Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Tak Perlu Menderita Cari Makanan Halal di Korea, Mahasiwa RI Berbagi Cerita
9 April 2022 14:33 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Katondio Bayumitra Wedya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Meledaknya fenomena K-Pop dan K-Drama menjadi kesempatan bagi Korea Selatan untuk mempromosikan penganan khas mereka. Adegan para artis memakan makanan khas Korea dalam suatu acara mampu membuat air liur para penonton menetes.
ADVERTISEMENT
Nah, tetapi sebenarnya apakah makanan-makanan tersebut halal? Okelah, kalau di Indonesia, mungkin makanan-makanan seperti kimchi, bulgogi, bibimbap, dan lain-lain sudah disesuaikan kehalalannya. Akan tetapi, bagaimana dengan di Korea Selatan sendiri?
Mencari makanan halal di Korea Selatan adalah tantangan tersendiri. Pada 2017, saya mewawancarai teman, sebut saja 'SAN', yang pernah merasakan tinggal di sana, dalam rangka menimba ilmu di Kota Seoul, tepatnya di Hanyang University, jurusan Food and Nutrition selama 1 semester (sekitar 6 bulan).
SAN menceritakan tips-tips mencari makanan halal di Korea Selatan. Silakan disimak di stori ini.
Bagaimana caranya lu mendapatkan makanan halal di Korea Selatan?
Pertama, gua masak sendiri karena gua tahu dan gua masak sendiri, sudah pasti halal dong. Beli bahan makanannya di supermarket. Selain di supermarket biasa, di daerah namanya "Itaewon", sekitar masjid, itu banyak supermarket halal.
ADVERTISEMENT
Di situ, banyak produk Indonesia dan jual juga daging sama ayam mentah yang halal. Mi instan, cemilan Indonesia, sambal, bumbu masakan (yang berlabel halal) juga ada. Gua suka belanja di situ. Di daerah situ doang sih, Itaewon.
Jadi, di sana memang jual segala macam bahan makanan impor ya?
Iya, bahkan ada tempe beku juga diimpor dari Indonesia dan itu enak lho, 'benar-benar tempe', haha… Gua senang banget menemukan itu, jadi lumayan mengobati kerinduan, haha...
Nah, kalau lu beli di supermarket biasa, bagaimana caranya lu bisa tahu bahwa bahan makanan dan bumbu yang mau lu beli adalah halal?
Gua enggak pakai bumbu, paling hanya garam. Kecap dan bumbu-bumbu instan lainnya gua beli di Itaewon.
Sayuran ya sudah pasti sayur ya, telur, seafood paling ya, yang sudah pasti halal. Daging merah dan ayam pasti gua belinya di supermarket yang ada di Itaewon, yang ada jaminan halalnya.
Jadi, memang sering belanjanya ke sana ya? Berapa lama perjalanan antara kosan lu ke Itaewon?
ADVERTISEMENT
Dari Hanyang, daerah sekitar kampus gua, ke Itaewon naik subway sekitar 40-60 menit karena harus ganti line subway 2 kali. Jadi, tergantung nunggu keretanya juga lama atau tidak.
Gua enggak terlalu sering ke Itaewon. Oh iya, ada juga tempat turis (mancanegara) berbelanja, namanya Myeongdong. Di sana, juga ada banyak snack halal. Sekitar 20 menit dari kosan gua.
Oh begitu, jadi sekalinya belanja di Itaewon sekaligus banyak gitu ya? Berapa kali sebulan?
Sebulan sekalilah. Kalau ke supermarket biasa sering sih, sekitar seminggu sekali.
Tadi lu bilang di dekat Itaewon itu ada masjid, berarti memang salah satu tempat yang sering dikunjungi muslim, ya? Kalau restoran-restoran gitu ada juga?
Iya, begitulah. Di sekitar situ juga banyak banget restoran halal, ada masakan khas Indonesia, Malaysia, Timur Tengah, masakan Korea juga ada. Tapi mahaaaalll sekali makan bisa Rp 150.000 satu porsinya. Lu enggak akan makan itu setiap hari dan apalagi itu adanya di Itaewon, effort harus ke sana naik subway.
ADVERTISEMENT
Alternatif lainnya, mau enggak mau, ke tempat makan di sekitar kosan dan tanya, “Ini ada babi atau enggak?” atau “Pakai bahan-bahan yang mengandung babi enggak?”, kalau aman, ya sudah, jadi sering-sering makan di situ, haha…
Eehh.. buset.. lebih hemat masak ya, haha…
Hahaha… iya, lebih hemat masak. Tapi, setelah gua pindah kosan, gua jadi jarang masak soalnya satu dapur dipakai untuk 30 orang lebih. Kalau di tempat lama hanya gua doang yang masak.
Serius itu 30 orang satu dapur?
Serius, hahaha... semakin lama, gua semakin jarang masak juga karena gua sudah semakin banyak tahu juga tempat makan mana saja yang aman.
Orang Indonesia kan biasanya suka bawa perbekalan sendiri tuh kalau jalan-jalan atau memutuskan untuk menetap di luar negeri, apa lu juga begitu awalnya?
Bawaaa hehe… Mi instan, abon, sarden, bumbu nasi goreng. Lama kelamaan habis lah. Namun, untungnya gua menemukan supermarket halal itu (di Itaewon).
ADVERTISEMENT
Harga di situ enggak terlalu mahal, contohnya mi instan kalau enggak salah ingat sekitar Rp 20.000. Kalau di Indonesia memang terdengar mahal, tetapi di sana Rp 20.000 masih terjangkau.
Kalau di kantin kampus lu bagaimana?
Di kantin kampus gua setiap hari Selasa dan Kamis, ada makanan halal. Harganya agak lebih mahal. Kalau yang biasanya (di tempat lain) harganya Rp 40.000, tetapi di kantin itu bisa Rp 60.000 seporsi.
Masih lumayan terjangkau. Tapi, hanya Selasa dan Kamis, dan biasanya hanya buat lunch atau early dinner (jam 4-5 sore), tapi cepat banget habisnya memang.
Kalau di hari selain Selasa dan Kamis bagaimana? Apa bawa makanan dari luar?
Oh, enggak. Tetap makan di kantin kampus. Jadi, konsep kantin di kampus gua itu bentuknya dalam satu hall terdapat 3 bagian, misalnya bagian A, B, dan C. Sistemnya:
ADVERTISEMENT
Satu, setiap hari ada 3 menu berbeda dan ganti-ganti. Kita pilih di antara 3 menu itu;
Dua, cara memilihnya lewat vending machine, misalnya kita pilih menu B, bayar dulu, lalu dapat tiket B;
Tiga, pergi ke tempat yang jualan menu B, lalu tukarkan tiketnya dengan makanan B.
Nah, untuk makanan halal itu memang hanya ada pada Selasa dan Kamis, dan adanya di menu C. Pastinya, gua pilih menu C di hari-hari itu.
Kalau di hari lain, gua pilih menu yang enggak ada babinya. Dengan catatan, tetap tanya dulu ke pedagang-pedagangnya atau, seringnya, gua beli menu yang sudah jelas, seperti jjigae (semacam sup).
Oke, itu di kampus tapi kalau di tempat makan yang ada di sekitar kosan lu memang tipe yang 'free pork restaurant' atau yang penting jual menu non-babi saja? Kira-kira berapa menit kalau jalan kaki?
Kalau bisa ya, 'free pork restaurant', tetapi lama-lama gua jadi fleksibel, yang penting jual menu non-babi, tetap tanya sih ada babi apa enggak di menu gua. Soalnya, gua sering makan bareng teman-teman, dan yang muslim pasti gua doang.
ADVERTISEMENT
Mereka considerate (mengerti keadaan gua) sih, tetapi tetap saja ada rasa enggak enak gitu sama mereka. Dan karena daerah kosan gua adalah daerah tempat makan, jadi hanya perlu waktu sekitar 2 menit jalan kaki.
Nah, kalau menggarisbawahi kalimat 'yang muslim pasti gua doang', bukannya kampus lu itu semacam international university ya? Komunitas muslim gitu enggak ada?
Ada, Ton, tetapi teman-teman yang sering gua ajak bergaul, enggak ada yang muslim hehehe… Komunitas muslim enggak tahu, apakah ada atau gak, mungkin saja ada.
Oh, begitu ceritanya.
Iya. Kalau yang gua tahu, gua pernah diceritakan, kalau orang Pakistan itu seperti ada 'gengnya' sendiri, cowok-cowok Pakistan. Mereka di sana benar-benar yang taat banget. Mereka setiap hari masak di dorm-nya ramai-ramai. Masakan Korea pun enggak pernah mereka coba karena takut ada yang enggak halal. Seketika itu, gua berasa 'bejat' banget, hahaha…
ADVERTISEMENT
Pasti kalau ketemu sesama orang muslim, ada ikatan tertentu. Hanya, kadang mereka punya kelompok sendiri, juga jarang ketemu karena enggak satu gedung. Ya, berteman sama siapa saja sih, hehehe… tetapi gua masih tetap suka bergaulnya sama orang Asia, enggak sampai orang-orang bule (Eropa/Amerika Serikat) entah kenapa, kayaknya sudah beda banget.
Faktor budaya? Nah, gua juga mikirnya, kalau enggak bergaul dengan sesama muslim, ya sama orang Asia, haha…
Iya betul hehe... Mereka semua baik kok, hanya tetap beda.
Oke, hmm mau sedikit memperjelas lagi. Kalau menurut lu, pada waktu itu, kriteria tempat makan 'yang aman' itu yang seperti apa dan bagaimana?
Ini versi gua yah, Ton, mungkin gua salah, tetapi mohon di-judge dengan bijaksana, hahaha…
Pertama, gua harus tahu makanan Korea terbuatnya dari apa, seperti jjigae (kimchi jjigae, sundubu jjigae, doenjang jjigae) itu enggak mungkin ada dagingnya. Kaldunya, kalau ikut resep sih pakai kaldu sayuran, jadi oke. Kalaupun di satu restoran ada menu babi, tetapi kalau ada menu jjigae (yang tanpa daging) juga, maka gua beli itu.
ADVERTISEMENT
Kedua, ada juga kimbab (semacam sushi korea) atau onigiri, yang isinya hanya telur atau tuna, itu aman. Kalau di restoran fast food, tuna burger itu juga aman.
Untuk menu yang berhubungan dengan mi, walaupun enggak pakai daging babi, sebaiknya tetap tanya dulu pakai kaldunya apa.
Pokoknya bertanya dan agak cerewet itu penting ya?
Dan juga, sebenarnya lebih baik lu punya teman makan sesama muslim biar jadi lebih terjaga gitu. Kalau enggak punya, nanti case-nya jadi seperti gua tadi.
Gua tetap memegang teguh keyakinan, dan teman-teman gua sebenernya considerate, tetapi mau enggak mau, lama-lama jadi lebih fleksibel. Apalagi, enggak hanya 1-2 minggu tinggal di sana, tetapi berbulan-bulan. Walau terkadang, sesama muslim juga enggak begitu menjamin sih, haha... Beberapa kasus malah 'aliman' gua, hehe…
ADVERTISEMENT
Ada saran tambahan?
------
Tulisan ini adalah remastered dari tulisan saya yang pernah naik di blog pribadi pada 2017.