Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Panggung Debat Pilpres atau Panggung Dahsyat?
8 Januari 2024 9:51 WIB
Tulisan dari Oddi Arma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
“Lalala Yeyeye… Lalala Yeyeye… Lalala Yeyeye” masih ingat yel-yel legend ini? Yup benar. Ini adalah yel-yel penonton acara musik di salah satu stasiun televisi swasta yang cukup terkenal di masanya. Mengudara selama 120 menit setiap hari selama 10 tahun (2008-2018) Dahsyat menjadi acara panggung musik penuh gimmick di mana penonton menjadi salah satu elemennya.
ADVERTISEMENT
Penempatan penonton yang in-frame lengkap dengan gerakan dance-nya memang menambah meriah, tetapi terkadang juga mengganggu penonton di rumah yang ingin menikmati penampilan band/penyanyi. Belum lagi, yel-yel “Lalala Yeyeye… Lalala Yeyeye… Lalala Yeyeye” yang tiap saat terdengar tidak menyisakan jeda sepanjang acara ini. Konsep acara musik dan variety show memang idealnya seperti ini. Riuh.
Namun bagaimana jika keriuhan panggung Dahsyat juga atmosfernya sama dengan panggung Debat Pilpres 2024? Tim sukses yang sekaligus penonton dengan ragam tingkah polanya in-frame bahkan jadi background capres/cawapres saat berdebat di panggung. Belum lagi yel-yel atau tepatnya teriakan masing-masing pendukung saat jagoannya selesai berbicara atau saat dinilai berhasil menyerang balik lawan debatnya, benar-benar seperti menyaksikan panggung Dahsyat yang dulu pandu Raffi Ahmad.
ADVERTISEMENT
Sama seperti panggung Dahsyat yang diwarnai gimmick pengisi acara dan penonton, Panggung Debat Pilpres 2024 juga diselipi gimmick para kandidat dan tim sukses. Mulai dari memprovokasi pendukungnya untuk lebih kencang berteriak sampai atraksi joget-joget. Mirip seperti penyanyi di panggung Dahsyat yang suka mengajak penonton ikut bernyanyi dan berjoget.
Minim Kreasi, Miskin Substansi
“Harap tenang…harap tenang” dua kalimat ini yang paling sering didengar sepanjang tiga debat kemarin. Hampir di setiap kesempatan moderator berulang-ulang mengucapkan kalimat ini untuk meredakan keriuhan tim sukses yang saat debat berperan sebagai “pemandu sorak”. Bagi tim sukses itu mungkin keren, tetapi bagi puluhan juta rakyat yang menonton dari rumah itu ‘norak’ dan sangat mengganggu.
Situasi seperti ini seharusnya tidak terjadi, andai saja KPU meresapi makna bahwa perintah Undang-Undang (UU) Pemilu untuk menggelar debat antarcapres-cawapres ditujukan untuk “memuaskan” rakyat, sehingga tidak perlu disesuaikan dengan keinginan tim sukses bahkan capres/cawapres sekalipun. Artinya setiap sisi Debat Pilpres 2024 baik itu teknis maupun substansi harus memperhatikan kenyamanan puluhan juta rakyat, bukan mementingkan keinginan puluhan orang tim sukses.
ADVERTISEMENT
Dari sisi teknis, tiga debat yang sudah digelar miskin kreasi. Sebagai penyelenggara debat, KPU sama sekali tidak memahami pentingnya detail tata letak, latar belakang dan pencahayaan panggung, termasuk penempatan tim sukses yang hadir di lokasi. Detail lain yang juga luput adalah potensi noise selama debat berlangsung. Harusnya, untuk forum sekelas debat capres-cawapres, selain suara kandidat dan moderator, hanya suara tepuk tangan yang ditolerir untuk didengar oleh audience. Suara selain itu—apalagi teriakan yel-yel—tidak boleh terdengar karena sangat mengganggu.
Warga dunia senang menonton debat capres pilpres Amerika, bukan karena negara adidaya ini aktor utama yang menentukan wajah dunia, tetapi juga karena kemasan debatnya dibuat sangat menarik baik dari sisi teknis maupun substantif.
ADVERTISEMENT
Dari sisi substansi sangat berisi, karena pangkal perdebatan sering sekali di-capture perbedaan pendapat kandidat yang sudah mulai bersemai di media massa dan menjadi polemik di masyarakat, bukan berdasarkan pertanyaan dari panelis.
Misalnya pada debat pertama. Debat langsung dibuka soal kebijakan Trump sebagai petahana yang menominasikan hakim konservatif Amy Coney Barrett untuk mengisi kekosongan posisi Mahkamah Agung yang kosong pasca meninggalnya hakim Ruth Bader Ginsburg. Biden yang dalam posisi tidak setuju, langsung menyerang Trump. Debat memanas dan justru di sinilah peran moderator mengatur debat agar mengalir, tidak hanya fokus menjaga waktu.
Dari sisi teknis, panggung didesain sedemikian rupa agar publik yang menonton dari layar kaca nyaman menyaksikan perdebatan. Tidak ada tim sukses yang duduk bergerombolan di belakang kandidat yang sedang berdebat. Posisi mereka dan audiens dibuat out-frame atau ditempatkan di belakang moderator dengan pencahayaan minim agar tidak mengganggu blocking capres-cawapres di atas panggung.
ADVERTISEMENT
Jika diperhatikan latar belakang panggung yang juga menjadi background para kandidat di hampir semua debat pilpres Amerika sering kali menampilkan elemen-elemen simbolik misalnya bendera dan simbol nasional lainnya yang didesain khas untuk menciptakan suasana yang hangat dengan warna cenderung gelap.
Selain agar fokus kepada perkataan dan gesture kandidat, latar belakang dengan nuansa yang hangat ini agar mata penonton yang menyaksikan dari layar kaca lebih nyaman. Audiens yang menyaksikan debat langsung di lokasi, baik itu tim sukses maupun undangan lain yang jumlahnya terbatas hanya boleh tepuk tangan, itupun setelah mendapat kode dari moderator. “Keriuhan” dalam debat hanya boleh terdengar dari suara para kandidat saja.
Dari tiga debat yang sudah digelar KPU, penempatan tim sukses lengkap dengan pola tingkahnya sebagai latar belakang panggung debat yang otomatis in-frame, benar-benar mengganggu puluhan juta mata yang menyaksikan debat penting ini lewat layar kaca. Entah apa dasar pemikiran KPU yang menempatkan tim sukses menjadi latar belakang panggung sehingga in-frame saat debat. Entah apa alasan KPU mengundang begitu banyak tim sukses yang tingkahnya lebih mirip pemandu sorak dengan yel-yel yang begitu mengganggu penonton di rumah. Kenapa tidak mengundang perwakilan masyarakat sesuai tema yang dibahas? Mengundang elemen masyarakat mereka akan lebih bermanfaat karena mereka pasti lebih tertib.
ADVERTISEMENT
Jika dari sisi teknis minim kreasi, tiga debat kemarin juga miskin substansi. Format debat masih kaku, tidak mengalir dan masih mirip cerdas cermat. Pertanyaan-pertanyaan panelis sering sekali tidak menggambarkan apa yang menjadi perbedaan visi misi, program kerja dan pandangan para capres-cawapres tentang sebuah isu. Kenapa panelis tidak ditugaskan membedah visi misi para kandidat untuk mencari apa saja perbedaan pandangan dan solusi masing-masing kandidat. Perbedaan inilah yang seharusnya dijadikan titik krusial perdebatan agar rakyat tahu mana gagasan terbaik.
Misalnya terkait isu pertahanan yang menjadi tema debat ketiga. Para capres harus ditanya lebih mendalam soal visi misi pertahanan dan politik luar negeri mereka tentang semakin agresifnya klaim China di Laut China Selatan yang sangat merugikan Indonesia. Jika terpilih apakah mereka berani menentang China yang pengaruhnya sangat besar bagi ekonomi Indonesia? Panelis juga harus mampu menganalisa isu yang pasti menjadi perdebatan sengit para kandidat. Misalnya apakah urgensi visi poros maritim dunia Pemerintahan Jokowi dari sisi pertahanan negara. Apakah harus dilanjutkan, diubah atau tidak perlu dilanjutkan.
Ritme perdebatan juga bisa semakin mengalir, menarik dan fair dengan meng-capture perbedaan pandangan masing-masing kandidat mengenai sebuah isu yang bertebaran di media massa dan di berbagai platform digital lainnya. Misalnya saja perbedaan sikap, pandangan dan solusi para capres terkait isu pengungsi Rohingnya yang semakin banyak mendarat di sejumlah wilayah di Aceh dan Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.
ADVERTISEMENT
Jika dicermati pemberitaan media, pandangan dan solusi para capres soal pengungsi Rohingnya berbeda-beda. Menjadikan jejak digital para capres mengenai sebuah isu menjadi sebuah pertanyaan dan bahan perdebatan sangat fair. Selain untuk mengkonfirmasi dan mendalami, jejak digital ini bisa diakses siapa saja sehingga bisa lebih relevan dipahami publik.
Satu hal yang juga cukup mengganggu ritme debat karena memakan durasi cukup signifikan adalah prosesi pengundian pertanyaan panelis mulai dari fishball, memilih amplop sampai membacakan pertanyaan. Kenapa tahapan yang sangat teknis ini tidak dilakukan sebelum debat berlangsung dengan disaksikan masing-masing tim sukses sehingga saat debat, moderator tinggal membacakan pertanyaan saja? Sangat disayangkan, KPU belum mampu memanfaatkan secara efektif durasi yang hanya kurang dari 120 menit ini untuk benar-benar dimaksimalkan dengan perdebatan.
ADVERTISEMENT
Jika saja pertanyaan panelis didasarkan pada perbedaan visi misi dan pandangan capres-cawapres terhadap isu-isu yang sedang berkembang sesuai tema debat maka tidak perlu ada sesi pengundian pertanyaan yang menghabiskan banyak durasi. Ini karena semua pertanyaan yang ditujukan untuk ketiga capres-cawapres tidak berbeda atau sama sehingga jalannya debat lebih mengalir, menarik, mendalam dan fair dengan durasi waktu yang bisa lebih leluasa.
Format seperti ini juga bisa menutup kakunya penampilan para moderator yang harus tunduk kepada ketentuan Pasal 227 ayat 4 UU Pemilu yang melarang memberikan komentar, penilaian, dan simpulan apa pun terhadap penyampaian dan materi capres-cawapres.
Masih Ada Waktu Siapkan Debat yang Bermutu
Pasal 227 UU Pemilu secara tegas menyatakan bahwa tugas menyelenggarakan debat pilpres adalah kewenangan KPU. Artinya dalam penentuan format debat, baik yang sifatnya teknis maupun substantif menjadi kewenangan penuh KPU. Kandidat termasuk tim suksesnya harus patuh mengikuti apa pun format yang didesain KPU. Dalam debat, KPU hanya diperintahkan untuk mendapatkan kesepakatan/persetujuan dari semua paslon terhadap moderator yang ditunjuk. Hanya itu saja.
ADVERTISEMENT
Harusnya, kewenangan penuh ini dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh KPU dalam memformulasikan format debat yang bermutu baik dari sisi teknis maupun substansi. Satu hal yang harus menjadi parameter KPU adalah audiens utama debat pilpres ini adalah puluhan juta rakyat Indonesia yang menonton dari layar kaca, bukan puluhan orang tim sukses.
Oleh karena itu, harus dipastikan dari sisi teknis baik itu tata letak, latar belakang dan pencahayaan panggung, termasuk penempatan tim sukses yang hadir di lokasi tidak mengganggu kenyamanan mata dan telinga rakyat yang menyaksikannya dari tempat lain.
Sementara dari sisi substansi ‘lecutan’ perdebatan bisa berasal dari persilangan gagasan dan solusi yang dibedah para panelis dari visi misi dan program kerja masing-masing paslon. Perdebatan bisa semakin menarik dan edukatif jika jejak digital masing kandidat yang bertebaran di media massa dan di berbagai platform digital tentang sebuah isu yang berkenaan dengan tema “diadu” saat debat berlangsung sehingga publik bisa membandingkan mana yang terbaik.
ADVERTISEMENT
Masih ada waktu bagi KPU menyiapkan debat yang bermutu. Jangan sampai yang rakyat ingat dari Debat Pilpres 2024 ini hanya gimik capres-cawapres dan yel-yel tim sukses. Ini panggung Debat, bukan panggung Dahsyat.