Konten dari Pengguna

Perkembangan Danjyo Kankei di Jepang dari Masa Jepang Kuno hingga Pascamodern

Karunia Putri Zaliantini Sidiq
Seorang mahasiswa Universitas Airlangga yang memiliki keingintahuan tentang budaya masyarakat Jepang.
20 Oktober 2022 21:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Karunia Putri Zaliantini Sidiq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
<a href="https://www.freepik.com/free-vector/couple-enjoying-matsuri-japanese-festival_9979263.htm#query=japanese%20man%20and%20woman&position=43&from_view=search&track=sph"> Image by pikisuperstar</a> on Freepik
zoom-in-whitePerbesar
<a href="https://www.freepik.com/free-vector/couple-enjoying-matsuri-japanese-festival_9979263.htm#query=japanese%20man%20and%20woman&position=43&from_view=search&track=sph"> Image by pikisuperstar</a> on Freepik
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah hubungan yang unik dan dinamis. Dari masa ke masa, hubungan antara keduanya terus mengalami perubahan akibat beragam faktor, seperti filosofi, agama dan kepercayaan yang dianut. Hal ini menjadi sebuah kajian budaya untuk meneliti lebih jauh bagaimana perkembangan hubungan tersebut dari masa ke masa.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu saja, hubungan tersebut juga memberikan dampak sosial hingga menjadi perhatian khusus di masa kini. Jepang adalah salah satu negara dengan ragam keunikan sosial, seperti hubungan antara laki-laki dan perempuan Jepang. Hubungan tersebut memiliki istilah “Danjyo Kankei” dengan 男 (dan) berarti laki-laki, lalu 女(jyo) memiliki arti perempuan, serta 関係 (kankei) berarti hubungan. Seiring berkembangnya masa, hubungan antara laki-laki dan perempuan di Jepang pun mengalami perubahan. Perkembangan tersebut dapat diketahui dari masa kuno, masa pertengahan, masa modern, dan pascamodern Jepang.
Pada masa Jepang kuno terdapat literatur yang menunjukkan adanya sikap orang Jepang terhadap wanita Literatur tersebut adalah Kojiki dan Nihonshoki. Awalnya, kedua literatur ini hanya tradisi lisan masyarakat Jepang kuno, lalu berkembang menjadi sebuah literatur mitologi yang berkembang menjadi kepercayaan masyarakat Jepang. Pada Nihonshoki dijelaskan adanya Amaterasu. Amaterasu adalah kami utama dalam pemujaan shinto. Amaterasu digambarkan sebagai lambang kesempurnaan dalam agama shinto yang mencontohkan kecerdasan, keindahan dan kemurnian sifat femininnya dikagumi.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan mitologi atas feminitas tersebut, tercipta konsep masyarakat Jepang kuno yang matrilineal atau penentuan garis keturunan berdasarkan garis keturunan Ibu. Mayarakat matrilineal ters
ebut menyebabkan adanya perempuan memiliki hak atas pewarisan harta pada keluarga dan takhta kekaisaran Jepang kuno. Adanya perempuan pada takhta Jepang kuno tercatat pada catatan kuno Cina, yaitu catatan Sejarah Tiga Negara. Pada catatan tersebut tertulis adanya perempuan penguasa Kerajaan Wa, bernama Ratu Himiko. Ratu Himiko memerintah pada abad ke-3 Jepang di sebuah kerajaan bernama Wa, yaitu kerajaan kuno Jepang. Takhta Ratu Himiko berlanjut pada putrinya, yaitu Iyo. Berdasarkan kisah Ratu Himiko tersebut dapat diketahui bahwa perempuan memiliki hak atas properti keluarga. Selain itu, penguasa perempuan pada masa itu juga menunjukkan adanya hak suksesi perempuan yang kuat dan setara dengan laki-laki.
ADVERTISEMENT
Konsep tersebut mulai berubah sejak masuknya konfusianisme ke Jepang. Konfusianisme juga menekankan masyarakat hierarkis dan dominasi laki-laki. Konfusianisme memiliki ajaran tentang posisi perempuan yang menghormati ayah, suami dan anaknya, sehingga hal ini menyebabkan pergeseran posisi perempuan pada konstruksi sosial di masyarakat. Pada masa Nara (646 – 794) laki-laki mulai mendaptkan kekuasaan atas aristokrasi. Pada awalnya, karya sastra Jepang hanya dituliskan oleh laki-laki saja, tetapi sejak berkembangnya karakter huruf Hiragana yang dapat dipelajari oleh perempuan, perempuan mulai masuk pada dunia karya sastra Jepang. Hal ini ditunjukkan pada karya sastra legendaris berjudul “Genji Monogatari” karya Murasaki Shikibu pada masa Heian. Meskipun terjadi revolusi sastra pada masa tersebut, perempuan mulai kehilangan hak suksesinya dalam konstruksi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pada masa kamakura, mulai adanya kemunculan samurai yang gagah dan berani. Konsep samurai tersebut menjadi standar bagi seorang laki-laki pada masa itu. Oleh karena itu, banyak laki-laki yang bekerja dan perempuan di dalam rumah untuk mengurus rumah tangga. Hal ini berkembang hingga masa edo dengan adanya sistem ie. Sistem ie merupakan sistem pewarisan bisnis keluarga pada anak laki-laki pertama keluarga tersebut. Struktur keluarga pada sistem ie terpaku pada garis keturunan ayah (laki-laki). Dengan demikian, laki-laki menjadi kepala keluarga dan memiliki peran besar dalam sistem Ie tersebut. Perempuan juga menjadi bagian dari sistem tersebut sebagai pengikat dua keluarga melalui pernikahan.
Jatuhnya keshogunan Tokugawa pada akhir tahun 1860 membuat Jepang segera melakukan restorasi. Restorasi tersebut berupa memberhentikan politik isolasi dan membuka diri terhadap dunia luar. Masa tersebut ditandai sebagai masa meiji. Pada masa meiji, Jepang banyak mempelajari beragam sektor serta pemikiran barat. Jepang pun mulai mengembangkan industri dan membutuhkan banyak tenaga kerja. Pendidikan formal pun dibuka bagi laki-laki dan perempuan dari berbagai kalangan. Laki-laki dipersiapkan untuk bekerja di luar pada kemudian hari, sedangkan perempuan dipersiap
ADVERTISEMENT
kan untuk berperan dalam rumah tangga. Terdapat sebuah pemikiran baru, yaitu ryosaikenbo yang berarti good wives, wise mother. Pemikiran tersebut menjadi cara pandang perempuan pada masa itu.
Pasca Perang Dunia II terdapat reformasi hukum dan sosial. Reformasi tersebut ditandai dengan penghapusan sistem feodal dan muncul konsitusi Jepang yang baru. Konstitusi tersebut mempengaruhi segala aspek termasuk peran gender. Pada masa itu, peran gender dicampur dengan tradisi Jepang dan sikap barat yang modern. Jepang modern menekankan harmoni dan pengabdian yang diterapkan oleh laki-laki Jepang. Perempuan mengontrol rumah tangga, dan keuangan. Seiring dengan perkembangan waktu, jumlah orang yang menempuh pendidikan tinggi semakin bertambah sehingga pengetahuan mereka tentang nilai-nilai juga berubah dalam ragam cara. Laki-laki dan perempuan pun bisa saling berhubungan dengan baik, tanpa adanya pembatas seperti pada masa aristokrat dahulu. Laki-laki dan perempuan mulai memiliki kesempatan yang sama. Baik dari sektor ekonomi, pendidikan dan lainnya sehingga pola hubungan laki-laki dan perempuan masa modern berangsur-angsur mengalami pergeseran. Perempuan kini cenderung meniti karir di dunia kerja sehingga tidak berfokus pada pernikahan dan menjadi ibu.
ADVERTISEMENT
Meskipun sudah mengalami pergeseseran, tidak semua masyarakat memiliki pemikiran yang sama. Pemikiran bahwa laki-laki bekerja dan perempuan di dalam rumah kerap melekat pada pemikiran masyarakat Jepang hingga kini. Hal ini menyebabkan adanya permasalahan seperti ketidaksetaraan gender dalam beragam sektor. Salah satunya, ketidaksetaraan dalam pekerjaan. Fokus perempuan kini dalam meniti karir membuat mereka harus memilih antara menjadi perempuan karir atau ibu rumah tangga. Namun, beberapa kebijakan Jepang kini menaruh perhatian lebih agar tidak terjadi diskriminasi terhadap perempuan.
Hubungan laki-laki dan perempuan Jepang yang dinamis menunjukkan adanya pergeseran tentang peran gender di masyarakat Jepang dari masa ke masa. Hubungan laki-laki dan perempuan di Jepang dari masa ke masa juga menunjukkan adanya pemikiran masyarakat yang senantiasa berkembang. Berawal dari masyarakat matrilineal, perempuan memiliki hak suksesi pada ragam sektor sehingga laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut berangsur-angsur mengalami perubahan pada masa Nara saat buddhisme masuk ke Jepang. Jepang pun menjadi masyarakat patrilineal. Perkembangan tersebut masih berjalan hingga kini dan menimbulkan adanya pergeseran, seperti perempuan yang tidak lagi fokus pada pernikahan dan menjadi ibu. Oleh karena itu, Pergeseran tersebut memberi dampak pada sosial masyarakat Jepang kini, seperti menurunnya angka kelahiran akibat penundaan pernikahan. Namun, berdasarkan perspektif gender, perempuan mulai mendapatkan kesetaraan kembali di tengah-tengah masyarakat yang patriakal.
Daftar Pustaka
Davies, R. J., & Ikeno, O. (2002). The Japanese mind: understanding contemporary Japanese culture. Boston, Tuttle Pub.
Silva, M. A. (2010). "Women in Ancient Japan: From Matriarchal Antiquity to Acquiescent Confinement ." Inquiries Journal/Student Pulse, 2(09). Diakses melalui http://www.inquiriesjournal.com/a?id=286
ADVERTISEMENT