Menilik Sejarah Bakpia Pathok, Oleh-oleh Khas Yogyakarta

Konten Media Partner
9 Juli 2019 0:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bakpia Pathok | Photo by bakpiakencana via Instagram
zoom-in-whitePerbesar
Bakpia Pathok | Photo by bakpiakencana via Instagram
ADVERTISEMENT
Bagi yang pernah ke Yogyakarta, pasti tidak asing lagi dengan Bakpia Pathok. Bakpia pathok adalah salah satu oleh-oleh yang paling diminati wisatawan ketika berkunjung ke Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Bakpia adalah kue berbentuk bulat pipih, yang berisi campuran kacang hijau dengan gula. Kue ini sebenarnya tidak asli berasal dari Yogyakarta, melainkan daratan Tiongkok. Di Tiongkok, kue ini bernama Tou Luk Pia yang artinya adalah kue kacang hijau.
Secara historis, bakpia adalah makanan "impor" dari negeri Tiongkok yang dibawa oleh para imigran Tionghoa pada dekade awal abad ke-20. Bakpia ini konon sudah ada sejak tahun 1930. Dibawa oleh keluarga-keluarga pedagang Tionghoa yang banyak menempati pusat Kota Yogyakarta.
Jenis makanan ini awalnya bukanlah makanan komersil, juga bukan makanan yang bernilai kultural seperti kue keranjang yang sering menjadi kue dalam perayaan Imlek. Posisinya adalah sebagai pelengkap dari kue keranjang tersebut dan sebagai kudapan (snack) keluarga.
ADVERTISEMENT
Namun kesulitan ekonomi keluarga Tionghoa di Yogyakarta diduga menjadi salah satu faktor yang membuat makanan ini dikomersilkan. Dugaan itu muncul mengingat relevansi waktu antara munculnya bakpia pada 1930-an dengan depresi ekonomi Hindia- Belanda. Pada saat itu, aktivitas ekonomi perdagangan keturunan Tionghoa di Yogyakarta mengalami kemunduran.
Salah satu keturunan Tionghoa, Goei Gee Oee kemudian memproduksi bakpia sebagai industri rumahan pada 1930-an. Bakpia yang didirikannya bernama Bakpia Pathuk 55.
Kemudian diikuti oleh Liem Yu Yen sekitar tahun 1948 yang diberi nama Bakpia Pathuk 75. Sampai pada tahun 1970, bakpia baru diproduksi oleh dua keluarga ini di Pathuk.
Waktu itu masih diperdagangkan secara eceran, dikemas dalam besek tanpa label dengan peminat yang masih terbatas. Kemasan bakpia kemudian berkembang hingga mengalami perubahan menjadi kertas karton yang disertai label tempelan.
ADVERTISEMENT
Perubahan terjadi ketika seseorang bernama Suwarsono menyebarkan keahlian membuat bakpia di Pathok. Suwarsono alias Sonder yang saat ini pemilik dari Bakpia 543 Sonder merupakan bekas pekerja dari Bakpia 75. Ia memutuskan keluar pada tahun 1972, untuk kemudian menyebarkan keahlian membuat bakpia di seluruh wilayah Pathuk.
Dari situlah, muncul berbagai industri kecil rumahan sekitar tahun 1980-an di Pathuk. Bakpia mulai diperdagangkan dengan kemasan baru dan dilabeli sesuai nomor rumah.
Misalkan Tan Ria Nio, yang memberi merek Bakpia Pathok 25 yang artinya ia membuka usaha di jalan Pathuk nomor 25. Kesuksesan bisnis bakpia 55, 75 dan 25 membuat kue oleh-oleh ini pun menjadi booming sekitar tahun 1992.
Letak Pathuk yang tepat di jantung kota Yogyakarta memberikan keuntungan berkali lipat. Masyarakat yang memproduksi bakpia menjadi lebih mudah menjajakan makanan oleh-oleh ini kepada para wisatawan.
ADVERTISEMENT
Penganan bakpia kini berkembang luas tak hanya berpusat di Pathuk. Ada pula Bakpia Minomartani di Desa Minomartani, Kecamatan Ngaglik, Sleman, dan Bakpia Japon di Desa Trimurti, Kecamatan Srandakan, Bantul yang diproduksi oleh banyak industri rumah tangga.
Semakin menjamurnya bisnis bakpia, produsen mau tak mau harus berinovasi agar roda bisnisnya tetap berjalan. Satu di antara upaya yang mereka lakukan adalah berinovasi dengan rasa.
Seperti yang dilihat kini bakpia tidak hanya berisi kacang hijau, tetapi lebih beragam seperti kumbu hitam, coklat, keju, nanas, duren, coklat kacang, kurma dan berbagai macam rasa lainnya.
Ada pula varian bakpia baru seperti roti yang berlapis-lapis. Produsen bakpia pathuk pun terus berinovasi mengikuti tren selera konsumen.
ADVERTISEMENT
#terusberkarja
Content Writer : DEV