Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tumbal Satu Jiwa
21 Oktober 2022 11:15 WIB
Tulisan dari Yadi Karyadipura tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Rasa takut seketika mencapai puncak kala kudengar desir angin malam yang menderakan batang-batang pohon mangga. Dedaunan terbang menghantam kaca jendela kamar. Disusul oleh patahan batang. Jika suara tubrukan makin terasa menguat, kala itulah Jessica Milea seketika menangis. Tangisannya makin keras. Tangan mungilnya mengepal. Kepalanya bergerak seakan memalingkan pandangan. Dari matanya yang jernih, kudapati ketakutan yang teramat sangat.
ADVERTISEMENT
Istriku selalu sigap. Terbangun lantas menggendong anak berumur empat tahun. Aku selalu ingin bergantian menggendong. Hanya saja Milea menolak. Jika dipaksa, tangisnya justru semakin keras.
“Bawa ke ruang tengah, mungkin kamar ini gerah,” ujarku sambil membuka pintu kamar. Sekarang malam keempat, dan aku masih mengatakan hal yang sama.
Tanpa berkata-kata, Bunga Noviana membawa Milea keluar kamar. Hanya terdengar suara tepukan lembut dan bisikan penenang. Terus kuperhatikan langkahnya hingga ke ruangan tengah. Sampai pada titik di mana Ina hanya fokus menenangkan Milea, saat itulah, kukumpulkan keberanian agar tak kencing di celana.
Menatap jendela kamar. Merasakan jantung berdegup lebih kancang diiringi suara hantaman dedauanan dan patahan ranting. Tubuh semakin terasa gigil di puncak malam. Keringat dingin muncul kala terdengar derit jendela kamar yang terbuka. Angin malam meniup masuk dedaunan dan patahan ranting.
ADVERTISEMENT
Lalu, jemari tangan sebesar sosis menyentuh tepian jendela. Sepasang bola mata yang menyala merah pun muncul. Wajah mengerikan menampakkan diri. Taring-taringnya yang tajam meneteskan liur. Seakan berlomba dengan keringatku yang bercucuran.
Aku mematung beberapa jenak. Seperti yang kulakukan di malam-malam sebelumnya, sesuai permintaan. Dan malam ini pun, jemari dengan kuku hitam itu mengisyaratkan kode yang berbeda, ‘dua malam lagi’. Aku mengangguk di tengah gempuran rasa takut. Makhluk mengerikan itu pun perlahan menghilang.
Buru-buru kubersihkan dedaunan dan ranting yang berserakan. Membuangnya keluar, lalu menutup jendela. Setengah berlari ke ruang tamu. Mendapati Milea dan ibunya sudah terlelap di sofa. Rasa sesal yang kurasakan semakin menjadi.
* * *
Tak pernah kubayangkan jika setelah menikah, hidup justru menjadi semakin sulit. Kesulitan yang kualami sekarang, jauh lebih buruk dari keadaan saat menjadi pengangguran di usia tanggung. Punya uang sepuluh ribu sudah bahagia. Hidup dinikmati dengan rokok, kopi, mie instan, dan gorengan. Kini, kesibukan yang menghasilkan uang, tak bisa melenyapkan kegundahan. Karena besarnya penghasilan, selalu tak sebanding dengan hutang-hutang yang harus kubayar.
ADVERTISEMENT
Aku terlupa pada pesan ayah yang mengajari kesederhanaan. Tak pula kuingat amanat ibu untuk tidak tertipu senyuman perempuan. Keluarga menganggapku terlalu royal mengadakan resepsi pernikahan bagi calon pengantin berstatus janda anak satu. Dan sekuat tenaga, kututupi kenyataan bahwa sebagian dari biaya pernikahan itu kuambil dari pinjaman. Aku pun tidak buka mulut tentang biaya pernikahan di pihak keluarga perempuan, yang juga berasal dari hutang.
Berbulan-bulan mencoba bertahan. Sampai akhirnya keuanganku benar-benar limbung saat ada peringatan penarikan mobil dan rumah. Pada fase itulah aku teringat apa yang dilakukan ayah di malam hari, duduk merokok di teras depan rumah. Bermalam-malam aku melakukannya, sekadar menghabiskan dua atau tiga batang rokok, sambil menenangkan gemuruh di hati, dan mendamaikan pertikaian isi pikiran.
ADVERTISEMENT
Rokok bisa habis banyak manakala ada tetangga lewat dan ikut nongkrong di teras rumah. Bisa lebih banyak lagi, ketika tiba-tiba ada kawan lama yang datang. Menatapku dengan penuh rasa kasihan, lalu berujar, “Apa yang bisa kubantu?”
* * *
“Milea selalu menangis setiap malam,” Kepala Ina bersandar di pundakku.
Kami menatap Milea yang tengah asyik bermain puzzle.
“Jangan-jangan Milea diganggu makhluk halus. Rumah ini berhantu,”
“Hampir setengah tahun kita tinggal di rumah ini. Mungkin kita harus memeriksa kondisi kesehatan Milea,” kutepis prasangka istriku sambil membelai rambutnya yang tergerai panjang. Wangi shampo mengelus lubang hidungku.
“Penyakit apa yang kambuh setiap tengah malam?” Milea bertanya seraya menatapku.
“Penyakit tak kerasan di kamar,”
ADVERTISEMENT
Ada gurat senyum di wajahnya. Bunga Noviana beranjak ke kamar. Tak berapa lama kembali lagi dengan membawa surpet. Menggelarnya. Lantas menatap.
“Milea, sini sayang,”
Anak yang baik itu meninggalkan mainannya. Bergegas menghampiri sang ibu.
“Waktunya tidur yah sayang. Sini, Mamah bacakan dongeng…”
Seorang bocah terbaring nyaman sambil memeluk boneka. Berceloteh manja menanggapi dongeng yang dibacakan ibunya. Celoteh yang terus surut, hingga hening, terlelap. Bunga Noviana menatap penuh kasih sayang. Mengecup kening, lalu melipat buku dongeng. Perempuan yang mengenakan daster serut itu terbaring. Memejamkan mata. Dari wajahnya kulihat raut kelelahan.
Tubuhku pun terasa lelah. Bahkan begitu malas untuk beranjak ke kamar. Hujan yang turun sejak magrib masih belum ada tanda-tanda mereda. Baru pukul delapan, kantuk sudah membebani kelopak mataku.
ADVERTISEMENT
Ingin aku tertidur. Tapi masih kurasakan gemuruh di hati dan pikiranku. Tumbal. Pesugihan. Tumbal. Pesugihan. Terngiang-ngiang di telinga.
“Aku tidak menyarankan. Hanya jika kau butuh, aku bisa membawamu menemui beberapa tempat pesugihan. Ada beberapa cara, di mana kau bisa menumbalkan orang lain,” ujar Rangga di pertemuan kedua, di satu kedai kopi di pinggir jalan yang selalu ramai.
Rangga, temanku dari SMP. Tak sengaja menemukanku sedang duduk melamun di teras usai mengantar pelanggannya. Majalah cetak tempatnya bekerja sudah gulung tikar dua tahun yang lalu. Ambruk dihajar badai pandemi Covid-19.
Salah satu tugasnya selama menjadi wartawan adalah menyisir sisi mistis di pedesaan. Legenda, mitos, dan sesuatu yang bersifat gaib. Tak heran jika lelaki yang masih membujang itu memiliki banyak rekomendasi tentang ritual pesugihan.
ADVERTISEMENT
“Seseorang menaruh benda goib di titik ruas jalan. Tumbalnya adalah pengendara yang lewat. Biasanya, makhluk yang dipuja itu yang menentukan korbannya,”
“Setan memilih korban?”
“Iyah, tergantung dari niat si pemuja. Iblis akan menyasar gadis-gadis, atau anak kecil, bisa juga manusia dengan hari lahir tertentu, tanpa memandang usia dan jenis kelamin. Kau mau pilih yang mana?”
“Apa saja, asal cuma sekali. Aku tidak ingin terus-terusan bersekutu dengan setan,”
“Ada,”
Rangga bercerita tentang satu ritual yang sedang marak. Tumbal satu jiwa. Pola menumbalkan siapa pun yang diinginkan. Dukun akan berkomunikasi dengan setan, tentang label harga. Namun jika gagal—sebab targetnya memiliki sesuatu yang lebih tinggi—si pemohonlah yang akan diambil setan.
“Apa yang kau tawarkan?” tanya Rangga tepat di depan sebuah jalan sempit diantara rumpun bambu.
ADVERTISEMENT
Mengingat kembali masa-masa pacaran. Aku merasa tertipu, karena tiga hari sebelum perkenalan keluarga, Bunga membuka identitas bahwa dia seorang janda. Bercerai karena mantan suaminya tak bekerja. Perusahaannya tutup karena pandemi.
Perceraian itu menyisakan masalah. Mantan suaminya berhenti membayar tagihan tiga akun paylater. Itulah penyebab ongkos pacaran menjadi begitu mahal. Lalu ditambah hutang karena biaya pernikahan. Membuatku pusing, karena sebelumnya, aku hanya membayar angsuran mobil dan rumah.
“Selain lepas dari beban hutang, kau pun tak akan terbebani oleh anak tirimu. Itu bukan darah dagingmu,” nada tegas meluncur di mulut Rangga.
Perkataan Rangga semakin menguatkan tekadku.
Kakek tua berjanggut putih yang mengantar pada sebuah gua di hutan. Setelah menyusuri lorong gua yang licin, sampai pada sebuah tempat pesugihan. Kami melaksanakan ritual. Sampai makhluk menyeramkan itu muncul. Kemunculannya diawali dengan desir angin malam.
ADVERTISEMENT
Suara pohon berderak. Dedaunan beterbangan. Ranting patah berserakan. Ruang tengah jauh dari jendela. Tanda-tanda kemunculan setan telah nampak. Dari mana datangnya? Jemari berkuku tajam muncul di langit-langit rumah. Sepasang tangan merayap ke bawah. Rambut gimbal menjuntai. Dan sepasang mata merah menyala. Menyorot pada sosok anak yang terbaring di pinggir ibunya. Taring-taring yang panjang meneteskan liur. Satu tetesanya mengenai wajah Milea. Anak itu pun menangis. Saat matanya terbuka, tangisannya semakin keras.
Istriku terbangun. Mencoba menenangkan. Mata anakku terus menatap ke atas. Penuh rasa takut. Istriku membenamkan wajah Milea ke pelukannya.
“Ini sudah malam keenam. Aku tidak tahan lagi!” jerit istriku. Lalu terisak.
Air mata pun menetes di mataku. Mata yang sama pun menatap makhluk mengerikan yang menempel di dinding. Jemarinya memberi isyarat, satu malam lagi.
ADVERTISEMENT
***
Malam yang mendebarkan. Malam yang dijanjikan. Namun aku masih disibukkan pekerjaan, sampai lupa tak pegang smartphone sejak magrib. Kekalutan pikiran dan kecemasan kerap menggoyahkan konsentrasi hingga pekerjaan sulit untuk selesai. Kupaksakan Boss untuk menyetujui proposal, karena jiwaku sudah melayang ke rumah.
Ponsel yang lebih dari dua jam tidak kusentuh itu pun memperlihatkan layar yang mengkhawatirkan. Ada lima panggilan tak terjawab dari istriku. Di whatsap pun ada beberapa pesan dengan waktu kirim yang beruntun.
“Pah, Mamah khawatir dengan kondisi Milea. Sejak magrib terus menangis, kayak ketakutan begitu,”
Lima belas menit kemudian.
“Pah, Ibu nelepon, Milea disuruh tidur di rumah nenek. Ibu mau panggil ustadz,”
Dua puluh menit kemudian.
“Pah, lagi sibuk ya? Aduh, Mamah khawatir sekali. Milea teriak-teriak, katanya ada hantu menyeramkan,”
ADVERTISEMENT
Di menit-menit berikutnya, Bunga Noviana mengirim pesan yang menghentak degup jantung. Kucoba menghubungi. Sekali, dua kali, sebelum berakhir, Milea menjawab panggilan. Dari suara di seberang sana, aku yakin, cuaca lagi sama buruknya.
“Hallo, Pah,”
“Hallo, Mamah maaf, Papah baru buka pegang HP,”
“Iyah, Pah. Ini mamah lagi di jalan mau ke rumah Ibu. Papah mau menyusul atau mau tidur di rumah kita?”
“Oke, Papah mau nyusul. Mamah naik apa?”
“Taksi online,”
“Sharelock yah, Papah mau beberes dulu. Bye,”
Terburu-buru kurapikan berkas di meja. Memasang jas, dan bergegas meninggalkan kantor. Gedung kantor yang sepi, bahkan sapaan pada sekurity pun bias terbawa angin. Mobil melaju di tengah guyuran hujan deras. Setir mengarah sesuai arah di maps.
ADVERTISEMENT
Tumbal. Pesugihan. Tumbal. Pesugihan. Terngiang-ngiang di telinga.
Tumbal satu jiwa. Suara yang terasa menghentak dada.
“Jika gagal, jiwamu yang akan diambil setan,”
Seketika keringat dingin keluar.
Jalanan yang lengang menuju daerah pinggirian. Sudah tak kupedulikan lagi kecepatan mobil. Yang terpenting bisa menyusul.
“Titiknya berhenti. Tapi rumah mertuaku masih dua kilometer lagi,”
Sungguh mengherankan. Terlebih, titik itu terhenti di zona angker. Wilayah yang renggang rumah penduduk. Medan yang curam. Terkenal dengan banyaknya cerita misteri dan kecelakaan. Kenapa? Apa yang terjadi? Aku khawatir setengah mati.
Laju kecepatan mobilku disusul oleh sirine mobil polisi. Beberapa menit berselang, terdengar sirine ambulan. Detak jantungku tidak karuan. Semakin dekat pada titik, kian menipis kesadaranku.
“Banyak orang,”
ADVERTISEMENT
Kudapati banyak pengendara yang terhenti. Beberapa orang pun berduyun-duyun datang membawa payung. Ada apa ini?
Di jalan yang menanjak, beberapa meter di depan, ada sebuah mobil terbalik. Mobil warna putih yang sepertinya aku kenal. Aku menepi dekat polisi yang sedang mengatur lalu lintas.
“Pa, saya takut itu istri saya, ini titik maps-nya berhenti di sini,”
Seorang polisi mendampingiku menuju lokasi mobil terbalik.
Tenaga medis, warga, dan aparat, berhasil mengeluarkan seorang penumpang. Perempuan dengan sweeter warna merah muda. Bercak darah tercecer di pakaiannya. Wajah yang menahan sakit itu begitu kukenal. Astaga! Ina, istriku.
“Pa, itu istri saya, Pa,” langsung menghambur memeluk tubuh Bunga Noviana yang sudah dipindahkan ke blankar. “Sayang, ini papah,” bisikku sambil memegang tangannya. Masih terasa hangat. Nadi masih berdenyut.
ADVERTISEMENT
“Milea…” bisik istriku.
“Maaf, Pa, korban harus segera mendapat pertolongan,”
Dengan berat hati kubiarkan petugas mendorong blankar menuju ambulan. Kuperiksa mobil yang terbalik. Sopirnya baru saja berhasil dikeluarkan. Pria bertubuh tinggi kurus.
“Rangga?” Ya Tuhan.
“Driver meninggal,”
Lututku lemas. Tersuruk ke tanah.
“Lalu penumpang satunya lagi? Seorang anak perempuan?”
Tidak ada yang menjawab pertanyaanku. Semuanya membisu. Hanya ada suara hujan, dan desir angin malam. Desir yang menderakan pepohonan. Tiba-tiba mataku mengarah pada sebuah lahan kosong. Di antara temaram malam, ada sorot dari bola mata. Mata yang besar milik makhluk mengerikan. Jemarinya menggendong Milea. Satu tangannya lagi, menjambak rambut Rangga.
Iblis itu menatap ke arahku. Tak lagi memberi isyarat. Hanya anggukan, lalu tertawa menggelegar. Sosok tinggi berbulu kehijauan itu balik badan. Menggendong Milea, dan menyerat Rangga. Sahabat lamaku itu meronta dan meminta pertolongan.***
ADVERTISEMENT
Bandung, 20 Oktober 2022