang Disarankan
Menurut penulis, ada dua hal yang menjadi kunci untuk menyelesaikan perdebatan kebijakan ini. Yang pertama adalah, merevisi PP ini secara holistik (menyeluruh). Pembuat Kebijakan dihimbau untuk mengkaji ulang kembali seluruh aspek yang terlibat dalam keputusan publik jika memang benar kebijakan ini diputuskan demi “kesejahteraan bersama”, pemerintah seharusnya tidak gegabah dalam mengambil sebuah keputusan. Tidak hanya melihat manfaat jangka pendek yang diperoleh akan tetapi juga melihat apa dampak yang dihasilkan dalam jangka panjang. Masyarakat harus diikutsertakan dalam ruang pembuatan Kebijakan ini karena masyarakatlah yang akan mendapat dampak intens dari suatu kebijakan yang diberlakukan. Kedua, “monitoring”, kenapa kemudian kata kedua tersebut penulis beri tanda petik dua, karena seyogyanya kebijakan apapun pada negara ini, tahap akhir sebelum evaluasi tersebut “sangat lemah”. Walaupun terkait pengawasan juga disinggung dalam PP tersebut, namun nyatanya pemerintah selalu saja kecolongan akan eksploitasi yang berlebihan dan penambangan ilegal. Hal tersebut menandakan perlunya langkah tegas untuk benar-benar mengimplementasikan tahap “pengawasan” sebagaimana mestinya, tidak hanya sebatas tersusun rapi di draft peraturan belaka.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
PP No. 26 Tahun 2023 terkait pengelolaan hasil sedimentasi di laut memang memiliki tujuan yang mulia untuk memelihara ekosistem pesisir dan laut. Akan tetapi, Kebijakan ini memiliki kecacatan-kecacatan yang perlu untuk diperbaiki dan atasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan dan komitmen kuat dari pihak yang terlibat untuk menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam dengan semestinya. Jika tidak bisa, lebih baik peraturan ini dicabut kembali demi “kesejahteraan bersama”.