Konten dari Pengguna

UU ITE : Anti Demokrasi?

Saraswati
Magister Ilmu Hukum UGM
19 Mei 2020 19:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Saraswati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pengaturan TIK di Indonesia berdasarkan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memiliki dampak positif terhadap perekonomian digital di Indonesia. Bloomberg menyebut Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara. Akan tetap, UU ITE lebih dikenal dengan pasal karet atau dikonotasikan sebagai pembungkam kebebasan hak berpendapat. Tulisan ini akan membahas UU ITE, khususnya mengenai pasal kontroversial yang diatur pada Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 29 yang disebut sebagai anti-demokrasi dan melanggar hak kebebasan berpendapat dan berekspresi. Pembahasan politik hukum melalui pendekatan menurut Prof. Moh. Mahfud MD (blue print, pembahasan dan implementasi).
ADVERTISEMENT
Cetak Biru
Sejarahnya, sebelum tahun 2003 materi muatan RUU ITE terpisah dalam dua RUU, yaitu pertama RUU Pemanfaaran Teknologi Informasi dan kedua RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik (RUU IETE), yang disusun oleh dua kementerian yang berbeda. Baru pada tahun 2003, kedua materi RUU tersebut digabungankan sebagai Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang penyusunannya dilkordinasikan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Terobosan dalam penyusunan RUU ITE, dimana telah dilengkapinya RUU dengan Naskah Akademik sehingga materi yang diaturnya telah melalui pengkajian dan penyelarasan. Padahal UU No. 10 Tahun 2004 belum mengharuskan adanya Naskah Akademik dalam penyusunan RUU, sehingga secara substansi RUU ITE telah melalui proses pengkajian dan penyelarasaan melalui naskah akademik.
ADVERTISEMENT
Pembahasan RUU ITE
Pembahasan RUU ITE dimulai dengan disampaikannya Surat Presiden No.R/70/Pres/9/2005 kepada DPR. Pembahasan undang-undang di DPR yang dilakukan bersama antara DPR dan Pemerintah adalah proses politik dimana menurut Prof Mahfud bahwa produk legislasi (undang-undang) adalah produk politik. Pengertian menurut Plato dan Aristoteles sebagai suatu usaha untuk mencapai polity yang baik (yang disebut oleh Prof Miriam Budiarjo sebagai pengertian politik secara normatif), walau pada kenyataannya menurut Prof Miriam Budiarjo terdesak oleh definisi lain seperti kekuasaan, pembuatan keputusan, kebijakan, pembagian atau alokasi nilai. Akan tetapi lanjutnya, tujuan untuk mencapai suatu masyarakat yang lebih baik tetap dapat hadir-walaupun samar-samar- sebagai latar belakang serta tujuan kegiatan politik.
Dalam proses pembahasan penulis akan membahas dua hal, yaitu hal berkaitan dengan pertentangan untuk memberlakukan hukum internet serta antinomi hukum.
ADVERTISEMENT
Pertama, perdebatan secara umum mengenai pengaturan internet merupakan suatu diskursus internasional. Lawrence Lessig dalam bukunya Code of Other Laws of Cyberspace (pathetic dot theory) memperkenalkan empat model pengaturan, yaitu laws, social norm, market pressure, dan arhitecture. Berdasarkan teori tersebut, UU ITE memiliki cakupan 4 model, yaitu menurut Elsam menyebut bahwa UU ITE mensinergikan 3 aspek yaitu pendekatan hukum, pendekatan teknologi, dan pendekatan sosial-budaya-etika, serta aspek market pressure yang penulis tambahkan adalah adanya kebutuhan pasar untuk menerapkan aspek teknolgi terhadap bisnis dan perbangkan. Pengaturan mengenai sosial-budaya dimasukan dalam ketentuan pasal yang menyangkut pasal-pasal a quo.
Antonio Segura-Serrano berpendapat, terdapat tiga kelompok dalam diskursus hukum internet. Kelompok kesatu, kaum liberal (dengen prinsip kebebasannya) berpendapat bahwa internet tidak akan bisa dan tidak seharusnya diatur oleh siapapun, termasuk negara dan berpandangan internet tidak memiliki yurisdiksi (ajurisdictional). Kelompok kedua, kelompok tradisionalis beranggapan bahwa internet seharusnya diatur oleh institusi hukum dan politik negara dan berpandangan bahwa internet dianggap sebagai produk teknologi informasi bukan ruang fisik yang berbeda dari dunia nyata, sehingga tidak tepat jika internet tidak mempunyai jurisdiksi. Kelompok ketiga, kelompok tengahan, mencoba mencampurkan regulasi antara peraturan nasional dan peraturan sendiri untuk menciptakan regulasi ruang-maya yang diyakini menjamin kepastian, kelenturan dan penegakan yang diperlukan.
ADVERTISEMENT
Kemudian, apakah Amerika Serikat, dengan paham liberal termasuk pada kelompok pertama? ternyata tidak. Amerika Serikat memiliki undang-undang mengenai network surveillance, antara lain Communications Assistance for Law Enforcement Act of 1994 (CALEA), Us Patriot Act of 2001, dan FISA of 1978. Sehingga, menurut AP Edi Atmaja Amerika Serikat bersama Indonesia menganut pada kelompok kedua dari tiga kelompok dalam diskursus hukum internet.
Reasoning pengaturan pasal-pasal a quo dapat dilihat melalui pengaturan HAM berdasarkan Declaration of Human Right (DUHAM) dan Internasional Convenant on Civil and Political Right (ICPR). Batasan Ham padal Article 19 DUHAM berupa pertama pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi dan kebebasan orang lain. kedua, berkaitan dengan kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis untuk memenuhi syarat-syarat yang adil. Hampir serupa, batasan pada ICPR, antara lain penghormatan hak dan nama baik orang lain, harus melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau kesusilaan umum, propaganda perang, dan tindakan yang mengandung kebencian atas dasar SARA untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan.
ADVERTISEMENT
Implementasi tersebut dapat ditemukan dari penelitian, Argha Ray and Anjali Kaushik tahun 2017 dalam State transgression on electronic expression: is it for real? Di Negra India, USA, China, Australia Germany dan UK telah melakukan pembatasan terhadap internet atas dasar keamanan nasinal dan public order, serta melakukan interupsi dan pengawasan komunikasi di cyberspace.
Pengaturan pembatasan dalam internet sebenarnya diterapkan di negara-negara lain bahkan negara yang menganut paham liberal sekalipun. Sehingga tidak tepat menyebut UU ITE sebagai UU anti demokrasi dan membungkam kekebebasan berpendapat.
Kedua, pasal a quo, merupakan salah satu bentuk antinomi hukum. Menurut Zainal Arifin Mochtar antinomi hukum lahir dari pertentangan klasik cara berfikir Immanuel Kant dalam Critique of Pure Reason, tentang pertentangan yang fundamental antara akal dan alam. Pertentangan hukum internet, antinomi hukumnya adalah antara kolektivisme dengan individualisme. Antinomi dalam hukum memberikan cara berpikir untuk mencari keseimbangan antara kolektivisme dan individualisme, khususnya pada hadirnya larangan menyebarkan dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan dan hatespeech antara kebebasan dan pembatasan dalam internet. Pelaranggan merupakan pembatas kebebasan berpendapat dan berekpresi yang tidak hanya dalam rangka menghormati orang lain (dalam nilai individualis itu sendiri), tetapi batasan terhadap penghormatan kepada kolektivisme dimana penghormatan akan manusia lain termasuk dalam bagian menghormati masyarakat yang di Indonesia berdasarkan Pancasila khususnya dalam Sila Ke-Dua dan Sila Ketiga.
ADVERTISEMENT
Implementasi
Pasal-pasal a quo, baru muncul setelah proses pembahasan di DPR. Perumusan pasal tersebut pada implementasinya menimbulkan permasalahan karena tidak jelasnya unsur penghinaan, pencemaran nama baik, pemerasan dan pengancaman. Apabila acuan unsur tersebut mengacu kepada KUHP, tetapi tidak diatur secara tegas dalam undang-undangnya.
UU ITE berguna untuk mencegah perilaku seseorang yang merugikan orang lain dan masyarakat, terdapat tiga contoh yang dapat penulis kemukakan potensi kerugian besar jika tidak ada UU ITE, pertama, yang baru saja terjadi mencegah perbuatan penyebaran info palsu pada ayam goreng yang dimiliki oleh salah satu artis.. Kedua, fitnah hoax kiamat sudah dekat pada di wilayah Jawa Timur, Ponorogo dan sekitarnya yang membawa akibat pada perpindahan warga besar-besaran dan Ketiga, hoax yang mengakibatkan 2 dusun di Lampung ricuh dan berterngsagkar antar dusun.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, kasus Baiq Nuril adalah perbedaan dalam yang disebut oleh Prof. Sudikno Mertokusumo kualifisir oleh hakim, mengenai suatu perbuatan terhadap ketentuan hukum yang mengaturnya.Perbedaaan pengkualifisiran antara Hakim PN Mataram dan Hakim MA tentang unsur Pasal 27 Ayat (1) yaitu “mendistribusikan”, “mentransmisikan” dan “membuat dapat diakses”. Padahal revisi UU ITE telah menjelaskan frase tersebut pada penjelasan pasalnya. 27 ayat (1). Sehingga apabila timbul ketidakadilan maka sesuai dengan asas summum ius summa inuria, summa lex summa crux, semakin jelas pengaturan akan sesuatu hal (kepastian hukum) maka akan membuat ketidakadilan.
Selanjutnya
Banyak pihak yang menanggapi kasus Baiq Nuril, dengan wacana untuk melakukan revisi kembali atas UU ITE. Permasalahan sebenarnya bukan pada undang-undangnya, tetapi pada pemahaman masyarakat mengenai cyberspace, terutama literasi digital. Jurgen Habermas pada tahun 1962 mengemukakan mengenai public sphare. Kebebasan berpendapat melalui media internet dapat menciptakan ruang publik yang cair (public sphare) dimana tercipta diskusi dan debat publik mengenai suatu permasalahan publik. Tetapi menurut Habermas menanggapi masa internet, semua orang harus memperhatikan kaedah jurnalistik dalam menangkap informasi di internet. Dan menurut penulis kaedah jurnalistik juga penting untuk diterapkan dalam menyebar informasi di internet, selain agar informasi memiliki nilai kualitas dan objektivitas, serta mencegah penyebaran yang tidak sesuai fakta (hoax) serta mencegah subjektifitas yang dapat menghina atau mencermarkan nama baik seseorang.
ADVERTISEMENT