Konten dari Pengguna

Ibadah Nuansa Maluku di Gereja Kristen Indonesia Nederland Regio Rijswijk-Den Haag

Belantara Kata
Perawat, relawan perawat, Ibu rumah tangga, relawan.
2 Oktober 2018 14:24 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Belantara Kata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ibadah Nuansa Maluku di Gereja Kristen Indonesia Nederland Regio Rijswijk-Den Haag
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Lonceng berbunyi 3 kali tanda kebaktian bernuansa Maluku dimulai, suara Ibu Pendeta Deibby Janssens Sahertian tergetar sejenak menghantar kata pembuka ibadah dan pada detik itu Ia tak kuasa lagi menyembunyikan haru, tiba-tiba Ia merasakan betapa jauh dari kampung halamannya.
ADVERTISEMENT
Bagaimana mungkin aura haru tak tercipta karena sebelumnya Ibu Pendeta dan pelayan dihantarkan dua prosesi pembukaan, prosesi Tabaos yang diikuti tari Lenso, Tabaos dilakukan oleh pemuda-pemudi, sambil memukul tifa mereka memasuki ruangan meneriakan salam dan undangan "Tabea !!" oleh seorang pemuda yang berarti sapaan hormat, Tabaos dibawakan oleh Thomas Mandela Demokrasio Litaay pemuda berdarah Ambon yang lahir dan besar di Indonesia yang kini sedang menyelesaikan pendidikannya di negeri Belanda, dan kemudian diikuti pemudi yaitu Lisa Sapusepa gadis berdarah Ambon yang lahir dan besar di Belanda, dengan fasihnya berbahasa Ambon juga berlogat Ambon menyanyikan lagu undangan kepada para jemaat, yang baitnya berisi ajakan untuk bergabung beribadah, disusul 10 penari Lenso yang dibawakan dengan baik oleh Ibu-ibu GKIN RW-DH dan putri-putri yang tergabung dalam sekolah Minggu GKIN RW-DH, tarian ini adalah tarian sebagai tanda sukacita dan sambutan menghadap hadiratNya menghantar pendeta dan majelis masuk ke dalam ruangan menuju mimbar ruang peribadatan.
Ibadah Nuansa Maluku di Gereja Kristen Indonesia Nederland Regio Rijswijk-Den Haag (1)
zoom-in-whitePerbesar
Ada yang menarik dari prosesi pembuka ini karena semua pelayan yang bertugas memasuki ruangan menuju mimbar tidak menggunakan alas kaki, ini adalah tanda simbolisasi penyerahan diri, dengan segala kerendahan hati mereka bertugas melayani Tuhan, dan hal itu juga berlaku di Gereja di Maluku.
ADVERTISEMENT
Suasana khidmat terjadi sepanjang kebaktian, firman Tuhan dibawakan dalam bahasa Indonesia, sesekali diseling dengan bahasa Ambon dengan dialek Ambon yang kental yang masih melekat menjadi ciri khas Ibu Pendeta, tak lupa puji-pujian dalam bahasa Ambon juga berkumandang, jemaat yang hadir selain jemaat tetap yang terdiri dari berbagai latar belakang etnis dan suku dari Indonesia, hari itu juga dihadiri para tamu dari komunitas Maluku yang ada di Belanda.
Hari itu (Minggu / 30 September 2018) Ibadah Nuansa Maluku mengambil tema "Lawamena Haulala, Toma Maju Jang Undur".
"Lawamena Haulala" adalah sebuah seruan yang sakral dalam budaya Maluku, Sakral karena seruan ini, adalah seruan untuk membakar semangat anak-anak negeri yang dikumandangkan untuk maju berperang.
ADVERTISEMENT
Seruan ini, digunakan oleh hampir seluruh negeri yang ada di Maluku, namun sejarah seruan "Lawamena Haulala" yang tertulis mengisahkan bahwa, seruan "Lawamena Haulala" mulai digunakan ketika terjadinya perang besar antara penduduk kerajaan Hitu di maluku, yang berperang melawan penjajahan Portugis sejak tahun 1520-1646.
Diharapkan kehidupan sebagai murid-murid Kristus, jemaat harus bertumbuh bersama-sama untuk menjadi manusia-manusia baru didalam Kristus, memperhadapkan kepada perjuangan iman, diambil dari kitab Kolose 3 : 5-17 yang berisikan nasihat-nasihat Paulus untuk hidup beriman secara praktis kepada jemaat di Kolose yang berjuang dalam pergumulan Iman mereka, nasihat-nasihat rohani masih relevan digunakan di zaman sekarang ini, di zaman yang penuh dengan berbagai bentuk tantangan yang dapat mengalihkan iman.
ADVERTISEMENT
Dan khotbah ditutup oleh Ibu Pendeta dengan penguatan iman"Tetapi, ketahuilah, apapun bentuk tantangan iman yang kita hadapi dalam kehidupan pergumulan iman kita, ringan atau berat sekalipun tantangan iman itu, jika Tuhan Yesus Kristus adalah hidup kita, yang memberanikan kita untuk meninggalkan manusia lama yang berdosa, dan mengambil keputusan untuk menjadi manusia baru, maka jangan takut, beranilah berjuang sampai akhir jangan mundur, lawamena haulala toma maju jang undur e".
Ibadah Nuansa Maluku di Gereja Kristen Indonesia Nederland Regio Rijswijk-Den Haag (2)
zoom-in-whitePerbesar
Sebagai penutup seluruh rangkaian Ibadah Nuansa Maluku, Gereja Kristen Indonesia Nederland Regio Rijswijk - Den Haag, prosesi Gandong adalah prosesi puncak dari keseluruhan peribadatan, saat kain Gandong terbentang dimana kain putih sepanjang 60meter melingkupi jemaat. Terdengar suara narasi yang membuat beberapa jemaat tak kuasa menitikkan air mata.
Ibadah Nuansa Maluku di Gereja Kristen Indonesia Nederland Regio Rijswijk-Den Haag (3)
zoom-in-whitePerbesar
Tanda persaudaraan sudah dikumandangkan.
ADVERTISEMENT
Kita menyatu dalam satu ikatan Kain Pela Gandong.
Gereja dan jemaat ini milik Sang Pemberi,
Bukan punya beta atau ale,
bukan punya kamu ataupun saya.
Gereja lahir untuk kemuliaan Nama Tuhan
Jangan lagi ada rasa benci,
Jangan lagi ada permusuhan
Kita gandong dalam satu rumah Tuhan,
Kita bersaudara dalam satu rumah Tuhan.
Karena jemaatku menjadi jemaatmu,
Karena gerejaku juga adalah gerejamu,
Mari bersama-sama hidup, melayani Tuhan dan bertumbuh di dalam rumah kita bersama,
Gereja Kristen Indonesia Nederland.
"Piring Natsar" Simbol Altar Allah Sudah didirikan, "Tampa Garang" simbol Berkat Allah Sudah disiapkan, "Kakehang" Simbol Sakral Tanah Tumpah Darah sudah dipasang dan "Kain Gandong" dibentangkan, Simbol-Simbol sakral budaya Maluku diberikan tempat terhormat dan digunakan untuk tujuan Mulia, untuk mengikat perbedaan menjadi persaudaraan dan menjadikan gereja dan jemaat dari berbagai budaya menjadi "Satu Mata Rumah" yaitu GKIN.
ADVERTISEMENT
Sebagai orang Ambon yang menjadi bagian dari Gereja Kristen Indonesia di Nederland, adalah kehormatan tersendiri karena di berikan kesempatan untuk membawa budaya Maluku menjadi bagian dalam tradisi religius GKIN. Terimakasih GKIN. (Pdt. Deibby Janssens Sahertian).
Gereja Sebagai Penjaga Budaya
Ditengah arus globalisasi, disaat zaman bergerak dengan begitu cepatnya, arus deras menggerus segala sesuatu bahkan yang dianggap sudah ketinggalan zaman dalam hal ini konteksnya adalah budaya bangsa.
Inkulturasi budaya yang dibawa Gereja dari turun temurun dan dari sejak ratusan tahun patutlah menjadi hal yang terus diapresiasi, menjadi warisan sekaligus identitas dan jati diri anak cucu di mana pun mereka berada kelak, mengenal asal-usulnya, agar mereka tak lupa juga kepada para leluhur sekaligus sebagai ungkapan rasa penghormatan tertinggi dan ucapan syukur bahwa hari ini ada.
ADVERTISEMENT
Sebagai salah satu tugas Gerejalah tetap menjaga budaya terkhusus budaya Indonesia, dimanapun Gereja itu berada dengan komunitas Indonesianya, jika dirasakan kembali sesuai dengan isi tema"Lawamena Haulala, Toma Maju Jang Undur" dan firman Tuhan siang itu, menjaga budaya dengan melestarikan adalah juga perjuangan bersama agar tak tergerus oleh arus zaman. Maju terus pantang mundur!.
(Foto dokumentasi oleh: Anton Kusumadjaja)