Konten dari Pengguna

Apakah Sekolah Ramah Anak Hanyalah Formalitas Belaka?

Nanda Kartika Putri
Mahasiswa UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan
5 Februari 2025 8:25 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nanda Kartika Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Nanda Kartika Putri
Mahasiswa UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan
ADVERTISEMENT
Getty Images
Sekolah yang seharusnya sebagai tempat pendidikan dan pembentukan karakter, seringkali dielu-elukan sebagai ruang yang aman dan ramah bagi anak-anak. Janji sekolah ramah anak terdengar begitu menjanjikan lingkungan yang mendukung, bebas dari kekerasan, dan mengutamakan hak-hak siswa. Namun, realitasnya jauh dari harapan. Menurut data yang dikumpulkan oleh JPPI, hingga September 2024 telah tercatat sebanyak 293 kasus kekerasan di lingkungan sekolah. Fenomena ini masih menjadi bayang-bayang kelam yang sulit diberantas. Mengapa janji yang begitu indah dalam teori tak mampu menjelma menjadi praktik nyata? Apakah akar persoalannya terletak pada sistem, budaya sekolah atau justru pada kurangnya kesadaran kolektif? Tulisan ini berupaya menggali realitas di balik janji-janji manis tersebut, menyelami alasan mengapa bullying tetap marak meski gerakan sekolah ramah anak terus digaungkan serta solusi yang akan ditawarkan agar visi misi sekolah ramah anak benar-benar terwujud.
ADVERTISEMENT
Sekolah Ramah Anak adalah lembaga pendidikan yang secara aktif berkomitmen untuk menjamin dan memenuhi hak-hak anak melalui pendekatan yang terencana dan bertanggung jawab di setiap aspek kehidupan. Konsep ini berlandaskan pada prinsip non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup serta penghormatan terhadap martabat anak (Inniyah, 2021). Lembaga pendidikan yang menerapkan Sekolah Ramah Anak pasti berkeinginan untuk menciptakan suasana aman, nyaman dan mendukung perkembangan siswa tanpa rasa takut. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu implementasi Sekolah Ramah Anak sering kali terjebak dalam persoalan teknis dan budaya. Akibatnya, bullying marak sekali terjadi di lingkungan sekolah.
Menurut buku Stop Perundungan/Bullying Yuk! menyatakan bahwa:
Bullying adalah perilaku tak menyenangkan baik secara verbal, fisik ataupun sosial di dunia nyata maupun dunia maya. Perilaku yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok itu membuat sesorang merasa tidak nyaman, sakit hati dan tertekan (2021).
ADVERTISEMENT
Dari kutipan di atas, saya memahami bullying ini menjadi kebiasaan bagi orang yang melakukannya hingga tak sadar apa yang dilakukannya dapat mencederai orang lain. Bahkan yang awalnya hanya candaan belaka justru malah berujung pada hinaan yang menyakitkan. Perasaan tidak nyaman, sakit hati dan tekanan mental yang dialami korban bisa bertahan lama bahkan memengaruhi kualitas hidup mereka.
Bullying dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti bullying fisik (memukul, menendang), bullying verbal (ejekan, hinaan) dan cyberbullying (intimidasi melalui media digital). Di Indonesia, kasus perundungan sering terjadi seperti yang terjadi di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah pada 7 Juni 2024. Seorang siswi berusia 13 tahun di SMP Kecamatan Butuh menjadi korban bullying yang melibatkan enam pelaku, empat dari sekolah yang sama dan dua dari sekolah lain. Korban yang memiliki kondisi mental berbeda dan cenderung pendiam, diperlakukan kasar hingga menangis. Pihak sekolah telah melaporkan kejadian ini ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, yang segera melakukan pemeriksaan dan perawatan terhadap korban serta mengimbau sekolah untuk meningkatkan pengawasan dan pencegahan bullying.
ADVERTISEMENT
Menurut Sri Immawati yang dilansir dari Kompas.com mengatakan bahwa bullying ini terjadi karena tiga faktor, yaitu keluarga tidak harmonis, pengaruh senior di sekolah dan kesadaran diri dari pelaku (2023).
Dari kutipan di atas, tentu bullying tidak bisa diatasi dalam jangka waktu yang pendek. Perlu adanya peran orang tua, guru dan masyarakat setempat. Apalagi peran orang tua sangatlah penting bagi anak untuk memberikan motivasi atau solusi jika anak memiliki suatu permasalahan di kelas atau tempat lainnya.
Meskipun program Sekolah Ramah Anak diperkenalkan sejak 2015 oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, tantangan dalam penerapannya masih besar. Beberapa kendala utama termasuk kurangnya pelatihan bagi guru, minimnya fasilitas pendukung seperti ruang konseling dan sistem pelaporan bullying serta adanya resistensi budaya di sekolah yang masih menganggap penindasan sebagai hal yang wajar. Pada beberapa sekolah, aturan yang melarang bullying tidak ditegakkan secara konsisten sehingga perilaku tersebut tetap terjadi.
ADVERTISEMENT
Melihat adanya kendala dalam penerapan Sekolah Ramah Anak di Indonesia, maka upaya untuk menciptakan lingkungan sekolah yang benar-benar ramah anak dan mencegah meningkatnya kasus bullying, diperlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan seluruh komponen sekolah. Selain menciptakan suasana yang inklusif dan toleran, sekolah perlu mengadakan program edukasi anti-bullying secara berkala, baik untuk siswa, guru maupun orang tua. Penting juga untuk membentuk tim khusus yang bertugas menangani laporan kasus bullying serta memberikan dukungan psikologis kepada korban. Dengan melibatkan semua pihak dan menciptakan sistem yang responsif, sekolah dapat menjadi benteng bagi anak-anak dari tindakan perundungan.
Program Sekolah Ramah Anak sebenarnya memberikan harapan besar bagi dunia pendidikan di Indonesia. Namun, realisasi dari konsep ini membutuhkan komitmen yang kuat dari semua pihak, mulai dari pemerintah, sekolah, guru, orang tua hingga masyarakat. Bullying yang masih marak terjadi adalah cerminan bahwa kita belum sepenuhnya berhasil menciptakan lingkungan pendidikan yang benar-benar aman dan kondusif. Sekolah seharusnya menjadi tempat di mana anak-anak dapat belajar tanpa rasa takut, tumbuh dengan percaya diri dan berkembang menjadi individu yang peduli terhadap sesama. Untuk mewujudkan visi ini, kita perlu bersama-sama menghapuskan budaya bullying dan menggantinya dengan nilai-nilai kasih sayang, empati dan toleransi terhadap perbedaan. Hanya dengan begitu, sekolah benar-benar dapat menjadi rumah kedua yang ramah bagi setiap anak.
ADVERTISEMENT
Mahasiswa UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan