Inilah Penjelasan Kenapa Sindrom Gilbert Melemahkan Tubuh Jonas Folger

Katondio Bayumitra Wedya
Moslem. Author of Arsenal: Sebuah Panggung Kehidupan
Konten dari Pengguna
20 Januari 2018 15:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Katondio Bayumitra Wedya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pebalap Yamaha Tech 3, Jonas Folger. (Foto: MICHAL CIZEK / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Pebalap Yamaha Tech 3, Jonas Folger. (Foto: MICHAL CIZEK / AFP)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jonas Folger, pebalap MotoGP yang musim lalu menjadi salah satu andalan tim Monster Yamaha Tech 3, dipastikan tidak akan membela tim yang dipimpin oleh Hervé Poncharal tersebut untuk balapan musim 2018. Kondisi kesehatan pebalap asal Jerman tersebut menjadi alasannya. Hal tersebut juga sudah diutarakan sendiri oleh Folger melalui akun Twitter-nya (18/01). Betapa ia sendiri kecewa melewatkan kesempatan untuk beradu cepat di kelas bergengsi MotoGP untuk tahun keduanya.
ADVERTISEMENT
"Saya sangat sedih menuliskan ini, tetapi saya tidak akan membalap di MotoGP pada (tahun) 2018. Saya tidak membuat perkembangan (kondisi kesehatan) saya berharap saya bisa, dan pada tahap ini saya merasa tidak mampu untuk mengendarai mesin MotoGP. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang terlibat, tapi khususnya Tech3. Saya harap bisa kembali suatu hari nanti," tulis Folger di akun Twitter pribadinya.
Jonas Folger didiagnosis mengidap Sindrom Gilbert. Sebenarnya, penyakit tersebut sudah mulai mengganggu aktivitas balapnya di MotoGP sejak Oktober 2017 lalu, beberapa waktu jelang MotoGP Jepang di Sirkuit Motegi. Namun, diagnosis resmi sindrom gilbert baru diumumkan pada November 2017. Hal yang lebih mengejutkan adalah pernyataan Folger bahwa ia sebenarnya telah menderita penyakit tersebut sejak tahun 2011.
ADVERTISEMENT
"Saya telah hidup dengan kondisi (sindrom gilbert) ini sejak (tahun) 2011, tetapi saya selalu mampu untuk mengatasinya dan kami tidak pernah benar-benar tahu apa (penyakit) itu. Sangat disayangkan bahwa episode serius seperti itu yang akhirnya dapat mendiagnosis situasi (sebenarnya) tapi saya bersyukur kami sekarang memiliki beberapa jawaban," ungkap Folger.
Awal kenapa diagnosis itu dilakukan adalah karena pria yang sempat mengalami kecelakaan di FP3 MotoGP Aragon 2017 ini merasa tubuhnya melemah sejak di Motegi, kondisi kesehatan fisiknya terus menurun. Bahkan, Folger mengaku sempat mengalami 6 minggu yang berat karena tubuhnya benar-benar lemah tak berdaya, sehingga ia harus berbaring di tempat tidur. Ada spekulasi bahwa ia terjangkit virus Epstein-Barr. Namun, hasil pemeriksaan yang dilakukan di tanah kelahirannya, Jerman, menyebutkan bahwa benar ia terkena Sindrom Gilbert.
ADVERTISEMENT
Pebalap MotoGP memang dituntut memiliki energi dan tenaga yang cukup untuk dapat memacu motor MotoGP yang, berdasarkan regulasi tahun 2017, mesinnya dapat mencapai 1000 cc. Berdasarkan situs resmi MotoGP, berat motor untuk kelas MotoGP adalah sekitar 157 kg. Sindrom Gilbert yang melemahkan tubuh tentunya menghambat Folger untuk dapat mengendalikan motornya dengan baik. Jadi intinya, fisik pebalap harus prima dan bugar.
Sekarang, pertanyaannya: Apa sih Sindrom Gilbert itu? Dan kenapa orang bisa lemah karenanya?
Menurut Mayo Clinic, Sindrom Gilbert adalah kondisi hati yang umum dan tidak berbahaya dimana hati tidak dapat memproses bilirubin dengan benar. Sindrom gilbert menyebabkan jumlah bilirubin dalam darah meningkat (hiperbilirubinemia). Bilirubin adalah zat yang diproduksi ketika terjadi pemecahan sel darah merah, dan bilirubin ini bersifat toxic (racun).
ADVERTISEMENT
Genetics Home Reference (bagian dari National Institutes of Health Amerika Serikat) menjelaskan bahwa bilirubin seharusnya dibuang dari tubuh (lewat urin dan/atau feses) setelah melewati reaksi kimia di dalam hati, dimana peran hati adalah mengubah bentuk racun bilirubin menjadi bilirubin tak beracun (bilirubin terkonjugasi). Nah, bagi orang-orang yang mengalami sindrom gilbert, maka jumlah bilirubin tak terkonjugasinya (yang beracun) menjadi meningkat dalam darah. Namun, sindrom gilbert ini, walau tak boleh diremehkan, tetap tergolong gangguan hati ringan karena jarang penyakit ini dapat menyebabkan kulit dan mata menguning (jaundice).
Sindrom gilbert adalah jenis penyakit yang diturunkan lewat gen. Beberapa pengidap sindrom gilbert di dunia merasakan biasanya mengalami rasa tidak enak pada perut dan kelelahan. Sebagian yang lain tidak merasakan gejala apapun. Umumnya, para penderita mulai merasakan atau sadar akan gejala-gejala pada usia remaja karena pada usia ini produksi bilirubin meningkat pesat. Pada tahun 2017, usia Folger adalah 24 tahun dan pria kelahiran Muhldorf, Jerman, 13 Agustus 1993 tersebut mengatakan bahwa ia (merasa) sudah mengidap penyakit tersebut di tahun 2011, yang mana pada masa itu ia berusia 18 tahun. Maka dari itu, teori ini menjadi masuk akal, dan juga, menurut WebMD, sindrom gilbert baru benar-benar dapat terdiagnosis pada rentang usia 20-30-an. Faktor resiko lainnya adalah sindrom gilbert lebih rentan menyerang laki-laki.
ADVERTISEMENT
Hiperbilirubinemia itu dapat terjadi karena dipicu beberapa kondisi, di antaranya karena: stres, menstruasi (pada perempuan), penyakit infeksi (seperti flu), diet rendah kalori, kurang tidur, dehidrasi, dan olahraga berat. Dua kondisi pemicu yang saya sebutkan terakhir tentu erat kaitannya dengan Folger. Balapan sepeda motor, terutama kelas MotoGP, adalah tergolong olahraga berat. Bukan hanya karena resiko terjatuhnya saja tapi seperti yang saya bilang tadi, para pebalap harus mampu memacu motornya yang berat itu, sekencang dan selihai mungkin sampai belasan putaran atau lebih. Ditambah lagi, jika pemenuhan asupan cairan pra dan pasca balapan tidak mencukupi, maka dehidrasi dapat terjadi.
Lalu kenapa penyakit ini melemahkan tubuh? Begini, sindrom gilbert juga dapat dikatakan sebagai penyakit dimana tubuh kurang mampu membuang bilirubin yang berlebihan itu. Seperti yang tadi sudah dijelaskan bahwa bilirubin tak terkonjugasi itu bersifat racun dan jika terlalu banyak dalam aliran darah, maka dapat menghambat penyerapan zat gizi dan juga oksigen yang dibawa dalam darah.
ADVERTISEMENT
Hal ini dapat terjadi karena kadar bilirubin yang terlalu tinggi dapat menghambat produksi sel darah merah. Padahal, zat gizi dibawa untuk diserap oleh sel-sel tubuh melalui darah dan oksigen diangkut menuju sel-sel tubuh lewat bantuan hemoglobin yang terdapat pada sel darah merah. Umumnya, darah membawa zat gizi, diantaranya lemak dan karbohidrat yang merupakan sumber energi utama manusia. Dari aliran darah, zat-zat gizi tersebut akan diserap oleh sel-sel tubuh untuk kemudian dikonversi menjadi energi bagi sel tubuh yang efeknya adalah menjadi tenaga bagi kita dalam menjalankan aktivitas.
Oksigen juga dibutuhkan oleh sel-sel tubuh untuk memperlancar kinerjanya karena jika tak ada oksigen, maka sel tubuh akan mati, jika kekurangan oksigen maka zat-zat gizi tidak dapat dikonversi menjadi energi dengan baik alias terhambat. Kenapa terhambat? Ya karena terlalu banyak zat di dalam aliran darah yang dalam hal ini adalah bilirubin yang bersifat racun. Secara tidak langsung, kondisi ini juga akan menghambat reaksi oksidasi dalam sel tubuh (salah satunya mengonversi lemak menjadi energi).
ADVERTISEMENT
Ya mungkin segala teori di atas masih harus diteliti lebih lanjut lagi mengenai kebenaran korelasinya dengan sindrom gilbert, tetapi sudah banyak penelitian yang menunjukkan hasil yang berbanding lurus antara kelelahan dan sindrom gilbert.
Lalu, bagaimana penatalaksanaan dari penyakit sindrom gilbert ini? Karena ini penyakit yang diturunkan secara genetik maka tentu tak dapat disembuhkan. Menurut NHS UK, tidak ada yang perlu dimodifikasi dari diet harian dan aktivitas fisik penderita. Diet sehat tetap diharuskan, dan yang tak kalah penting adalah menjaga tubuh tidak mengalami dehidrasi dan stres.
Ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Jonas Folger, selaku atlet balap profesional, untuk dapat tampil lebih kompetitif ketika kondisinya sudah pulih 100% karena sindrom gilbert tetap tak menutup kemungkinan bagi para atlet untuk tetap menjalani profesinya.
ADVERTISEMENT