Konten dari Pengguna

Tukang Cukur Pak Harto

Katondio Bayumitra Wedya
Moslem. Author of Arsenal: Sebuah Panggung Kehidupan
15 September 2023 19:59 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Katondio Bayumitra Wedya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suharto. Foto: Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Suharto. Foto: Reuters
ADVERTISEMENT
Di usia yang hampir menginjak 30 tahun, saya masih bisa terjebak pada penampilan. Dalam arti, menilai sesuatu buruk atau baik hanya dari penampilan luar. Seperti pengalaman siang tadi, Jumat (15/9), ketika saya dicukur oleh orang yang mengaku pernah memangkas rambut Pak Harto.
ADVERTISEMENT
Saya memiliki tukang cukur rambut langganan di Depok. Itu sebuah barber shop yang terletak di seberang masjid. Niatnya mau ke sana habis Salat Jumat, tetapi ternyata mereka tadi tutup. Mungkin tukang cukurnya mau makan siang dulu sebelum buka lagi.
Saya malas, nih, kalau harus pulang dulu, terus nanti sore balik lagi. Akhirnya, saya memutuskan untuk cukur rambut di tempat lain, tempatnya enggak jauh juga dari masjid itu, hanya beda arah jalannya saja.
Berbeda dengan barber shop langganan saya yang terbilang sudah modern karena tempatnya saja pakai AC—yang kadang tidak dingin— tempat cukur lain yang saya datangi tadi kelewat sederhana. Tempatnya kecil, pengap, agak berantakan, dan baunya sedikit tidak sedap.
ADVERTISEMENT
Namun, saya maklum. Sebab, tempat itu dikelola mandiri oleh seorang tua yang rambutnya sudah beruban. Sejumlah prasangka menyeruak ketika saya melihat sosok bapak itu dan tempat usahanya, tetapi ternyata harusnya saya enggak boleh menilai orang dari penampilan.
Ilustrasi cukur rambut. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Bapak itu ramah dan suka bercerita. Ia menjelaskan banyak hal, seperti kegiatannya terkini selain membuka usaha cukur, yakni berkontribusi sebagai trainer di sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak yatim-piatu.
Kemudian, ia berkisah tentang anaknya—yang tahun lahirnya sama seperti saya—yang merupakan lulusan Universitas Indonesia (UI) juga kayak saya, cuma beda fakultas. Putranya sudah menikah dan sempat berkuliah di Eropa dengan beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Dari sini, saya merasa bersalah sudah meremehkan si bapak.
ADVERTISEMENT
Yang membuat saya lebih tersentak, saat ia bercerita soal kariernya di masa 1990-an. Ia menuturkan pernah bekerja di Bali, fokusnya di bidang hospitality. Si bapak sempat bekerja di hotel hingga clubhouse, pernah menjadi pelayan dan juga memasak.
Jadi, si bapak ini sepertinya tipe orang yang suka belajar banyak hal. Maksudnya, kerjaan yang bukan job desk-nya juga dipelajari.
Ilustrasi beach club di Bali. Foto: raditya/Shutterstock
Dari situ, si bapak mendapat kepercayaan lebih dari sang bos (orang bule). Mereka menjadi akrab dan si bapak jadi pegawai yang paling diandalkan dan dipercaya oleh si bos. Di titik inilah, ia bisa mendapatkan koneksi ke orang-orang "penting".
Oh iya, terkait skill mencukurnya, si bapak mengaku belajar dari salon Johnny Andrean! Zaman dulu—sampai sekarang, sih—nama salon itu keren banget, kan, jadi bisa dibilang ia belajar di tempat yang tepat.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ia juga belajar main golf, menyetir mobil golf, hingga menjadi caddy (caddy cowok ada, jangan salah). Ini kian meluaskan koneksi si bapak dan membuat dirinya punya skill amat variatif.
Sebagai catatan, belajar cukur dan hal-hal terkait golf dipelajarinya saat sudah pindah ke Jakarta, sembari bekerja di diskotek. Katanya, sih, itu diskotek yang biasa didatangi "Circle Cendana".
Ilustrasi Golf Foto: Kementerian Pariwisata
Lantas, berbekal koneksi sana-sini yang dia dapati, singkat cerita, si bapak mengaku bisa dekat dengan "Circle Cendana". Dulu, Pak Harto biasa main golf tiga kali dalam seminggu, menurut penuturan si bapak.
Nah, jika Pak Soeharto ingin rambutnya dirapikan sebelum atau sesudah bermain golf, ia biasanya dipanggil. Bahkan, ia pernah mencukur rambut LB Moerdani dan beberapa orang "penting" lain pada masanya. Ia juga mengaku beberapa kali menjadi caddy bagi orang-orang "penting" tersebut saat bermain golf.
ADVERTISEMENT
Kala itu, si bapak merasa sedang berada di puncak karier. Akan tetapi, datanglah krisis moneter 1998. Rezim Orde Baru jatuh, orang-orang "penting" itu bak menghilang tanpa kabar, si bapak pun kehilangan koneksinya.
Presiden Indonesia Suharto (kiri) mengumumkan susunan menteri baru sebagai Wakil Presiden BJ Habibie melihat (kanan) di Istana Presiden Merdeka di Jakarta 14 Maret 1998. Foto: AFP/AGUS LOLONG
Well, saya enggak tahu cerita si bapak tadi benar atau tidak. Sebenarnya, saya percaya soal kisahnya bekerja di Bali dan jadi "tangan kanan" bosnya itu, tetapi soal "Circle Cendana" mungkin perlu dikonfirmasi lebih lanjut kalau mau tahu. Karena enggak gampang bisa dekat dengan "mereka".
Anggaplah, si bapak tidak pernah berurusan dengan "Circle Cendana". Punya segudang pengalaman di Bali dan kini berhasil mendidik anaknya sehingga bisa kuliah tinggi sudah hebat, kok. Hal yang belum tentu bisa dilakukan banyak orang juga, kan?
ADVERTISEMENT
Kini, di masa tuanya, si bapak bukan tipe pengeluh dan pemalas. Ia mengaku sampai sekarang masih suka menerima panggilan cukur dari beberapa orang, seperti dosen UI bahkan.
Hal lain yang salut, si bapak mau membagikan ilmunya kepada anak-anak yang kurang beruntung, sehingga mereka bisa berwirausaha dan berkontribusi di masyarakat. Ia juga ke sana-sini mencari donatur dan investor untuk membikin maju usaha yang digarap anak-anak itu.
Atau juga, ia coba mencarikan pekerjaan untuk mereka. "Anak-anak" di sini maksudnya anak yang sudah usia SMA atau mahasiswa, ya (setidaknya itu yang saya tangkap).
Si bapak boleh jadi sudah tidak punya lagi koneksi ke "Cendana". Sebab, ketika kekuasaan rezim runtuh, orang-orang "biasa" seperti si bapak memang bisa saja mudah dilupakan bak angin lalu.
ADVERTISEMENT
Namun, tidak ada gunanya meratapi kisah jaya masa lalu. Saya mungkin ragu soal kebenaran si bapak pernah memangkas rambut RI Satu. Tapi, saya percaya ia akan terus berkarya dan berkontribusi dengan bekal ilmu-ilmunya sampai akhir waktu.