Surat Terbuka untuk Kamu yang Sebatas Lewat

Katondio Bayumitra Wedya
Moslem. Author of Arsenal: Sebuah Panggung Kehidupan
Konten dari Pengguna
2 Desember 2019 8:06 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Katondio Bayumitra Wedya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sepucuk surat untukmu yang kurindu. Foto: Unsplash/@hudsoncrafted
zoom-in-whitePerbesar
Sepucuk surat untukmu yang kurindu. Foto: Unsplash/@hudsoncrafted
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Aku tidak ingat bagaimana awalnya. Inilah derita seorang pelupa yang paripurna. Kala coba kembali mengingat sosokmu yang hadir pada suatu masa.
ADVERTISEMENT
Satu hal yang pasti, pertemuan itu tak pernah jadi rencana kita berdua. Tiba-tiba saja. Sudah jadi kehendak Tuhan Penguasa Semesta.
Di sebuah tenda sederhana. Di hadapan gelanggang yang menjulang gagah dan membentang megah. Di bawah sinar sang surya. Di antara manusia yang menjaja jatah dan berjalan merejah.
Stadion Akuatik, GBK, Jakarta. Di sinilah pertemuan kita terlaksana. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Awalnya, bagiku kamu tampak biasa saja. Dengan rekan seprofesimu, kamu seolah tiada beda. Tugasmu pun sama: Mempromosikan riba.
Tenang, aku tak akan menuduhmu sebagai pendosa. Sebab, kita saat itu terjebak dalam kubangan yang sama. Kita tak punya pilihan. Kecuali bertahan.
Menjaga mimpi meski di sudut gelap dunia sekalipun. Foto: Unsplash/@larm
Singkat cerita, kita lalu saling menyapa. Bertanya nama, bertukar kata, berbalas cerita. Ihwal sepak bola, asa, hingga cita-cita. Ya, ya, ya, kita juga sempat berbincang soal pekerjaan yang melelahkan raga dan memuakkan jiwa.
ADVERTISEMENT
Buat sosok introvert sepertiku, kamu cukup spesial. Membuatku sekarang jadi rindu, alih-alih sebal.
Sebab, tidak banyak perempuan yang betah saat kuajak berkisah soal sepak bola. "Bosan," kata mereka. "Enggak ngerti," ujar mereka.
Oh, iya. Ketika menulis cerita ini, aku juga sambil nonton laga sepak bola. Laga Premier League yang disiarkan TV milik negara.
Liverpool kontra Brighton & Hove Albion. Menarik ditonton.
The Reds awalnya unggul dua gol, lalu drama tercipta. Alisson diganjar kartu merah, Adrian masuk jadi penggantinya. Dalam sekejap, skor berubah jadi 1-2.
Liverpool vs Brighton and Hove Albion. Foto: Reuters/Jason Cairnduff
Ah, hentikan. Aku tak mau tulisan ini tiba-tiba berubah jadi ulasan pertandingan. Kalau itu, sih, tim kumparanBOLA sudah buatkan.
Balik lagi ke topik utama: Kamu. Insan yang betah mendengarku berceloteh tentang sepak bola Indonesia hingga sepak bola Eropa. Tentang GBK --area tempat kita bercakap-- hingga Camp Nou.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi, aku tak pernah senyaman ini membicarakan sepak bola dengan kaum Hawa. Tapi aku tetap minta maaf karena lupa. Aku tak ingat klub kesayanganmu apa namanya.
Ya, mungkin aku tak ingat utuh detail pembahasan kita. Namun kalau soal rasa, selamanya bakal membekas. Hingga raga terpisah dari jiwa. Meski kehidupan kadang diselingi nahas.
Satu lagi topik bahasan kita yang paling kuingat adalah Australia. Kamu bilang mau kuliah di sana. Membuatku kian yakin bahwa kamu memang beda.
Australia. Foto: Shutterstock
'Negeri Kangguru'. Benua yang kamu anggap tanah terjanji. Zamin yang jaraknya dengan tanah kelahiran kita tak terlalu jauh. Kedaulatan yang katanya begitu menghargai diversity.
Kamu memuji kualitas pendidikannya. Aku bercerita soal kehidupan di sana (berdasarkan artikel yang pernah kubaca). Kamu mengeluhkan biaya pendidikannya. Aku memberi tahu solusi (sotoy) mengatasinya.
ADVERTISEMENT
Ah, iya, satu lagi. Kita juga mengobrol soal musik. Kita juga punya kesamaan soal ini. Bukan sesuatu yang licik.
Kita hanya kurang suka dengan lagu-lagu keki-nian. Lebih doyan lagu-lagu era 80-an hingga 90-an.
Aku ingat kamu merekomendasikanku sebuah band. Sialnya, aku tak bisa mengingat siapa itu bahkan hingga stori ini end.
Musik menyatukan kita. Foto: Pixabay (CC0 Public Domain)
Sayangnya, durasiku bersamamu sehari itu saja. Sejak mentari menerangi dunia hingga munculnya lembahyung senja. Pertemuan yang singkat tapi sanggup menggetarkan dawai jiwa. Memoriku tentangmu lestari bak alunan nada.
Maafkan aku yang tak sanggup mengenyahkan malu untuk bertanya digit angka penjaga silaturahmi. Maafkan aku yang tak kuat memusnahkan ragu buat bertanya soal cara menyapamu di jagad maya sebelum aku pergi.
ADVERTISEMENT
Gara-gara kebodohan itu, beberapa purnama sebelum tulisan ini dibuat, aku sempat tersiksa. Karena gagal menemukan jejakmu di jagad maya.
Maaf, kepo sedikit. Foto: Unsplash/@knaggit
Maafkan aku juga karena tak bisa mengingat jelas wajahmu dengan pasti. Lha wong cuma bertemu sekali, sih.
Namun, dalam bingkai pikiran yang abstraksi, aku yakin tetap bisa tahu pasti. Ketika perjumpaan denganmu kembali terjadi. Atau sekadar melihat parasmu dalam birai ilustrasi.
Terima kasih, Australia. Terima kasih, sepak bola. Terima kasih, nada-nada. Kita jadi akrab berkat ketiganya. Dan tak lupa: Terima kasih kepada Tuhan Penguasa Alam Raya.
Terima kasih, kamu, karena sudah hadir dalam singkat. Dirimu mungkin dikirim Tuhan hanya untuk sebatas lewat. Tak ada memori yang paling membekas, kecuali sepotong nama: Indira.
ADVERTISEMENT
-----
Catatan: Indira adalah perempuan yang bekerja sebagai SPG Kartu Kredit yang bertugas di Venue Akuatik, Gelora Bung Karno, Jakarta, pada perhelatan Asian Games 2018. Di sanalah kami berjumpa.
Kami saling berbincang. TIDAK saling menggoda!
Buat Indira, kalau kamu baca ini, ketahuilah gua enggak ada niat buruk, kok. Enggak mau macam-macam. Gua cuma pengin tahu tiga hal:
1) Klub sepak bola favoritmu apa?
2) Apakah kamu jadi kuliah di Australia?
3) Lagu yang kamu rekomendasikan waktu itu apa, ya?