Konten dari Pengguna

Apa Yang Diperlukan Seseorang Untuk Memahami Psikologi Orang Lain? Perlukah DSM?

Karolina Anggie
Mahasiswa Psikologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
7 Februari 2024 6:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Karolina Anggie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi diskusi tentang mental health (sumber: https://www.freepik.com/)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi diskusi tentang mental health (sumber: https://www.freepik.com/)
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 10 Oktober, dunia diperingati sebagai Hari Kesehatan Mental Sedunia atau World Mental Health Day. Peringatan ini dikeluarkan oleh World Federation of Mental Health atau WFMH. WFMH dalam situs resminya menetapkan tema hari kesehatan mental sedunia 2022 sebagai 'Make Mental Health & Well Being for All a Global Priority' artinya yaitu menjadikan kesehatan mental dan kesejahteraan sebagai prioritas global untuk semua.
ADVERTISEMENT
Terdapat sekitar 5,5 persen remaja Indonesia yang telah didiagnosis mengalami gangguan mental berdasarkan Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental atau DSM-V yang diterbitkan oleh American Psychological Association atau APA. Artinya, ada sekitar 2,45 juta remaja di seluruh Indonesia termasuk dalam kelompok Orang Dengan Gangguan Jiwa atau ODGJ.
Namun, banyak peneliti dan dokter yang percaya bahwa DSM memiliki kredibilitas atau validitas ilmiah yang tidak memadai atau tidak layak digunakan, karena mereka meragukan bahwa gangguan dalam DSM adalah realitas yang objektif bukan subjektif. Lalu, apakah ahli profesional seperti psikiater bisa saja membuat dignosis yang salah? Lalu, apa yang diperlukan seseorang untuk memahami psikologi orang lain? Perlukah DSM?

Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental/Diagnostic and Statistical Manual of Mental Health Disorder

DSM ini adalah sistem diagnostik yang paling banyak digunakan di Amerika Serikat. Pertama kali diterbitkan oleh American Psychiatric Association (APA) pada tahun 1952. DSM digunakan oleh profesional medis, perusahaan asuransi, dan sistem pengadilan untuk mendiagnosis dan mendefinisikan penyakit dan ganggual mental, termasuk penyalahgunaan zat dan kecanduan. Tujuan DSM adalah untuk mengklasifikasikan gangguan dalam praktik dan juga bertindak sebagai panduan perilaku yang membentuk konsep dari gangguan jiwa.
Ilustrasi konsultasi profesional psikologi (sumber: https://www.pexels.com/id-id/)
Ada sebanyak 365 gangguan mental yang berbeda didefinisikan dalam DSM. Namun, para perumus DSM enggan untuk mendefinisikan istilah-istilah dari gangguan mental secara eksplisit, sehingga tidak memiliki definisi operasional yang konsisten yang mencakup semua situasi dalam gangguan mental. Maka, banyak konsep gangguan dalam DSM yang kurang valid karena perilaku psikologis yang terdaftar sebagai gangguan mental tidak dapat dijelaskan dengan menggunakan satu definisi mental.
ADVERTISEMENT

DSM-II

Stijn Vanheule yang merupakan psikolog klinis, Profesor Psikoanalisis dan Psikologi Klinis di Universitas Ghent, Belgia memberikan pernyataan tentang deskripsi yang dijelaskan dalam DSM-II, yang ternyata sangat buruk. Misalnya, dalam DSM-II gangguan mental skizofrenia hanya dijelaskan dengan penjelasan yang sangat singkat. Menurut Strand (asisten Profesor Sosiologi di Universitas Brandeis) yaitu menyatakan bahwa pentingnya definisi penyakit mental yang berbeda adalah untuk memisahkan "fenomenologi dari sindom" dan patologi dari pasien dan kepribadian mereka. Maka, DSM-II memiliki kemiripan dengan DSM-I dalam hal sedikitnya memperhatikan diagnosis dan memiliki sedikit implikasi di dalam klinis.

DSM-III

Dikarenakan DSM-II menggambarkan deskripsi gangguan yang sangat minim dan lebih didasarkan pada rumusan atau pernyataan daripada diagnosis klinis. Maka, dibentuklah revisi DSM-I dan DSM-II yaitu dengan lahirnya DSM-III. Tujuannya adalah untuk memberikan deskripsi yang jelas tentang kategori diagnostik, sehingga memungkinkan ahli klinis dan peneliti dapat mendiagnosis, berkomunikasi tentang bagaimana mempelajari dan mengobati berbagai gangguan mental.
ADVERTISEMENT
Namun, ditemukan kritik dari psikologi klinis terhadap DSM-III yang cenderung mereproduksi masalah dan hubungan perilaku dengan "penyakit" dan kategori diagnostiknya tidak dapat diandalkan karena mereka mendefinisikan jenis penyakit yang melampaui yang dapat diamati.

DSM-V

Setelah lebih dari satu dekade dalam pengembangan dari DSM, terbitlah edisi kelima dari Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM-V) yang diterbitkan pada Mei 2013. DSM-V adalah dokumen yang berisi pembaruan dari revisi DSM sebelumnya. DSM-V memperkenalkan diagnosis baru atau sudah direvisi seperti gangguan makan, gangguan spektrum autisme, gangguan disregulasi suasana hati yang mengganggu anak-anak, gangguan neurokognitif ringan, dan gangguan dysphoric pramenstruasi. Selain terdapat diagnosis baru, DSM-V memnghilangkan kriteria keberdukaan atas kehilangan yang dapat didiagnosis menjadi gangguan depresi mayor.
Ilustrasi gangguan makan (sumber: https://www.freepik.com/)
Penghapusan itu memuat pro dan kontra di dalam lingkungan klinis, beberapa dokter menyetujui bahwa perubahan tersebut merupakan perubahan yang positif karena individu yang mengalami keberdukaan atas kehilangan dapat memperoleh diagnosa dan pengobatan yang mereka butuhkan. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa orang yang sedang mengalami proses berduka yang masih dalam batas normal, sekarang akan didiagnosis menderita depresi, hasilnya akan overdiagnosis. Overdiagnosis di bidang kesehatan mental memiliki konsekuensi neatif yang signifikan bagi kesehatan masyarakat karena mengarah pada perawatan obat yang tidak perlu.
ADVERTISEMENT

Kelemahan dalam proses pengambilan informasi klinis yang umum terjadi di lingkungan psikiatri:

Ada tiga kateori kesalahan diagnosis, yaitu:

Keterlambatan, kesalahan, dan diagnosis yang tidak tepat mengakibatkan perawatan pasien yang tidak tepat juga, sehingga akan memperburuk kondisi pasien dan adanya peningkatan biaya yang dikeluarkan. Pentingnya informasi klinis atau riwayat medis yang relevan dan koordinasi yang baik dari tim keperawatan akan membantu meningkatkan keamanan dalam diagnosis.
ADVERTISEMENT

Pentingnya DSM

Pengenalan akan DSM-V adalah dasar kemajuan signifikan dalam keandalan DSM. DSM tidak hanya memperhatikan rumusan kasus budaya, tetapi juga memberikan bagian reflektif tentang posisi budaya dan sosial serta nilai-nilai lingkungan budaya dan sosial. Sejak lahirnya DSM-V, panduan dalam gangguan mental memiliki tingkat kesuksesan yang menghasilkan jangkauan yang luas untuk profesi keperawatan kesehatan perilaku dan pengaturan kelembagaan (misalnya, perawatan klinis, pendidikan khusus, dan profesi hukum), sehingga sampai saat ini DSM masih tetap digunakan sebagai panduan diagnosis dan menjadi sistem klasifikasi yang paling banyak digunakan untuk gangguan mental.
Jadi, DSM memiliki keandalan yang sah. Ditinjau dari sejauh mana perubahan dalam DSM sesuai dengan kepentingan bagian klinis dan sejauh mana para medis percaya bahwa DSM dilakukan dengan cara yang memajukan dalam memberikan diagnostik.***
ADVERTISEMENT
Karolina Anggie Budhiningtyas, mahasiswa Psikologi Sanata Dharma