Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Tulisan ini merupakan bentuk hasil diskusi dan pemikiran dari Mahasiswa Magister Adminitrasi Publik Kelas Kemenpora Batch 2 2018 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman.
ADVERTISEMENT
Apa yang terlintas dalam benak kita ketika memandang kelokan-kelokan Sungai Karang Mumus yang membelah jantung Kota Samarinda masa kini? Hanya pandangan sungai yang kumuh, rumah-rumah penduduk yang menjorok hingga hampir memakan sepertiga badan sungai, endapan lumpur hitam yang berbau ketika musim kemarau dan luapan amarah banjir ketika musim hujan dan air pasang tiba.
Mengapa hanya ada gambaran-gambaran yang tidak menyenangkan ketika membayangkannya? Padahal sudah jamak kita ketahui bahwa Samarinda adalah kota sungai, mau menjadi kota water front city, tetapi mengapa seperti tidak ada arah yang jelas menuju kesana? Padahal sudah 20 tahun lebih sejak peristiwa banjir besar tahun 1998 yang membuat Pemerintah Kota Samarinda mencanangkan program untuk menata Sungai Karang Mumus dengan cara merelokasi warga, tapi apakah itu berhasil?
ADVERTISEMENT
Tulisan ini mencoba untuk me-review ulang kebijakan penataan Sungai Karang Mumus oleh Pemerintah Kota Samarinda.
Kebijakan Penataan
Permasalahan penataan Sungai Karang Mumus adalah permasalahan yang sangat kompleks. Bagai mengurai benang kusut yang ketika satu benang berhasil terurai, ada 3 benang baru yang membuat kusut kembali. Setidaknya itulah gambaran ringkas bagaimana kompleksnya permasalahan yang ada.
Kebijakan penataan Sungai Karang Mumus dimulai sejak tahun 1998, walaupun konsep penataan sudah ada sejak tahun 1989 melalui Program Kali Bersih (PROKASIH), namun baru dilaksanakan seusai peristiwa banjir besar melalui program relokasi rumah warga yang berada di bantaran sungai.
Namun hingga kini program itu tidak menuai keberhasilan yang signifikan. Data penelitian yang dilakukan oleh Mustianto (2017) menunjukkan bahwa dari 3.915 rumah yang masuk program relokasi, baru 1356 rumah yang berhasil direlokasi dan masih ada 2.559 rumah yang belum dan ini baru sebatas pada segmen Jembatan 1 hingga Jembatan Kehewanan.
ADVERTISEMENT
Program penataan sungai baru mulai terlihat lagi sejak terjadinya banjir besar pada tahun 2019 dimana pemerintah Kota Samarinda mulai menertibkan bangunan dan melakukan relokasi 550 rumah di daerah sekitar Gang Nibung yang terletak di Jl. Dr. Soetomo.
Permasalahan
Ada beberapa permasalahan yang menjadi landasan mengapa program penataan kawasan Sungai Karang Mumus melalui program relokasi rumah warga menemui kegagalan.
Pertama, kawasan padat penduduk yang berada di bantaran sungai sungai merupakan kawasan perdagangan dan jasa sehingga sangat menyulitkan bagi pemerintah untuk menertibkan dan merelokasinya. Menertibkan dan merelokasi sama saja dengan kehilangan tempat usaha bagi warga.
Kedua, faktor sosial budaya masyarakat yang sudah terbiasa hidup di kawasan bantasaran sungai. Merelokasinya sama saja dengan mengubah kebiasaan hidup masyarakat dan tidak semua masyarakat mau untuk berubah.
ADVERTISEMENT
Ketiga, biaya ganti rugi dan santunan yang diberikan pemerintah dianggap tidak sesuai oleh warga.
Keempat, tiadanya kejelasan mengenai lokasi pemindahan mereka dimana didalamnya mencakup permasalahan legalitas lahan dan bangunan, fasilitas umum (air, listrik, infrastruktur pendukung, transportasi), dan lokasi yang berada jauh dari pusat kota yang ramai.
Kelima, kurangnya anggaran yang tersedia untuk mendukung program relokasi yang dilakukan.
Terakhir, tiadanya payung hukum yang jelas yang menaungi permasalahan terkait hibah dana relokasi dan dijadikannya warga sebagai komoditas politik praktis oleh para oknum menjelang Pilkada maupun Pemilu. Permasalahan ini kemudian hal yang sangat mengganggu keberhasilan dari pelaksanaan program penataan sungai melalui relokasi.
Paradigma Penataan
Program penataan sungai yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Samarinda terlalu berpegang erat pada paradigma penataan Sungai Karang Mumus sebagai pengendali permasalahan banjir sehingga pada akhirnya, kebijakan-kebijakan yang diambil selalu bertujuan agar membersihkan sungai dari bangunan kumuh, relokasi warga, pengerukan sungai, dan lain sebagainya yang pada intinya adalah menyingkirkan hambatan agar air mampu mengalir lancar.
ADVERTISEMENT
Padahal inti permasalahannya tidak sesederhana itu. Ada sejarah kehidupan masyarakat di pinggir sungai, sosial budaya, ada ekonomi yang bergerak, ada potensi pengelolaan kawasan bantaran sungai yang lebih humanis yang tidak bisa begitu saja dihapuskan dengan memindahkan warga ke tempat yang dianggap lebih baik oleh pemerintah. Namun jika mengacu pada paradigma pemerintah tersebut, seharusnya penataan tidak hanya berupa relokasi namun juga perbaikan di wilayah hulu Sungai Karang Mumus.
Sungai Karang Mumus tidak hanya sekedar sungai yang kita lihat di sepanjang dalam kota saja, namun juga mengular sepanjang 34,7 Km hingga ke daerah hulunya yang berada di kawasan Pampang dan Berambai. Daerah Aliran Sungai (DAS) Karang Mumus, melansir data dari Forum Satu Bumi dan JATAM, telah dikepung kawasan tambang batubara seluas 12.236,4 Ha atau sekitar 55,2% dari DAS Karang Mumus.
ADVERTISEMENT
Untuk daerah hulu saja ada sekitar 12 areal pertambangan batubara yang menyumbang kontribusi besar terhadap pencemaran dan pendangkalan Sungai Karang Mumus. Permasalahan di daerah hulu sungai ini tidak menjadi fokus utama pemerintah dalam memulai penataan Sungai Karang Mumus.
Ketidakefektifan dalam melaksanakan program-program penataan Sungai Karang Mumus harusnya membuat pemerintah memikirkan ulang atau meninjau kembali program yang telah ada apakah sudah sesuai dengan konteks zaman untuk dilakukan atau apakah sudah tepat dalam mengatasi permasalahan-permasalahan utamanya. Program relokasi misalnya, apakah saat ini sudah merupakan hal yang paling urgent untuk dilakukan mengingat jika permasalahan di hulu sungai tidak dibenahi, potensi banjir yang diakibatkan oleh luapan air sungai akan tetap sama besarnya.
Relokasi juga membutuhkan kondisi yang ideal untuk dilakukan, terutama penyediaan lokasi pengganti yang setidaknya mampu memenuhi kebutuhan dasar warga seperti tersedianya rumah layak huni, fasilitas listrik, air, jalan, dan transportasi yang memadai serta legalitas kepemilikan yang jelas. Relokasi juga tidak selalu berarti memindahkan seluruh bangunan dan warga yang berada di bantaran sungai.
ADVERTISEMENT
Pemerintah bisa mengelola penataan berupa kampung pinggir sungai yang bisa memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi dan industri kreatif. Dalam hal ini pemerintah bisa belajar dari daerah maupun negara yang sudah mempraktikkannya seperti Yogyakarta, Malang, maupun Negara Jepang.
Penutup
Secara konsepsi kebijakan dan master plan pembangunan kawasan Sungai Karang Mumus, terdapat dalam dokumen perencanaan Dinas PU serta tercantum dalam dokumen RPJMD 2016-2021. Membaca dan melihat konsep yang ditawarkan sudah sangat baik, terutama konsep water front city. Namun pada intinya adalah skala prioritas untuk melaksanakannya.
Peluang untuk memperbaiki kebijakan penataan Kawasan Sungai Karang Mumus kini juga terbuka dengan adanya revisi mengenai RTRW Kota Samarinda dan ditetapkannya Kalimantan Timur sebagai Ibukota Negara yang baru dimana Kota Samarinda akan menjadi daerah penyangganya.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Kota Samarinda dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur kini bisa memilih, apakah tetap mempertahankan kebijakan penataan yang ada atau me-review ulang kebijakan yang ada dan mengeluarkan kebijakan baru yang lebih tepat dan dijadikan prioritas.
#terusberkarya