Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Pencabutan Larangan Penangkapan (Ekspor) Benih Lobster Tepatkah?
6 Juli 2020 14:41 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Saraswati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Polemik dalam bidang perikanan yang terjadi setelah bergantinya Menteri Kelautan dan Perikanan pada tahun 2019, yaitu mengenai pencabutan larangan ekspor benih lobster yang diatur dalam Peraturan Menteri Kementerian Kelautan dan Perikanan Nomor 56/PERMEN-KP/2016 tentang larangan penangkapan dan/atau pengeluaran lobster (panulirus spp.), kepiting (scylla spp.), dan rajungan (portunus spp.) Dari wilayah Negara Republik Indonesia (PM Kelautan dan Perikanan No. 56 Tahun 2016). Usulan merevisi PM tersebut telah muncul pada awal 2019 oleh Menteri Kordinator Bidang Kemaritiman.
ADVERTISEMENT
Walaupun terdapat perdebatan di masyarakat, perubahan PM Kelautan dan Perikanan No. 56 Tahun 2016, telah ditetapkan oleh Menteri KKP pada 4Mei 2020 melalui PM Kelautan dan Perikanan No. 12/PERMEN-KP/2020 Tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) Hal yang menarik penetapan itu dilaksanakan menjelang hari tumbu karang sedunia yang diperingati setiap 9 Mei.
Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai peninjauan larangan penjualan benih lobster yang ditinjau dalam aspek hukum konservasi sumber daya alam, yaitu :
1. Aspek HAM dan Keadilan
Permasalahan hukum lingkungan sebagaimana teori green constitution, lingkungan memiliki kepentingan untuk diatur dalam konstitusi atau intrumen hukum suatu negara yang merupakan dasar dalam suatu kehidupan bernegara di segala bidang, sehingga dalam hal ini lingkungan (alam) sebagaimana dalam tinjauan ecocentrism memiliki nilai dan etika sendiri.
ADVERTISEMENT
Perkembangan doktrin hak asasi manusia menurut Vasel Vasak terdapat 3 (tiga) generasi, generasi pertama berfokus pada hak sipil dan hak politik, generasi kedua berfokus pada hak ekonomi, hak sosial, dan hak budaya, serta generasi ketiga berfokus pada hak atas pembangunan. Dalam kaitan pemenuhan atas hak asasi manusia pada generasi ketiga terangkum dalam Konferensi Stockholm, Swedia, Konferensi Rio de Janeiro 1992,Konferensi Johannesburg 2002, dan Konferensi Rio+20 pada Tahun 2012, yang melahirkan konsep sustainable development yang perlu diimplementasikan dalam pengambilan keputusan dan implementasi di semua negara untuk membuat pengaturan perlindungan lingkungan nasional dalam konstitusinya. sebagai jawaban atas penurunan fungsi lingkungan.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1946), merupakan konstitusi yang sudah mengadopsi konsep green constitution, yang tercermin dalam Pasal 33 ayat (4), yaitu Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Pasal 33 dalam lingkup bab yang mengetur mengenai perekonomian nasional dan kesejahteraan nasional, di mana salah satu aspek yang berkaitan erat mengenai Sumber Daya Alam, yang dikonkritkan dalam pasal 33 ayat (3) sebagai bumi, air dan kekayaan alam yang dikandungnya, merupakan potensi terbesar dalam perekonomian nasional yang diselenggarakan dengan prinsip dalam Pasal 33 ayat (4).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan green constitution di Indonesia yang dijabarkan dalam Pasal 33 ayat (4), PM Kelautan dan Perikanan No. 56 Tahun 2016 yang melarang penangkapan dan penjualan ekspor benih lobster sebagai upaya untuk menjaga keberadaan dan ketersediaan Lobster telah sesuai dengan hak asasi manusia pada generasi ketiga dan keadilan dengan konsep ecocentrism, dimana alam dan lingkungan menjadi bagian kepentingan yang perlu dilindungi.
2. Aspek Demokratis
Dalam sudut pandang demokratis, perlu untuk melihat analisis dalam konsep human ecology dan hukum lingkungan melalui the tragedy of te commons oleh Garret Hardin, terlebih Lobster sebagai sumber daya alam yang terdapat di lautan sebagai contoh yang sama oleh Hardin yaitu “… referred to as a common-pool resource—to which a large number of people have access . The resource might be an oceanic ecosystem from which fish are harvested,….”. Walaupun terdapat kritikan, tetapi konsep Hardin memberikan suatu pengaruh paradigma terhadap konservasi terhadap sumber daya. Capistrano dengan mengutip pendapat Lynch mengklarifikasi bahwa Hardin tidak merujuk kepada tragedy of the commons melainkan tragedy of open access yang bertolak belakang dengan pengelolaan dan pemilikan sumber daya oleh suatu kelompok tertentu.
ADVERTISEMENT
Dalam hal sumber daya alam perikanan khususnya dalam perairan laut internasional, penguasan bersifat open access, di mana setiap orang dapat menguasai dan mengambil atas sumber daya perikanan di laut internasional. Akan tetapi, tidak demikian dalam teritorri dan zona ekonomi ekslusif. Bentuk kepemilikan atas sumber daya alam di Indonesia pada dasarnya berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 merupakan milik negara (state property), kemudian pemerintah memutuskan tentang akses, tingkat dan sifat eksploitasi yang pengaturannya melalui undang-undang dan peraturan pelaksananya. Pengaturan atas sumber daya alam tersebut sebagai upaya untuk mencegah terjadinya yang disebut sebagai the tragedy of the commons, Hardin pengelolaan atau eksploitasinya yang berlebih berakibat pada kerusakan sumber daya alam, serta kelangkaannya di alam.
ADVERTISEMENT
Pembatasan mengenai dalam bentuk pelarangan penangkapan dan penjualan benih lobster, merupakan kewajiban pemerintah dalam pengelolaan state property dalam bentuk sumber daya alam agar pemanfaatannya sesuai dengan prinsip sebagaimana dalam Pasal 33 ayat (4), prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Bentuk pelarangan ini, melalui tinjauan kepemilikan state property telah mengakomodir demokrasi dalam pemanfaatan sumber daya alam dan demokrasi dalam perekonomian nasional, yaitu setiap orang masih dapat memanfaatkan atau mengambil lobster di laut, hanya dengan pembatasan yang tidak boleh ditangkap dan diperjualbelikan atau bahkan ekspor hanpa pada lobster yang bertelur dan ukuran panjang karapan di atas 8 (delapan) cm atau dengan berat lobster di atas 200 (dua ratus) gram per ekor.
ADVERTISEMENT
Sebuah konsep pengelolaan perikanan berbasis masyarakat, yang salah satunya dibahas oleh Kuemlangan dan Taigenem dalam artikel berjudul “An Overview Of Legal Issues And Broad Legislative Considerations For Community Based Fisheries Management”. Konsep ini melihat kepemilikan perikanan sebagai milik kelomok masyarakat (common property), dimana pihak luar selain masyarakat dimaksud tidak dapat memanfaatkan sumber daya alam tersebut. Kuemlangan dan Taigenem mendefinisikan pengelolaan perikanan berbasis masyarakat adalah “a form of participatory and common property rights-based management which vests fishing rights in a group of individuals (communities) or involves the sharing of fisheries management and enforcement powers with local communities.”
Dalam kelompok masyarakat yang terbatas baik dalam cakupan luas wilayah dan masyarakat, konsep ini dapat diterapkan dalam penangkapan lobster baik yang bertelur maupun yang ukurannya di bawah dari ketentuan PM Kelautan dan Perikanan No. 56 Tahun 2016, tetapi penangkapan dan pengelolaannya hanya terbatas pada masyarakat tertentu saja. Misalnya pada masyarakat Bajau, atau masyarakat lain dengan batasan wilayah dan masyarakat perikanan tertentu. Akan tetapi, pihak luar selain masyarakat dimaksud tidak diperbolehkan baik menangkap secara langsung maupun membeli lobster dengan ukuran yang tidak sesuai ketentuan.
ADVERTISEMENT
Implementasi pengelolaan perikanan berbasis masyarakat merupakan hal yang tepat untuk digunakan dalam menjawab potensi lobster pada pasar dunia yang bernilai tinggi. Pada suatu cakupan wilayah dengan pengelolaan perikanan lobster berbasis masyarakat perlu dibangun dan didirikan tempat budidaya pembesaran lobster sehingga masyarakat setempat dapat menangkap lobster yang tidak sesuai ukuran, kemudian dibesarkan ditempat pembesaran diwilayah tersebut. Masyarakat sebagai bermata pencarian nelayan lobster akan tetap berdaya dan jumlah ketersediaan lobster di alam tetap terjaga karena penangkapan lobster dibawah ukuran hanya terbatas pada masyarakat dan disesuaikan dengan jumlah kuota lobster di tempat pembesaran benih. Selanjutnya, dalam penjualan lobster keluar dari wilayah masyarakat harus tetap mengikuti ketentuan peraturan lobster dengan ukuran panjang karapan di atas 8 (delapan) cm atau dengan berat di atas 200 (dua ratus) gram per ekor dan tidak dalam keadaan bertelur.
ADVERTISEMENT
Kuemlangan dan Taigenem berpendapat bahwa penangkapan perikanan berbasis masyarakat memberikan manfaat untuk mendorong peningkatan mendorong keinginan untuk menjaga dan melindungi hak-hak dimaksud, memberikan pengakuan terhadap perikanan skala kecil, dan dapat menyediakan berbagai sumber pengetahuan adat dan lokal untuk melengkapi informasi ilmiah, pemantauan persediaan ikan, serta meningkatkan penerapan pengelolaan secara keseluruhan, dalam hal ini difasilitasi dengan tempat budidaya pembesaran lobster.
PM Kelautan dan Perikanan No 12/PERMEN-KP/2020, merevisi penangkapan lobster yang bertelur dan benih lobster untuk keperluan pembudidayaan. Sayangnya pembudidayaan dalam negeri belum sepenuhnya mendukung ketentuan tersebut, dimana jumlah pembudidayaan lobster saat ini hanya terbatas, dapat dilihat dari 20 potensi daerah sebagai sumber lobster belum ada yang dilengkapi dengan tempat budidaya. Dalam keadaaan demikian, PM Kelautan dan Perikanan No 12/PERMEN-KP/2020 membolehkan pengeliuaran benih lobster ke luar wilayah Indonesia (Pasal 5).
ADVERTISEMENT
3. Keberlanjutan
Pembahasan dan analisis mengenai keberlanjutan (sustainable) PM Kelautan dan Perikanan No. 56 Tahun 2016 yang menjadi dasar hukum pelarangan penangkapan dan penjualan benih lobster telah dibahas pada bagian-bagian sebelumnya dia atas. Peraturan Menteri ini secara eksplisit bertujuan untuk dalam rangka menjaga keberadaan dan ketersediaan populasi sumber daya Lobster dan telah sesuai dengan ketentuan peraturan yang lebih tinggi yang mengaturnya sebagaimana telah dibahas di atas.
Keberlanjutan tidak hanya sebagai konsep yang datang dari hasil kesepakatan negara-negara yang tergabung dalam, tetapi juga sebagai suatu kearifan lokal Indonesia, salah satunya pada hukum Adat Sasi di Maluku. Menurut W. Pattanama & M.Patipelony, 2003 Hukum Sasi adalah suatu sistim hukum lokal yang berisikan larangan dan keharusan untuk memetik atau mengambil potensi sumber daya alam dari jenis tertentu untuk suatu jangka waktu pendek. Dalam penangkapan ikan, Adat Sasi memiliki aturan adat di mana lobster yang ditangkap adalah ukuran konsumsi, bukan ukuran kecil.
ADVERTISEMENT
Analisis keberlanjutan dalam pelarangan penangkapan dan penjualan benih lobster secara langsung akan berdampak pada ketersediaan sumber daya lobster di alam akan terus terjaga karena benih lobster yang tidak ditangkap akan menghasilkan banyak lobster dewasa yang kemudian akan berkembang biak dengan bertelur dan menghasilkan benih selanjutnya. Pencabutan larangan penangkapan dan penjualan benih lobster, dapat mengakibatkan ketersediaannya di alam menjadi terancam menurun, dan terus semakin menurun apabila tidak ada pembatasan penangkapannya, terutama pada benih dan lobster yang bertelur. Penelitian LIPI menyatakan bahwa populasi lobster kian menurun, ekspor benih lobster berpotensi menyebabkan punahnya populasi lobster dan bersifat tidak berkelanjutan sehingga pada akhirnya kebutuhan benih lobster di Indonesia tidak terpenuhi dan tidak dapat memberi jaminan kelestarian ternak lokal.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, prinsip keberlanjutan perlu dilihat keterkaitan aspek keberlanjutan terhadap ekonomi dan bisnis. Pendapat umum mengatakan bahwa menjaga keseimbangan dan keberlanjutan alam sering kali tidak bersesuaian dengan kepentingan ekonomi dan bisnis dengan prinsip serendah-rendahnya pengorbanan untuk mendapatkan setinggi-tingginya keuntungan. Aspek ekonomi dan bisnis acap kali menjadi alasan dalam eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, termasuk pada rencana untuk revisi PM Kelautan dan Perikanan No. 56 Tahun 2016. Menurut Edhy, Menteri Kelautan dan Perikanan, lobster yang akan diekspor merupakan benih-benih yang punya nilai tambah dengan harga jual tinggi dan dengan membuka keran ekspor benih lobster dengan terstruktur akan meningkatkan nilai tambah masyarakat yang hidupnya bergantung pada penjualan benih lobster.
ADVERTISEMENT
Pelarangan ekspor benih lobster tidak membuat ekspor menurun, tetapi menjadikan ekspor lobster Indonesia meningkat berdasarkan Katadata.com mencatat bahwa pada tahun 2018 Indonesia menduduki posisi 12 negara pengekspor lobster terbesar dunia, padahal pada 2015 di mana belum ada pelarangan ekspor benih, Indonesia berada di peringkat 20. Volume dan nilai ekspor lobster Indonesia terus naik sejak pelarangan ekspor benih lobster berdasarkan data BPS yang dikutip oleh Katadata.com dalam bagan berikut:
Hal yang menarik, ketika Indonesia melakukan pelarangan atas ekspor benih lobster, jumlah ekspor lobster Vietnam menurun setiap tahunnya. Vietnam merupakan salah satu negara pengimpor terbesar benih lobster dari Indonesia, sehingga pelarangan ekspor benih lobster berpengaruh secara langsung pada ekspor perdagangan lobster Vietnam. Berdasarkan data Trade Map, perdagangan lobster Vietnam pada tahun 2015 turun menjadi US$ 3,7 juta, kemudian mengalami deficit pada pada 2016, mencapai US$ 5,36 juta, dan di tahun defisit perdagangan lobster Vietnam masih berlanjut sebesar US$ 849 ribu, tetapi kembali surplus pada tahun 2018 sebesar US$ 3,05 juta. Kembalinya surplus pada tahun 2018 bersamaan dengan data terjadi lonjakan jumlah kasus penyelundupan benih lobster menjadi 10 kali lipat pada tahun 2017. Meningkatnya ekspor perdagangan lobster di Vietnam pada tahun 2018 besar kemungkinan diakibatkan dari penyelundupan benih lobster yang meningkat di Indonesia tahun 2017.
ADVERTISEMENT
Berdasakan analisis tersebut pelarangan penangkapan dan penjualan benih lobster telah sesuai dengan aspek hukum konservasi sumber daya alam dan lingkungan, sehingga kebijakan untuk merevisi pelarangan tersebut menjadi tidak tepat, apabila pelarangan yang dimaksud adalah untuk dapat menangkap dan menjual (ekspor) benih lobster. Penangkapan dan penjualan benih lobster demi kepentingan budi daya, dapat dilakukan dengan menggunakan konsep pengelolaan perikanan berbasis masyarakat dengan disediakan tempat pembesaran benih lobster di wilayah dimaksud. Walaupun PM Kelautan dan Perikanan No 12/PERMEN-KP/2020 telah memuat ketentuan pembudidayaan, tetapi belum didukung dengan pembudidayaan dalam negeri yang kemudian membolehkan pembudidayaan dilakukan di luar negeri.