Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Panti Jompo Roemah Umas: Merangkai Kenangan Manis dan Pahit di Tepian Hidup
25 Juli 2024 15:41 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Kathleen Alicia Bong tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
“Kalau sudah tua nanti, gue mau punya banyak anak. Biar hidup tidak kesepian, banyak yang jagain. Lu mau gimana nanti tua kalau tidak punya anak? Tidak ada yang jagain, lho."
Begitu sering saya mendengar ocehan semacam itu dari teman saya, ketika mereka mendengar keinginan saya untuk childfree. Benar-benar munafik jika saya menafikan keresahan saya tentang siapa yang mau mengurus saya di masa tua nanti.
Pikiran saya pun langsung tertuju pada panti jompo, rumah bagi mereka yang sudah lanjut usia. Namun saya juga sudah termakan stigma jika panti jompo adalah "pempat pembuangan lansia".
Pertanyaan terus bergelanyut di benak saya. Mengapa panti jompo dipandang tabu oleh masyarakat? Padahal panti jompo hanya rumah bagi para lansia.
ADVERTISEMENT
Ketika saya melihat kakek saya yang tinggal di rumah paman, hanya satu kata yang bisa terpikirkan di benak saya: kasihan. Kondisi tubuhnya sudah digerogoti diabetes dan stroke hingga tak bisa lagi berjalan. Badannya begitu berat karena kurang aktivitas. Bahkan dia sering buang sembarangan, kamarnya begitu bau, bahkan di bajunya sering tercium sedikit pesing.
Tetapi, bagai koin yang memiki dua sisi, selalu ada dua sudut pandang berbeda dari setiap cerita. Saya juga tidak bisa membayangkan bagaimana menjadi paman saya yang setiap hari harus menahan lelah dan makan hati merawat kakek. Belum lagi harus menghadapi ulah kakek yang cuek bebek kepada sekitar.
Kalau sudah begini, bukankah yang paling tepat adalah melupakan stigma negatif yang ada tentang panti jompo dan memindahkan kakek ke sana?
Suatu hari saya dan teman kelompok mendapatkan tugas menulis feature. Kami diperbolehkan mengobservasi apa pun. Hal pertama yang terbesit di pikiran saya adalah panti jompo. Beruntung sekali teman-teman saya sangat setuju dengan gagasan ini.
ADVERTISEMENT
Setelah sedikit pencarian, kami menemukan sebuah panti jompo di Citra Garden 1 Extension, Jakarta Barat. Panti jompo itu bernama Roemah Umas, yang artinya "rumah untuk usia emas". Kami pun sepakat mengunjungi Roemah Umas ini.
Saat itu, mentari tampak lebih semangat memancarkan sinarnya ketimbang biasanya, menyengat dan panas membakar kulit, saat kami sedang dalam perjalanan menuju Roemah Umas. Di dalam mobil sedan kami menyetel lagu-lagu ceria, menyemarakkan antusiasme kami mengunjungi Roemah Umas.
Namun keceriaan kami segera terganti oleh bingung dan panik saat sampai di depan bangunan Roemah Umas. Di dinding depannya, terpasang papan alamat kayu. Kami tidak tersesat. Tapi yang bikin kami ragu adalah karena rumah tersebut terlihat remang-remang dan nyaris seperti tak berpenghuni.
ADVERTISEMENT
Di halaman depannya ada tempat untuk menjemur baju, tapi tak ada satu pun pakaian tergantung di sana. Kami memarkirkan mobil dan berhenti sejenak, celingak-celinguk ke kiri dan kanan.
"Ini alamatnya sudah benar kan sama yang dikasih Bu Siska?" tanya saya kepada Winny, salah satu teman kelompok.
"Iya kayaknya, Kath. Kok seperti enggak ada orang, ya?" kata Winny yang bukannya menjawab malah balik bertanya.
Saya pun kembali menyalakan mesin mobil dan kembali mengitari kompleks sambil memicingkan mata, memerhatikan papan alamat setiap rumah. Hasilnya nihil. Kami kembali lagi di depan rumah yang sama, dengan perasaan semakin bingung.
Akhirnya, kami memberanikan diri, turun dari mobil, dan mengetuk pintu pagar rumah itu. Selang beberapa saat, seorang wanita paruh baya dan seorang wanita lanjut usia keluar menyambut kami dengan hangat. Kami pun lega mengetahui bahwa kami tidak salah alamat dan langsung masuk ke dalam.
Roemah Umas terlihat seperti rumah tua yang sederhana pada umumnya: pintu dan jendela rumah yang dialasi kawat nyamuk, dinding rumah berwarna putih yang sudah agak kusam, perabotan rumah seperti meja kayu yang berwarna coklat vintage dan jendela yang terbuat dari glass box, hingga lampu rumah yang remang-remang.
ADVERTISEMENT
Ketika kami masuk, kami langsung disambut dengan ruang tamu yang sangat kecil dan minim. Mungkin ukurannya sekitar 3x2 meter. Di ruang tamu itu, terdapat beberapa sofa kecil dan sebuah TV analog yang layarnya tidak terlalu besar.
Kami diarahkan untuk duduk di ruang makan. Berbanding terbalik dengan ruang tamu, ruang makan Roemah Umas sangat besar. Mejanya luas, mungkin bisa memuat 10 orang. Di depan ruang makan, terdapat sebuah ruang dapur yang sempit dengan desain keramik yang jadul.
Setelah kami duduk, kami menyadari Roemah Umas sangat sepi. Hanya ada dua ibu yang sekarang duduk di hadapan kami dan menjamu kami. Ternyata, sekarang adalah jadwal tidur siang para oma dan opa yang menghuni Roemah Umas. Seketika, saya melirik jam di dinding yang menunjukkan waktu pukul 14.11. Mampus, pikir saya. Bagaimana kami bisa mendapatkan cerita dari oma dan opa untuk menulis feature?
ADVERTISEMENT
Meskipun begitu, kami memutuskan untuk berbincang dulu dengan kedua ibu yang duduk di hadapan kami.
Yang paruh baya berusia 36 tahun, namanya Yuli. Ia mengaku sudah lima tahun mengurus para lansia di Roemah Umas. Rambutnya keriting dan dikuncir satu.
Yang sudah lanjut umur berusia 65 tahun, namanya Soti. Ia mengejutkan kami ketika mendengar bahwa ia membantu Yuli mengurus dan memasak untuk para lansia lainnya. Ternyata, ia sudah delapan tahun tinggal di Roemah Umas. Awalnya, ia menjadi salah satu penghuni yang dirawat di Roemah Umas. Kendati giginya yang sudah ompong, fisiknya masih sangat kuat sehingga ia memutuskan untuk membantu Yuli merawat Roemah Umas. Soti memang sebatang kara, ia tak mempunyai keluarga.
ADVERTISEMENT
Keduanya bercerita bahwa ada dua Roemah Umas, yang satu menghunikan 6 orang dan yang kami kunjungi ini menghunikan 9 orang. Karena Roemah Umas adalah sebuah panti jompo yang didirikan oleh Gereja Bethel Indonesia (GBI) Daan Mogot, kebanyakan lansia ditemukan oleh orang-orang gereja ataupun dari jemaat sendiri. Dari antara para lansia ini, ada yang keluarganya sibuk, bahkan ada yang tidak berkeluarga sama sekali.
Tiba-tiba, dari dalam kamar, keluar dua sosok nenek-nenek yang menggunakan kruk walker. Rambut mereka pendek dan berwarna putih, tubuh mereka kurus dan penuh kerut. Di saat inilah, kami mengenal sosok Oma Maryati yang membuat mata Winny sembab karena menangis penuh haru.
Maryati, atau kerap disapa Maria, sudah menginjak umur 73 tahun. Meski usianya tak lagi muda, kami bisa melihat senyumnya yang tetap ceria dan matanya yang masih menyinarkan semangat yang menyala-nyala. Di balik semangatnya yang masih membara, ia ternyata sudah puluhan tahun tidak berhubungan dengan anak perempuan satu-satunya.
ADVERTISEMENT
Dua tahun silam, tepatnya pada 2021, Maria dan suaminya mengalami kecelakaan motor yang tragis. Akibatnya, suaminya harus meninggalkan Maria karena kehilangan terlalu banyak darah. Penderitaan yang dirasakan olehnya tak hanya sebatas kehilangan pasangan hidup yang tercinta, tetapi ia juga kehilangan kemampuan berjalan dalam tragedi nahas itu.
Seolah belum cukup puas menertawakan Maria atas penderitaan yang dialaminya, takdir kembali menghujankan cobaan baginya. Baru ia sejenak merasa beruntung ia masih memiliki kakak iparnya yang bersedia menjaganya. Beberapa bulan setelah ditinggal sang suami, kakak iparnya yang menjadi penopang di sela kesedihannya itu malah menyusul suaminya di atas awan-awan yang putih dan permai.
Kini, Maria hanya memiliki istri dari kakak iparnya seorang. Namun, seakan menyalahkan Maria atas ketidakberuntungan yang mereka alami selama ini, istri kakak ipar Maria bersikap acuh tak acuh terhadap keberadaan Maria di rumah. Terkadang, Maria bisa tidak makan seharian. Ia bahkan pernah mengalami kelaparan selama dua hari berturut-turut.
ADVERTISEMENT
Di saat-saat seperti ini, tentunya Maria bertanya-tanya. Di manakah anaknya? Anaknya, yang seharusnya menjadi tumpuan harapannya, sibuk di Medan. Entah apa kabar dan kesibukannya. Ia tak pernah sekali pun mengabari Maria, ia bahkan tak tahu bahwa ayahnya sudah tutup usia.
Maria tak berdaya. Ia hanya bisa terus berusaha bertahan hidup dengan mengesot, mengelilingi rumah almarhum kakak iparnya itu, berusaha mengambil air dan makanan serta mandi. Rasanya ia sudah pasrah bila hari esok ia dipanggil Tuhan. Setidaknya, ia bisa bertemu dengan suaminya yang ia rindukan.
Namun, kehendak Tuhan berkata lain. Seorang jemaat GBI Daan Mogot membawa pengurus Roemah Umas kepada Maria. Ketika dijemput pengurus Roemah Umas, Maria terbaring lemah di lantai kamarnya yang berantakan. Kondisinya sangat buruk, ia sakit dan tak kuasa bangun dari lantai. Ia pun dibawa ke Roemah Umas dengan digendong oleh para pengurus.
Perubahan hidupnya sungguh terasa. Ia yang dulu malnutrisi, kini menyantap sarapan Havermout dengan lahap dan menikmati daging-dagingan lembut setiap harinya. Setiap hari, ia senam pagi sambil menikmati matahari pagi dengan teman-teman sebayanya di Roemah Umas. Kondisinya kian membaik. Ia yang dulunya kesepian tanpa teman bicara, kini bercengkrama dengan oma dan opa yang lain. Bahkan, setiap hari Rabu, ia dibawa ke gereja khusus lansia dan berkenalan dengan orang-orang baru. Awan kelabu yang menghujani takdir kehidupannya mulai memudar, menampakkan matahari yang malu-malu bersembunyi di baliknya.
ADVERTISEMENT
“Aku senang, di Roemah Umas banyak teman. Ini ada Yenny, Merry, Marta, dan Marsino,” jelas Maria dengan senyuman lembut di bibirnya.
Seiring dengan pemulihan kondisi kehidupan Maria, fisiknya pun ikut membaik. Tiga bulan setelah ia pertama kali menapakkan tumit kakinya di Roemah Umas, ia bisa berdiri. Bagaikan bayi yang belajar berjalan untuk pertama kalinya, ia melangkahkan kakinya setelah bertahun-tahun terbaring.
“Oma Maria ini jalan nggak ada terapi ke dokter. Dia punya kemauan untuk bisa pulih, semangatnya tinggi. Kami hanya bantu dia latihan berjalan saja di sini,” jelas Yuli.
Sekarang, Maria sudah bisa lancar berjalan. Ia bahkan terkadang jalan pagi bersama dengan Yuli. Tentunya, ia masih harus berjalan dengan dibantu kruk walker.
ADVERTISEMENT
“Saya berterima kasih sama Tuhan saya sudah diterima di Roemah Umas sehingga sampai saat ini, saya sudah sehat,” ucap Maria.
Tak bisa dimungkiri bahwa kesan pertama saya melihat bangunan Roemah Umas kurang baik. Bangunannya yang kurang meyakinkan merusak segala harapan terakhir yang saya panjatkan dalam hati bahwa stigma negatif saya tentang panti jompo bisa dihapuskan.
Meskipun begitu, sungguh meruntuhkan hati jika melihat para orang tua ini kesepian dan tak terurus. Mereka adalah jiwa-jiwa yang merindukan kehangatan dan kepedulian. Bagi mereka, panti jompo adalah satu-satunya tempat yang mereka bisa sebut rumah. Tempat yang menjadi pengganti keluarga, tempat mereka merasa aman dan diinginkan. Panti jompo mungkin dipandang sebelah mata dan tabu di masyarakat. Namun bagi mereka, Roemah Umas adalah segalanya.
ADVERTISEMENT
Saya sangat menyayangkan bila masih ada stigma negatif tentang menitipkan orang tua ke panti jompo. Bila kekuatan sudah tak lagi sanggup memelihara orang tua yang renta, panti jompo bisa menjadi alternatif pertama. Pasalnya, panti jompo tak hanya menyediakan pelayanan kesehatan yang lebih lanjut bagi kaum lansia, tetapi juga menjadi sarana para lansia untuk bisa beraktivitas dan membangun kehidupan sosial lansia yang sudah hilang karena tak lagi bisa banyak beraktivitas di luar.
Intinya, seperti namanya, Roemah Umas, semua kaum usia emas layak menerima perlakuan emas.