Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Jurnal Asian Games: Dukungan Penuh di Arena Akuatik
2 September 2018 16:32 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
Tulisan dari Katondio Bayumitra Wedya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penonton di Stadion Akuatik GBK (Foto: Okky Ardiansyah/kumparan)
Asian Games 2018 menjadi sebuah ajang kompetisi olahraga multi event besar dan berharga bagi bangsa Indonesia. Dalam kurun waktu kurang lebih 2 minggu selama penyelenggaraannya, sudah banyak momen bersejarah dan membanggakan tercipta.
ADVERTISEMENT
Total 98 medali dengan rincian 31 medali emas, 24 medali perak, dan 43 medali perunggu sukses dilahap kontingen Indonesia. Pencak silat menjadi cabang olahraga primadona dengan menjadi penyumbang medali terbanyak untuk Indonesia, yaitu 14 emas dan 1 perunggu dari total 16 medali emas yang diperebutkan.
Lewat prestasi dari cabang pencak silat pula lah, kita dapat melihat dua kandidat calon presiden 2019, Joko Widodo dan Prabowo Subianto saling berpelukan mesra. Untuk momen bersejarah yang satu itu, mari kita berterima kasih kepada Hanifan Yudani Kusumah, selaku peraih medali emas Pencak Silat untuk kelas C Putra (55-60 kg) karena keberaniannya menarik tangan dari Presiden Republik Indonesia dan Ketua Ikatan Pencak Silat Indonesia itu untuk kemudian berpelukan bersama.
Momen Prabowo dan Jokowi berpelukan. (Foto: Instagram/@prabowo)
ADVERTISEMENT
Kemudian, jika bicara kiprah Indonesia di ajang multi event, maka tidak mungkin melepaskan perbincangan terhadap cabang olahraga bulu tangkis. Total 8 medali dengan rincian 2 emas, 2 perak, dan 4 perunggu diraih Indonesia.
Bulu tangkis di Asian Games 2018 juga menjadi cabang olahraga yang menarik banyak animo publik, selain karena raihan medali, juga salah satunya karena ada momen mengharukan dari perjuangan sosok Anthony Sinisuka Ginting. Ginting yang bertanding melawan tunggal putra Tiongkok, Shi Yuqi, di nomor beregu putra harus jatuh bangun di set ketiga akibat cedera. Namun, Ginting yang sudah kesakitan dan tergopoh-gopoh tetap kekeuh melanjutkan pertandingan, walau pada akhirnya cedera tersebut tetap memaksanya untuk menyudahi pertandingan tersebut.
Belum lagi momen bersejarah all indonesian final di final ganda putra yang akhirnya dimenangkan oleh Kevin Sanjaya/Marcus Gideon setelah mengalahkan Fajar Alfian/Rian Ardianto dalam 3 set. Dan tak ketinggalan, momen Jonatan Christie yang melepas bajunya, bertelanjang dada, di semifinal dan final tunggal putra yang menyebabkan heboh nasional dan teriakkan histeris para kaum hawa.
ADVERTISEMENT
Masih banyak lagi momen-momen kebanggaan dan unik dari cabang olahraga lainnya. Ya, di tengah panasnya suasana politik dalam negeri, sehingga menimbulkan kerentanan bangsa ini terpecah belah, Asian Games masuk sebagai angin sejuk pembawa semangat persatuan. Asian Games menjadi pengingat bahwa kita masih bangsa yang satu. Tidak peduli mereka dari ras apa atau agama apa yang dipeluknya, dukungan untuk para atlet Indonesia akan terus mengalir.
Dan satu hal yang saya pribadi rasakan secara langsung selama menjalankan tugas di Arena Akuatik Gelora Bung Karno (GBK) adalah tidak peduli menang atau kalah, apalagi catatan sejarah, dukungan untuk para atlet Indonesia juga nyatanya akan tetap mengalir deras. Tahun 2018, memang target medali emas yang hanya 16 sudah terlampaui, dan Indonesia yang ditargetkan berada pada 10 besar klasemen, nyatanya sukses berada di urutan keempat.
Suasana Arena Akuatik GBK saat sedang tidak ada pertandingan (Foto: Katondio Bayumitra Wedya)
ADVERTISEMENT
Namun, target untuk kembali membawa pulang medali dari cabang olahraga akuatik (renang, renang artistik, polo air, dan loncat indah) gagal terpenuhi. Indonesia kembali nir medali (apa pun itu) setelah terakhir kali meraihnya pada Asian Games 1990 di Beijing, Tiongkok. Saat itu, Indonesia meraih 3 medali perunggu yang disumbangkan oleh atlet-atlet cabang renang, seperti Richard Sam Bera (100 meter gaya bebas putra), Wirmandi Sugriat (200 meter gaya dada putra), dan tim beregu putri untuk kategori gaya bebas 4 x 100 meter, yang terdiri dari Khim Tjia Fei, Meitri Widya Pangestika, Yen Yen Gunawan, dan Elfira Rosa Nasution.
Untuk cabang polo air, Indonesia pernah punya sejarah meraih medali dari 5 edisi Asian Games beruntun, yaitu tahun 1954 di Manila, 1958 di Tokyo, 1962 di Jakarta, 1966 dan 1970 di Bangkok. Prestasi terbaik datang di tahun 1962, kala Indonesia meraih medali perak, dan selain itu Indonesia meraih medali perunggu.
ADVERTISEMENT
Pemain Polo Air Indonesia Hanna Firdaus (kiri) berebut bola dengan pemain Thailand Nirawan Chompoopuen (kanan) (Foto: ANTARA FOTO/INASGOC/Andika Wahyu/Spt/18)
Satu-satunya medali emas yang pernah diraih Indonesia dari arena akuatik adalah dari cabang loncat indah Asian Games 1962 di Jakarta. Nama atlet putri yang menyumbangkan medali tersebut adalah Lanny Gumulya. Sementara itu, Indonesia belum pernah meraih medali apa pun dari cabang renang artistik.
Atas sederet fakta sejarah di atas, ternyata tetap tak menyurutkan dukungan suporter Indonesia terhadap atlet-atlet yang berjuang di cabang olahraga akuatik. Dari luar arena saja, saya dapat dengan jelas mendengar suara-suara teriakkan "IN-DO-NE-SIA!" layaknya di pertandingan bulu tangkis kala pertandingan renang, renang artistik, loncat indah, juga polo air sedang berlangsung.
ADVERTISEMENT
Ketika masuk ke dalam, waktu itu saya menonton pertandingan polo air, tepatnya antara Indonesia melawan Hong Kong, tingkah polah suporter tim nasional polo air Indonesia sudah sama persis, seperti suporter tim nasional sepak bola. Mereka bersorak, berteriak, dan bernyanyi, hingga menabuh drum. Saya dapat melihat orang dewasa, anak muda, bahkan anak kecil begitu antusias mendukung Indonesia. Salah satu sisi arena yang dipenuhi oleh suporter Indonesia menjadi lautan merah karena sebagian besar suporter kompak mengenakan baju berwarna merah, bendera merah putih dan spanduk bertuliskan semangat dukungan membentang.
Kemeriahan di arena akuatik polo air, Indonesia melawan Hong Kong (29/8/2018) (Foto: Katondio Bayumitra Wedya)
Saya kaget juga karena pada awal-awal, tidak begitu seramai itu saat Indonesia bertanding tapi semakin mendekati akhir penyelenggaraan Asian Games 2018, malah bertambah semakin banyak suporter Indonesia di arena akuatik. Maksud saya begini, polo air dan cabang olahraga akuatik lainnya bukan cabang olahraga yang menjadi tradisi pendulang medali bagi Indonesia di ajang multi event. Akan tetapi, semangat, cinta, dan dukungan yang diberikan suporter Indonesia tidak setengah-setengah. Mereka tidak peduli, mau kalah atau menang (walau di dalam hati tentu berharap menang), tetapi prinsipnya adalah tetap mendukung sepenuh hati.
ADVERTISEMENT
Tak pelak saya percaya, olahraga apa pun itu, bagaimana pun sejarah prestasinya, dapat menjadi alat pemersatu bangsa Indonesia. Dukungan yang deras mengalir ini semoga bisa menjadi perhatian pemerintah untuk sekiranya dapat membenahi prestasi dari cabang olahraga akuatik. Apalagi, Presiden Joko Widodo juga sempat mengunjugi arena akuatik GBK kala atlet Indonesia tengah bertanding.
Meski kalah, tim polo air putri Indonesia tetap mendapat dukungan (Foto: Katondio Bayumitra Wedya)
Cabang olahraga akuatik adalah beberapa dari sekian cabang olahraga khas olimpiade. Sederet prestasi medali yang sudah susah payah diraih Indonesia di ajang Asian Games 2018 tetap mendapat sindiran dari pihak luar. Haters pasti ada saja.
Katanya, Indonesia bisa meraih banyak medali, terutama emas, gara-gara banyak ajang olahraga non-olimpiade yang dipertandingkan. Terserah apa kata mereka karena apa pun cabang olahraganya, atlet-atlet Indonesia sudah bekerja keras dan memberi kebanggaan, sementara itu mereka kalah. Akan tetapi, jika benar Indonesia ingin menjadi Macan Asia di ajang olahraga, ada baiknya memang ada keseriusan dalam meningkatkan prestasi di cabang-cabang khas olimpiade, seperti akuatik dan atletik.
Final renang gaya kupu-kupu putri (Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)
ADVERTISEMENT
Bayangkan, tak dapat medali sekali pun, masyarakat Indonesia amat antusias mendukung atlet-atletnya. Apalagi kalau mampu memenangkan medali, bukan? Akan ada banyak lagi cerita dan momen-momen unik yang semakin mempererat persatuan bangsa Indonesia. Jika dengan sejarah prestasi ala kadarnya, masyarakat Indonesia sudi mendukung dengan setulus hati, maka kenapa tidak dengan pemerintah? Dukungan dapat berupa perbaikan gizi, pengembangan metode latihan, pendanaan, dan lain sebagainya.
Dengan begitu, kita dapat semakin lantang menjawab ketika ada yang bertanya, "Siapa kita?", lalu kita jawab berjamaah, "Indonesia!"