Konten dari Pengguna

Catatan GEMASTIK XIV – 2021 - Divisi Pengembangan Bisnis TIK

28 Oktober 2021 11:55 WIB
·
waktu baca 6 menit
clock
Diperbarui 12 November 2021 15:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Karyana Hutomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
2021
Puji syukur dan selamat bagi para pemenang GEMASTIK ke IV yang telah selesai pada tanggal 3 – 8 Oktober 2021 lalu dengan sukses. Terima kasih atas support Panitia baik dari Univ Telkom yg sudah menjadi host 2x berturut2 selama pandemi dan juga dari Bapak dan Ibu Puspresnas. Sukses bukan hanya bagi Univ Telkom – Bandung sebagai host yang dari tahun ke tahun semakin professional, tetapi juga proses estafet website GEMASTIK yang dibuat untuk Puspresnas sebagai platform pool data yang menurut saya sangat mulus untuk dapat di lakukan tracer study mahasiswa berprestasi di masa mendatang.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa hal yang menarik di tahun ini dari Puspresnas tentang kompetisi yang di jalankan.
Pertama, proses penjurian direkam dan disiarkan melalui streaming Youtube. Selain bertujuan membawa misi untuk proses pembelajaran bagi peserta di masa mendatang, ini juga pembelajaran bagi para dosen atau pendidik yang mempunyai program atau kurikulum kewirausahaan di institusi pendidikannya.
Lebih jauh lagi, dengan disiarkan melalui youtube, calon peserta juga bisa melihat “kesalahan – kesalahan” yg dilalukan oleh peserta dalam memulai usaha. Stakeholder juga bisa menilai sejauh mana “komitment” dari ide tersebut dijalankan khususnya dari para pendiri usaha relevan dengan integritas individunya dalam melihat opportunity business melalui proses customer centric development yang diharapkan bisa memberikan visi usahanya memberikan dampak yang signifikan bagi industry khususnya masyarakat.
ADVERTISEMENT
Mengacu kepada metodologi yg di tuangkan dalam buku “The four steps to the ephiphany” dari Professor Steve Blank yg membuat Lean LaunchPad di Univ Standford, Berkeley dan Columbia yang menjadi dasar pendidikan StartUp di Universitas di US, ini mengembalikan kembali mindset dalam mendirikan usaha dan melihat opportunity itu adalah proses pemahaman kebutuhan customer yg dibedah lebih mendalam dalam metodologi scrum. Seringkali saya menemukan “kesalahan” mendasar yang dilakukan oleh para pendiri startUp sangat fokus pada produknya tapi bukan customernya. Ini akan berakibat fatal apalagi di bidang teknologi karena perubahan teknologi begitu cepat, begitu teknologi yang terkini dapat merubah pengalaman dan mempertajam kebutuhan dari target konsumennya maka bisa di lihat dari sejarah produk2 terkenal dunia sekarang hanya menjadi catatan sejarah yang belum tentu mengenyam profit dalam bisnisnya karena gagap dalam antisipasi perubahan. “Kesalahan” lainnya yang penting adalah tidak fokus dalam memahami konsumen tapi hanya fokus pada sales. StarUp founder sering “cepat puas” dalam validasi dan malah lebih sering melakukan proses konfirmasi yg subjektif dari pelaku usaha terhadap target konsumennya. Proses ini hanya dilakukan dalam 1 kali proses iterasi saja dan tidak di digali lebih mendalam.
ADVERTISEMENT
Essensi dari pendidikan entrepreneurship yang umum sebagaimana pendidikan dari keilmuan lainnya tentunya adalah proses pengembangan manusia nya, cara berpikirnya atau mindset positifnya yang secara holistic diimplementasikan secara proaktif dari siswanya. Dari pengalaman mengajar di bidang pendidikan entrepreneurship, saya sering melihat institusi pendidikan “terbawa arus” pembelajaran yg diterjemahkan dalam kurikulum, proses assessment dan proses teaching dijejali dengan teori dan proses pemahamannya dengan menghafal. Berangkat dengan premis “kalau tidak diberikan teorinya dulu, siswa bagaimana belajarnya?” “Bagaimana jika siswa belajar dengan praktek dan dipastikan membaca buku referensinya ?” Dan proses asssesmentnya seberapa sering dia “turun lapangan” dan mengeksplorasi diri dengan pasarnya.
Mungkin kita masih ingat bagi para pendidik seusia saya, salah satu acara di TVRI – “Menggambar bersama Pak Tino Sidin” yang pada acara tersebut mengajarkan bagaimana kita menggambar dengan tips2 nya dan yg saya ingat di acara tersebut adalah di segmen terakhirnya selalu menampilkan karya – karya siswa yg mengirimkan hasilnya ke TVRI dan semua di komen “ya bagus ya ini gambarnya” dan jika ini dikompetisikan, apa yang dikompetisikan? Jika hasil gambarnya maka akan menjadi sangat subyektif bagi peserta dan pendidik. Begitu pula dengan di kompetisi2 bisnis yang diadakan di sekolah – sekolah dan Universitas2, apa sih yang ingin di cari? Jika secara skeptis hanya untuk exposure event sebagaimana juga dilakukan kolaborasi antara universitas dengan perusahaan2, bukankah akan menjadi paradox bagi Univ dan siswanya motivasi utama nya hanya untuk mengejar “sebagai pemenang” sebagai ajang untuk konfirmasi diri yang “terbaik” “terpintar” “terhebat” dan menjadi proses yg kontra produktif karena startup yg terkenal tersebut mendadak menjadi “selebriti” sesaat. Mendadak diminta menjadi narsum diberbagai event2 startup. Mendadak diminta mengisi workshop untuk stakeholdernya yang mana menjadi gangguan fokus, sementara problem dalam memahami target customernya saja sangat banyak dan memerlukan proses. Silahkan bisa di “trace” back berapa banyak startup lifespannya di media dan bisa dipelajari sangat banyak kesalahan2 yang dilakukan.
ADVERTISEMENT
Sebagai pendidik yg berpengalaman seharusnya sudah dapat melihat kapasitas, kemauan dan kemampuan siswanya dari kualitas hasil yang disampaikan. Dan di dalam event kompetisi khususnya bisnis, kita menggali sejauh mana proses yang dialami siswa tersebut dalam memahami dan menterjemahkan idenya dengan media produk untuk dapat mengatasi masalah bisnis yg diangkat. Jika di terjemahkan dalam bahasa akademik, kemampuan softskill seperti kemampuan berkomunikasi dengan stakeholder, menganalisa feedback customer, pengambilan keputusan, kemampuan bekerjasama dengan kelompok kemampuan2 tersebut menjadi pengalaman yang menarik dalam pembelajaran dan berdampak kepada pengembangan individunya. Sebagai pendidik harus bisa mengangkat curiosity siswanya dalam proses pengembangan dirinya, yang mana membuat softskil2 tersebut terutilisasi sehingga mahasiswa benar2 merasakan pengalaman yang tidak terlupakan dalam mengenyam perndidikannya.
ADVERTISEMENT
Dan bagi pendidik juga harus siap dalam menyeleraskan ke 3 instrumen pendidikan tadi (kurikulum, system assessment dan proses teaching) menjadi dasar bagi siswa sebagai media untuk menciptakan ekosistem “belajar dari kesalahan sendiri dan dari orang lain”
Dan akan menjadi sangat menarik dari berbagai disiplin Ilmu para siswa bisa mengembangan ide bisnisnya berdasarkan dari latar belakang keilmuannya disertai dengan ilmu2 penunjang lainnya. Dan akan menjadi sangat kontra produktif jika pembelajaran entrepreneurship di persempit pemahamannya hanya menjual produk atau jasa saja.
Jauhkan pemahaman belajar bisnis dengan “ilmu kepepet” seperti belajar dengan system sks (system kebut semalam). Jika belajar bisnis kepepet, bagaimana belajar entrepreneurship yang essensinya memahami manusia dan menjadi manusia seutuhnya?. Ada siswa yang memulai usaha karena desakan ekonomi, akan tetapi proses pembelajarannya tidak bisa diakomodir menjadi instan. Untuk yang tidak terdesak secara ekonomi mempunyai hak untuk memulai usaha dengan baik dan benar dan akan menjadi bencana jika proses pemahamannya salah. Dengan proses yg benar saja masih mempunyai resiko bangkrut, apalagi yg salah.
ADVERTISEMENT
Mudah – mudahan catatan kecil ini bisa menjadi refleksi bagi kita sebagai pelaku membangun ekosistem entrepreneurship di Indonesia untuk dapat menjadi lebih baik lagi dari kemarin.
Rekaman mulai team 11 - 20 Divisi Pengembangan Bisnis TIK https://www.youtube.com/watch?v=gjgbtb0_kLM
#Dirgahayu Pemuda Pemudi Indonesia
#Indonesia Maju Indonesia Tangguh.