Perjuangan Kampung Ketupat Samarinda di Tengah Pandemi COVID-19

Konten Media Partner
26 Mei 2020 14:01 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ratusan ketupat yang telah siap untuk dijual. | Photo by Karja/Titiantoro
zoom-in-whitePerbesar
Ratusan ketupat yang telah siap untuk dijual. | Photo by Karja/Titiantoro
ADVERTISEMENT
Ketupat adalah sebuah makanan khas yang terbuat dari beras yang dimasukkan ke dalam anyaman pucuk daun kelapa atau daun palma dan lainnya. Ketupat berbentuk kantong segi empat dan sebagainya, kemudian direbus, dan dimakan sebagai pengganti nasi.
ADVERTISEMENT
Ketupat paling banyak ditemui pada saat perayaan Hari Raya Idul Fitri sampai lima hari berikutnya ketika umat Muslim merayakan berakhirnya bulan suci Ramadhan.
Di Samarinda sendiri, ada salah satu kampung yang cukup terkenal yaitu Kampung Ketupat. Di mana hampir semua warganya dari yang muda hingga yang tua mahir dalam menganyam ketupat. Kampung Ketupat terletak di Jalan Mangkupalas, Kelurahan Mesjid, Samarinda Seberang.
Karja pun menyambangi kampung tersebut dan bertemu dengan salah satu penganyam ketupat, bernama Iin. Ia bersama dengan rekan-rekannya sedang menganyam ketupat.
Dari tahun 1999, Iin bersama warga Kampung Ketupat meneruskan warisan dari para nenek moyang mereka dengan menganyam ketupat. Selain melestarikan, menganyam ketupat juga menjadi pekerjaan mereka sehari-hari.
Kampung Ketupat yang telah ditetapkan sebagai tempat wisata di Kota Samarinda pada tanggal 11 Agustus 2017 lalu banyak dikunjungi oleh para wisatawan, baik dari lokal hingga mancanegara.
ADVERTISEMENT
Iin bersama rekannya, bisa menganyam ketupat sebanyak 300 sampai 400 bungkus untuk dijual kepada para pedagang di Samarinda, Tenggarong dan Balikpapan.
“Kalau kami semangat bikinnya bahkan sehari itu bisa sampai 300 atau 400 bungkus. Kalau di sini kami bikin ada dua jenis ketupat. Yang ukuran kecil itu untuk soto Makassar, dan yang besar itu untuk soto Banjar,” ujarnya kepada Karja, Kamis (21/5/2020) lalu.
Iin juga mengatakan, ada sebanyak tujuh jenis anyaman ketupat. Namun dirinya mengaku belum bisa membuatnya, karena membutuhkan teknik yang tinggi.
Iin (kiri) bersama rekannya sedang membuat ketupat. | Photo by Karja/Titiantoro
“Ada tujuh jenis anyaman, tapi itu hanya orang tua dulu yang bisa bikin. Habis itu untuk perayaan orang naik haji juga ada lagi. Tapi kami tidak bisa membuatnya,” kata Iin.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, Iin menjelaskan dirinya mematok harga untuk anyaman ketupat dengan harga Rp 1.000 per satuannya. Namun jika membeli satu ikat berisi 100 anyaman, akan dijual seharga Rp 50.000 ribu.
“Biasanya para penjual soto ambilnya 500 sampai 1.000 anyaman. Dan sudah ada pelanggannya. Tinggal nelpon biasanya, nanti kita antarkan,” jelasnya.
Namun, pada masa pandemi COVID-19 saat ini, Kampung Ketupat juga terkena imbasnya. Pasalnya, banyak warung-warung soto yang tidak berjualan, karena takut terkena virus tersebut. Sehingga permintaan ketupat pun ikut menurun.
“Lagi corona ini, banyak yang tidak mengambil ketupat. Kemarin sempat penuh di sini, sampai berjamur,” ungkapnya.
Mendekati Hari Raya Idul Fitri, Kampung Ketupat sedikit merasakan angin segar. Karena permintaan ketupat kembali meningkat dibandingkan hari-hari sebelumnya.
ADVERTISEMENT
“Kalau sebelum ada corona, kami bisa dapat Rp 400 ribu sekali jual. Jika banyak pesanan bapak-bapak disini juga ikut bikin (nganyam),” terangnya.
Iin mengungkapkan, walaupun ada permintaan dari luar daerah seperti Tenggarong, mereka tidak bisa mengantarkan pesanan, karena akses masuk ke wilayah tersebut untuk sementara waktu ditutup.
“Sekarang agak susah untuk masuk ke sana, diperiksa KTP-nya dan harus domisili sana. Termasuk saat kami mencari bahan di daerah Dondang (Kutai Kartanegara),” ungkapnya.
Iin dan warga Kampung Ketupat lainnya berharap, semoga corona segera berakhir dan dapat kembali normal seperti sedia kala agar dapat memperbaiki perekonomian mereka.