Perlukah Manusia 'Memanusiakan' Hewan?

Katondio Bayumitra Wedya
Moslem. Author of Arsenal: Sebuah Panggung Kehidupan
Konten dari Pengguna
6 Februari 2020 21:13 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Katondio Bayumitra Wedya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kucing. Foto: Pixabay/wilkernet
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kucing. Foto: Pixabay/wilkernet
ADVERTISEMENT
Beberapa hari lalu, ada sebuah berita yang membuat gua geleng-geleng kepala. Itu adalah berita tentang ikan arwana 'raksasa' asal Sungai Amazon di Batam yang mati, lalu dikuburkan oleh pemiliknya.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, sebelum dikubur, ikan arwana itu.... Dikafani terlebih dahulu. Iya, dikafani laiknya manusia muslim yang wafat, baru setelah itu dikubur.
Maksud gua, ngapain, sih? Memang, sih, ikan arwana Arapaima gigas itu besar sekali: Panjangnya 2,34 meter, beratnya lebih dari 150 kilogram. Sepintas, tampak seperti manusia kalau dikafani.
Namun tetap saja, itu 'kan bukan manusia. Setahu gua, tidak ada ajaran dalam Islam untuk 'memuliakan' hewan sampai sebegitunya --dikubur dalam keadaan dikafani ketika mati.
Well, entah apa alasan si pemelihara sampai harus melakukan itu. Yang pasti, dia mengaku sedih karena arwana kesayangannya itu mati.
Hmm... Gua, sih, enggak punya hewan peliharaan, ya. Jadi, mohon maaf kalau gua enggak bisa memahami perasaan kalian yang begitu mencintai hewan peliharaan.
ADVERTISEMENT
Cuma menurut gua, rasa cinta manusia kepada hewan itu enggak bisa sama seperti rasa cinta manusia ke sesama manusia. Bagi gua, biarlah hewan-hewan itu hidup dan mati dengan cara sebagaimana kodratnya.
Iya, gua paham bahwa manusia harus memuliakan makhluk Tuhan lainnya, termasuk ikan arwana. Namun kayaknya.... Enggak sampai kalau mati mesti dikafani, deh.
Ilustrasi arwana. Foto: Pixabay/zoosnow
Kisah soal arwana dikafani tadi membuat gua teringat dengan perilaku manusia 'memanusiakan' hewan lainnya. Konteks 'memanusiakan' hewan di sini adalah menganggap hewan itu laiknya manusia, sehingga layak diperlakukan seperti manusia.
Ini gua menyaksikannya sendiri. Pada suatu siang di bulan Ramadan (lupa tahun berapa), gua sedang duduk di kursi di taman kampus gua. Nah, enggak jauh dari tempat gua duduk, tiba-tiba datanglah dua kucing. Lalu, mereka.... Kawin.
ADVERTISEMENT
Agak mengganggu sebenarnya, karena kalian tahu sendirilah kucing kalau kawin itu suka mengeluarkan suara 'aneh'. Sempat pengin gua usir, tetapi enggak jadi. Sebab gua pikir, ah, biarlah kucing itu 'bersenang-senang'.
Akan tetapi, sekitar 1,5 menit berselang, datanglah orang lain dan dia juga melihat aktivitas skidipapap dua kucing itu. Apa yang dilakukannya?
Orang itu mengusir dua kucing itu sambil berteriak, "WOY! BULAN PUASA! ENGGAK BOLEH KAWIN SIANG-SIANG!"
Kata gua, lah.... Kucing mah bebas kali. Enggak terikat aturan Ramadan. Aya-aya wae manusia ini.
Ilustrasi kucing. Foto: Pixabay/susannp4
Kisah lain, masih soal kucing. Kalau ini cerita dari teman sejurusan gua sendiri. Jadi, pernah dalam suatu perjalanan pulang ke rumah, dia melihat seekor kucing betina 'dikeroyok' oleh sekumpulan kucing jantan.
ADVERTISEMENT
Kayaknya, sih, para kucing jantan itu hendak mengawini si betina. Itu insting teman gua, sih.
Dan kalian tahu apa yang teman gua lakukan? Dia membubarkan 'pertemuan' kucing-kucing itu, "HUSH! HUSH! HUSH!"
Terus gua tanya, "Lu kenapa melakukan itu?"
"KARENA GUA YAKIN AKAN TERJADI PEMERKOSAAN, TON! GUA SEBAGAI CEWEK TIDAK BISA MEMBIARKANNYA!"
Oke..... Siap. Terserah lu saja.
Ilustrasi kucing. Foto: Unsplash/centelm
Satu cerita lagi. Lagi-lagi tentang kucing. Kali ini, emak gua yang punya pengalaman dengan hewan berbulu itu.
Sekali lagi gua tekankan, kami sekeluarga enggak pernah memelihara kucing, anjing, atau hewan mamalia berkaki empat lainnya. Jadi, kami enggak ada yang tahu bagaimana cara berinteraksi dengan mereka, termasuk kucing.
Nah, tante gua memelihara kucing. Suatu hari, gua dan emak gua main ke rumahnya. Ada suatu momen ketika gua lagi salat di kamar anaknya tante gua, eh, tahu-tahu ada kucing datang mendekat.
ADVERTISEMENT
Melihat itu, emak gua yang lagi di luar tahu-tahu bersuara. "Hei, jangan ke situ! Lagi ada orang salat!" katanya seraya menutup pintu kamar dari luar.
Dari situ, gua sudah merasa aneh dengan sikap emak gua terhadap kucing berbulu putih itu. Maksud gua, emak gua 'kan bisa saja menutup pintu tanpa perlu mengucapkan kalimat itu ke si kucing. Buat apa juga?
Mirip kayak beginilah kucingnya. Foto: Unsplash/arastuq
Akan tetapi, hal yang paling absurd terjadi. Ini gua sudah kelar salat. Sedang duduk-duduk di ruang tamu lantai dua. Kasur tempat gua duduk menempel dengan jendela yang terbuka.
Nah, itu kucing, jalan dengan perlahan, kutik-kutik-kutik, ke arah jendela. Emak gua yang berdiri tak jauh dari jendela (sekitar empat langkah) melihat pergerakan kucing itu.
ADVERTISEMENT
Dia tahu, nih, ini kucing pengin lompat keluar jendela. Namun, dia tidak mau hal itu terjadi.
Lantas, apa yang dilakukan emak gua? Itu kucing.... Diteriakin, lho, sama emak gua...,"WEY! ENGGAK BOLEH KELUAR JENDELA! AYO SINI BALIK!"
Ya Allah, ma. Itu kucing. Bukan anak bocah manusia.....
Lantas, apa yang terjadi selanjutnya? Ya, kucing itu..... Beneran lompat. Keluar jendela. Terus emak gua panik sendiri. Ampun, deh.
Sebetulnya, gua bisa saja mencegah agar kucing itu enggak keluar jendela. Tinggal gua angkat dan jauhkan dari jendela. Dan memang itu yang mestinya dilakukan!
Namun, kenapa gua enggak melakukan itu? Karena gua penasaran, apakah ini kucing bisa paham instruksi dengan bahasa manusia atau tidak.
ADVERTISEMENT
Soalnya, kucing tante gua itu pintar. Dia bisa berak sendiri di WC --walau enggak disiram. Namun ternyata, untuk kasus lompat dari jendela, kucing itu enggak mengerti. Huft.
Dari kisah-kisah di atas, gua mempertanyakan kepada diri gua sendiri (juga ke kalian), sebenarnya, perlu, enggak, sih, kita memperlakukan hewan laiknya manusia?