Konten dari Pengguna

Nasi Kepal dan Kopi Kalengan

Katondio Bayumitra Wedya
Moslem. Author of Arsenal: Sebuah Panggung Kehidupan
19 Januari 2022 16:03 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Katondio Bayumitra Wedya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Onigiri. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Onigiri. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Aku terkejut kau suka minum kopi kalengan dengan nasi kepal (onigiri)."
ADVERTISEMENT
"Ini tak cocok, tetapi aku meminumnya karena ini yang tersisa. Itulah inti kehidupan, kan?"
Saya masih lanjut menonton serial Life's Punchline di Netflix. Itu adalah contoh dialog antara dua karakter yang membuat saya merenung di hari ini. Asli, salah satu sebab saya suka serial Jepang satu ini karena ada beberapa pelajaran atau renungan kehidupan yang bisa diambil.
Karakter yang mengibaratkan makan nasi kepal dan minum kopi kalengan dalam satu waktu sebagai inti kehidupan itu tak menjabarkan makna ucapannya. Mungkin itu hebatnya drama ini, penulis skenario dan sutradaranya seolah menyuruh penonton menafsirkannya sendiri sambil menonton adegan demi adegan berikutnya.
Kalau saya pribadi, sih, tampaknya sedikit mengerti tentang makna dari dialog tersebut. Jadi, sepertinya bukanlah hal lumrah bagi orang Jepang untuk makan nasi kepal dengan kopi kalengan. Enggak nyambung.
ADVERTISEMENT
Ibaratnya seperti jika ada orang Indonesia yang makan spaghetti, tetapi minumnya jamu atau minuman sari kunyit asam. Enggak nyambung.
Namun, boleh jadi cuma itu yang tersedia di minimarket. Bisa saja hanya itu yang tersisa di dapur. Tidak ada pilihan lain. Kalaupun ada pilihan lain, barangkali kombinasinya menjadi lebih aneh atau kita tidak suka.
Kadang hidup begitu, kan? Pilihan yang kita ambil karena itulah yang ada dan/atau lebih mending dari opsi yang lain.
Ilustrasi kopi hitam. Foto: Toshiko/kumparan
Saya jadi ingat sewaktu masih kerja di bank dulu. Saya menjadi petugas customer service, sebuah jabatan 'kelas bawah' yang menurut atasan-atasan dan rekan kerja saya tak semestinya diambil oleh alumnus dari perguruan tinggi ternama.
Saya dari Universitas Indonesia dan waktu itu ada teman saya lagi dari Universitas Brawijaya yang melamar sebagai petugas customer service. Setiap kami ditanya "lulusan mana?" dan kami menjawab nama kampus kami masing-masing, orang-orang di kantor selalu heran, "Kok, kalian mau jadi customer service doang?"
ADVERTISEMENT
Sebab, menurut mereka, kami harusnya melamar ke Management Trainee (MT/program fast track karier yang membuat kita bisa langsung jadi manajer dalam waktu minimal 2 tahun). Petugas customer service biasanya untuk alumni dari perguruan tinggi swasta 'biasa'.
Namun, mau bagaimana lagi? Karena cuma itu pilihan yang tersisa buat saya dan rekan saya waktu itu.
Saya lebih parah. Teman saya itu kalau tidak salah lulusan dari jurusan kuliah manajemen, sedangkan saya dari bidang kesehatan. Orang akan dua kali lebih heran ketika saya memutuskan bekerja di bank.
Namun, mau bagaimana lagi? Karena cuma itu pilihan yang tersisa dan mungkin saya pikir yang terbaik dibanding lainnya buat saya waktu itu.
Ingatan saya lalu mundur ke masa kelas tiga SMA, saat saya sedang di momen-momen persiapan menuju ke perguruan tinggi. Ada satu waktu, saya secara tidak sengaja bertemu lagi dengan teman dari SMP. Dia mau main ke rumah saya waktu itu.
ADVERTISEMENT
Saya tahu, dia dulu pintar matematika. Namun, saya cukup kaget saat di rumah saya, dia bilang, "Ton, gua udah enggak jago matematika. Ilmu gua udah hilang. Gua sekarang di SMK, habis lulus langsung kerja, enggak kuliah".
Saya tidak tahu, sih, kenapa dia memilih opsi itu pada waktu itu. Diri muda saya waktu itu agak tak terima karena dia seperti mudah menyerah.
Namun, seiring berjalannya waktu, saya paham. Barangkali, itu adalah opsi realistis yang tersisa baginya. Belum tentu dia suka, tetapi adanya itu. Ya, begitulah kehidupan. (19/365)