Konten dari Pengguna

Kisah Cari Makanan Halal di Inggris: Hidayah dari Tak Sengaja Makan Babi

Katondio Bayumitra Wedya
Moslem. Author of Arsenal: Sebuah Panggung Kehidupan
8 April 2022 13:38 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Katondio Bayumitra Wedya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi masjid di Inggris. Foto: Juan Manuel Aparicio Diez/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi masjid di Inggris. Foto: Juan Manuel Aparicio Diez/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Inggris adalah negara yang menjadi destinasi kunjungan turis mancanegara. Alasan turis ke Inggris beragam, ada yang wisata sejarah, wisata olahraga, wisata kesenian, menang tiket doorprize, dan lain sebagainya. Ada pula yang memutuskan untuk menetap, entah karena urusan pekerjaan, ataupun studi pendidikan.
ADVERTISEMENT
Dengan konsekuensi menjadi bagian dari masyarakat minoritas di Inggris, kaum muslim tak surut nyali menetap di Inggris untuk tujuan bekerja, maupun kuliah. Namun, tantangan terbesarnya adalah mencari makanan halal. Tidak mudah dan butuh perjuangan untuk mencari makanan halal di sana.
Salah satu rekan penulis, dengan inisial AFZ, pernah merantau di Birmingham, Inggris, pada 2017. Ia adalah mahasiswa S2, tepatnya untuk studi gelar MSc Occupational Health di Institute of Occupational and Environmental Medicine, di University of Birmingham.
Pada 11 Februari 2017, saya mewawancarainya perihal perjuangannya mencari makanan halal. Seperti apa kisahnya? Silakan disimak.
University of Birmingham. Foto: Facebook/unibirmingham
Kisahnya diawali dengan teriak dan tangis bahagia yang pecah ketika pengumuman beasiswa LPDP pada suatu hari di Agustus 2016. Bagaimana tidak? Setelah menempuh berbagai ikhtiar dan doa, akhirnya AFZ dapat diterima di universitas dan jurusan impiannya.
ADVERTISEMENT
Keluarganya pun merestui, tetapi juga tak lupa berpesan, mewanti-wanti. Salah satu yang menjadi topik pembicaraan adalah makanan halal.

PERIODE 1-2 BULAN PERTAMA

Layaknya orang Indonesia pada umumnya yang hendak merantau ke negeri orang, AFZ pun membawa perbekalannya sendiri, seperti abon dan mi instan. Pokoknya, yang kira-kira dapat dimakan saat keadaan darurat, ketika sulit mendapatkan makanan halal.
Namun, ada sedikit berita menggembirakan tentang Birmingham. Kota tempat bersemayamnya klub sepak bola Aston Villa FC dan Birmingham City FC itu adalah kota dengan populasi muslim kedua terbesar di Inggris, sedangkan yang pertama adalah London. AFZ berasumsi akan banyak makanan halal di sana.
Sesampainya di Birmingham, fakta yang didapatkan adalah ternyata sebagian besar dari restoran berlabel halal di kota itu dan sebagian besar kota-kota di Inggris biasanya dimiliki oleh 'orang-orang IPB'. Apa itu IPB? Sebuah singkatan dari (I)ndia, (P)akistan, dan (B)angladesh.
ADVERTISEMENT
Atau istilah lainnya, 'Restoran Kurdish'. beberapa nama restoran Kurdish halal di daerah tersebut adalah 'Rooster' dan 'Dixy'.
Restoran-restoran tersebut mudah ditemukan di sekitar tempat kosnya, yang merupakan daerah perumahan mahasiswa dari berbagai mancanegara. Tepatnya, nama daerah tersebut adalah Selly Oak.
Ciri khas dari restoran-restoran yang dimiliki orang-orang IPB adalah menjual menu fried chicken, kentang goreng, burger, chicken strip, chicken wings, dan lain sebagainya. Selain itu, ada juga restoran ala Turki. Untuk kafetaria di dalam kampusnya, tidak ada label halal alias menunya bercampur dengan yang tidak halal.
Ilustrasi kentang goreng. Foto: Shutterstock
Pada bulan pertama dan kedua dirinya menetap di Inggris, ada cerita menarik yang melibatkan AFZ dengan sebuah restoran Chinese di Birmingham. Itu adalah restoran yang sangat sering dikunjungi mahasiswa-mahasiswa yang tinggal di Birmingham, dan warga Birmingham pada umumnya, tak terkecuali orang-orang muslim.
ADVERTISEMENT
Harganya terjangkau dan rasanya memang enak. Bahkan, restoran tersebut sampai direkomendasikan oleh bapak-bapak Indonesia, yang juga seorang muslim, sebut saja namanya 'Pak T'.
Namun, tiba-tiba muncul rasa bimbang kala melihat terdapat menu babi di daftar menunya. AFZ yang kala itu masih agak bingung perihal konsep makanan halal-haram dalam Islam, akhirnya memutuskan untuk tetap makan di sana, dan menu pertamanya adalah nasi goreng udang.
Ilustrasi dapur restoran Foto: Shutter Stock
Ia bertanya kepada pelayan sebelum memesan, ”[Menu] ini pakai babi enggak?"
Pelayannya menjawab, "tidak".
Tetap masih ada rasa was-was dalam benak AFZ karena pelayan tersebut tampak tidak begitu fasih berbahasa Inggris. Akan tetapi, jawaban si pelayan, setidaknya, dapat membuat AFZ sedikit merasa aman untuk tetap makan di sana.
ADVERTISEMENT
Pada saat hari terakhir kalinya ke sana, AFZ mencicipi salah satu menu yang direkomendasikan oleh Pak T. Waktu itu, ia tidak sendirian, melainkan bersama teman sesama muslimnya yang lain. Temannya pun bertanya, "Itu halal ya?"
AFZ hanya dapat menjawab, "Enggak tahu deh, kayaknya halal, soalnya direkomendasi oleh Pak T sih, hehe".
Menurut penuturan AFZ, saat masa-masa 1-2 bulan pertama di Inggris, hal semacam ini kerap terjadi. Ia dan beberapa rekannya, yang beberapa di antaranya sesama muslim, jika jalan-jalan ke kota lain jarang memperhatikan ada atau tidaknya label halal pada restoran yang akan mereka masuki.
“Kayak restoran pizza, masuk ya masuk aja. karena dulu prinsipnya adalah kalau ada babi, ya sudah, yang penting kami enggak pesan itu dan bilang bahwa kami muslim dan enggak pesan makan yang ada kandungan itu, berarti halal. Dulu, kami mikirnya gitu,” kata AFZ.
ADVERTISEMENT
Kemudian, ada cerita menarik mengenai supermarket di sekitar tempat tinggalnya, Tesco, yang merupakan salah satu franchise supermarket dengan butcher di dalamnya. Jadi, mereka menjual bahan makanan mentah. AFZ biasa membeli ayam mentah di sana.
Ilustrasi Tesco. Foto: Unsplash/Shashank Verma
Uniknya, di kota lain, franchise Tesco tersebut memiliki ayam bersertifikasi halal, tetapi tidak dengan franchise di Kota Birmingham tersebut. Alhasil, AFZ tidak pernah membeli ayam dalam jumlah banyak.
Untuk beef (daging sapi), AFZ malah terkesan menghindari, ”Gua menghindari beef karena memang gua enggak terlalu suka dan takut aja sih, takut dimanipulasi. Jadi, paling gua lebih sering beli ikan, udang, dan seafood. Kalau seafood kan pasti halal”.
“Intinya bulan 1 dan 2 itu, gua kalau mau makan, ya makan aja. Tidak melihat label halal, makan dengan prinsip asalkan tidak pesan babi. Jika di restoran itu ada menu babi, cukup bilang 'Kita muslim dan kita enggak makan babi'. Udah selesai. Aman. Termasuk juga tidak memperhatikan daging yang dijual para butcher. Prinsip halal atau tidaknya hanya melihat pada babi,” lanjut AFZ.
ADVERTISEMENT

PERIODE BULAN KE-3 DAN KE-4

Memasuki bulan ke-3 dan ke-4, awalnya, AFZ masih seperti di bulan pertama dan ke-2. Pengalaman menarik yang mengubah cara pandang dan pola pikirnya tentang makanan halal terjadi di Desember 2016. Saat itu, ia bersama pacarnya dan 3 orang teman perempuannya pergi ke Edinburgh, Skotlandia.
Saat itu, malam telah larut dan kondisi perut sedang sangat lapar. Mereka memutuskan masuk ke sebuah restoran Chinese. Di restoran yang mereka masuki itu, menunya memakai huruf China. Ada juga sih terjemahan Bahasa Inggris-nya, tetapi tetap tidak membantu untuk mengetahui apa saja bahan-bahan makanannya.
AFZ dan 3 orang teman perempuannya memesan sup tanpa daging, sedangkan pacar dari AFZ memesan menu bernama 'Singapore Fried Rice'. Ada yang aneh di pandangan AFZ kala melihat sang kekasih menyisihkan ‘sesuatu’ dari piringnya. Itu semacam daging.
ADVERTISEMENT
"Kenapa enggak dimakan? enggak suka?" tanya AFZ sambil menyemili udang di dalam nasi goreng pacarnya.
"Hmm... enggak tahu, kayaknya ada yang aneh,” jawab sang pacar, yang kita sebut saja FRD.
Satu hal yang memberi sedikit pengetahuan kepada AFZ untuk urusan perdagingan adalah ia suka nonton reality show Masterchef US. Kebanyakan menu di acara itu menggunakan daging babi. Jadi, AFZ tahu banget serat dan bentuk daging babi. Mulai timbul rasa curiga ketika AFZ semakin memperhatikan daging itu.
Ilustrasi Daging Babi Foto: Thinkstock
"Setop deh makannya. Berhenti. Coba tanya dulu ini apa," kata AFZ pada pacarnya.
"Di menunya sih nasi sama udang doang," jawab FRD.
AFZ pun berinisiatif memanggil pelayan dan bertanya dalam Bahasa Inggris mengenai daging yang ada di piring makan FRD. Si pelayan yang terlihat tidak begitu paham bahasa Inggris pun menjawab dengan agak terbata-bata, ”Beef”.
ADVERTISEMENT
Oh sh*t.
Mereka langsung syok setengah mati. Kalimat istigfar mengalir ratusan kali. Kondisinya, FRD sudah memakan sedikit daging tersebut secara tidak sengaja. Begitu juga AFZ, walaupun makan udang saja, minyak dan lemak babinya ada kemungkinan turut tercampur.
Kejadian tersebut membuat AFZ dan FRD berinisiatif untuk melakukan konsultasi ke salah seorang ustaz. Sang ustaz berkata bahwa yang harus dilakukan adalah banyak-banyak istigfar dan segera bertobat.
"Walaupun kondisinya tidak sengaja termakan, tetap harus tobat dan introspeksi diri karena daging babi itu sudah telanjur masuk ke tubuh, dan secara tidak langsung, telah menjadi bagian dari daging kita. Dosanya nempel dan dibawa ke mana-mana," ujar AFZ.
Ilustrasi berdoa. Foto: Shutter Stock
Berikut ini adalah nasihat dari sang ustaz kepada AFZ:
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Terakhir, AFZ bertanya, ”Bagaimana jika hanya restoran itu (tidak berlabel halal) yang sedang buka dan tidak menemukan halal places?”
Sang ustaz menuturkan bahwa itulah yang disebut perjuangan seorang muslim. Ketika seseorang mencari makanan halal, tetapi rasanya sulit sekali, maka perjuangan mencarinya dapat menjadi pelebur dosa. Entah dosa yang mana, hanya Allah yang tahu. Memang seperti itulah jalannya. Intinya, dapat menggugurkan dosa kalau kita tetap kekeh, "pokoknya harus makanan halal!"
Ilustrasi muslim salat. Foto: Shutter Stock
Besoknya, mereka berlima jalan-jalan lagi. Kali ini, di daerah Roya Mile, dan kelaparan (lagi). Tiga teman perempuan AFZ memutuskan makan di restoran sekitar tempat daerah tersebut, meski tidak berlogo halal. AFZ dan FRD, berbekal pengalaman pada malam sebelumnya dan penuturan ustaz, menolak makan di tempat itu.
ADVERTISEMENT
Beh, Ton itu pertama kalinya orang udah kelaparan banget dan tempat makanan halal jauh banget, 40 menit jalan kaki. Ada sih yang deket, 15 menit jalan kaki, tetapi tutup semua," tutur AFZ.
"Jadi, kalau di Inggris, tempat makan atau mal ada jam-jam beroperasinya sendiri, enggak kayak di Indonesia dari pagi sampai malam banget masih buka. Di Inggris, jam 12 dan jam 1 baru buka. Atau jam 10 buka, terus jam 8 tutup. Kalau weekend jam 4 udah tutup,” jelasnya.
Aplikasi MuslimPro, yang biasa mereka manfaatkan untuk mencari tempat makan halal, pada hari itu, tak bisa membantu banyak. Bayangkan, 6-7 restoran yang direkomendasikan aplikasi tersebut semuanya tutup. Hal yang membuat perjalanan mereka terasa berat dan penuh perjuangan adalah jalanan Edinburgh yang bentuknya naik-turun, tanjakan-turunan, tebing, dan bukit-bukit.
Panorama Edinburgh Clock Tower di Malam Hari Foto: Shutter Stock
Akhirnya, di restoran ke-8 yang mereka kunjungi, mereka menjumpai restoran Kurdish, yang menjual menu fried chicken, kentang goreng, burger, nasi briyani, dan kebab. AFZ yang semula kecewa karena restoran yang dijumpai bukanlah restoran yang ia harapkan, berubah 180 derajat menjadi takjub.
ADVERTISEMENT
"Gua merasa sangat bersyukur karena setelah menempuh perjalanan yang jauh banget, lapar, haus tetapi dengan niat benar-benar mencari makanan halal sesuai ajaran Islam, akhirnya, gua menemukan restoran ‘fried chicken ala-ala’ yang rasanya 3 kali lebih enak dari yang biasanya sering gua beli. Pelayannya juga ramah banget dan kita dikasih bonus lebih banyak di kentangnya”, lanjutnya penuh syukur.
Juga sebenarnya, destinasi perjalanan mereka selanjutnya adalah University of Edinburgh, yang hanya 5 menit dari restoran Kurdish itu. Pelajaran yang didapat AFZ dan FRD hari itu adalah setelah penuh perjuangan mencari makanan halal, diiringi niat karena Allah SWT., maka ketika menemukannya, rasa makanannya dapat terasa 3 kali lebih nikmat dari biasanya.

PERIODE BULAN KE-5 DAN KE-6

Setelah mengalami pengalaman berharga tersebut, AFZ semakin bersemangat meluruskan niatnya hanya mengonsumsi makanan yang dijamin kehalalannya. Ia juga bercerita bahwa, sebenarnya, di Birmingham ada supermarket halal bernama "Al Halal".
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, jaraknya sangat jauh dari kosan AFZ. Perlu waktu 56 menit dengan kendaraan umum, seperti bus. Juga, harus jalan kaki ke bus stop selama 14 menit, baru kemudian naik bus, transit, lalu sambung bus lagi. Opsi lain adalah naik kereta dengan 4 kali transit.
AFZ juga bercerita bahwa ia juga terbilang sering mengunjungi Kota Sheffield, kota tempat FRD berkuliah.
“Gua pulangnya kalau enggak Sabtu, ya, Minggu. Sistem kuliah gua one week on, one week off. Kalau lagi engak kuliah, gua ke sana. Kalau pulang Sabtu, gua belanja dulu di Tesco Sheffield untuk beli daging ayam berlogo halal. Itu ada di sekitar kampus cowok gua," bebernya.
"Atau kalau mau, di daerah perkotaan Sheffield juga banyak yang jual daging halal. Jadi, gua selalu beli stok ayam di hari sabtu untuk bekal gua ke depannya selama kuliah dan makan malam. Kalau gua enggak sempat ke sana, biasanya gua beli seafood mentah di supermarket mana pun karena sudah pasti halal,” ujar AFZ.
ADVERTISEMENT
Belanja di supermarket pun harus lebih jeli ketika membeli produk makanan kemasan, terutama masalah gelatin. Kita harus membaca dengan cermat label pangan pada kemasan dapat menjadi solusi.
”Janganlah kita sampai membeli makanan tanpa mempertimbangkan halal atau tidaknya makanan tersebut. Ada tidaknya kandungan babi bukan satu-satunya patokan. Orang pemilik dan pelayan restoran, toko, supermarket belum tentu mau jujur dan paham ajaran Islam,” pesan terakhir AFZ.
Akhirnya, sejak bulan ke-6, AFZ lebih suka masak sendiri daripada beli makanan jadi. Selain karena bisa memastikan kehalalannya, masak sendiri juga lebih hemat.
------
Tulisan ini adalah remastered dari tulisan saya yang pernah naik di blog pribadi pada 2017.