Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
John Searle: Speech Act Dapat Mempengaruhi Makna Suatu Tindakan
3 Desember 2020 10:35 WIB
Tulisan dari kautsarin arsytania tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Fakta singkat John Searle
ADVERTISEMENT
Searle, yang memiliki nama lengkap John Rogers Searle, lahir pada 31 Juli 1932 di Denver, Colorado, Amerika Serikat. Saat sedang menjalani kuliah di Universitas Wisconsin, ia mendapatkan beasiswa Rhodes untuk melanjutkan studinya di Universitas Oxford. Setelah menerima gelar doktor di bidang filsafat pada tahun 1959, ia meninggalkan Oxford untuk bergabung dengan fakultas filsafat di Universitas California, Berkeley, tempat ia akhirnya diangkat menjadi profesor filsafat. Searle juga memberikan andil yang cukup besar pada bidang epistemologi, ontologi, falsafah institusi sosial, dan pengkajian tentang penalaran praktis. Beberapa karyanya yang terkenal adalah Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (1969), Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (1983), The Storm Over the University (1990), dan Minds, Brains and Programs (1980).
Karya pertamanya, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (1969), merupakan sebuah pengembangan dari studinya di Universitas Oxford dibawah seorang guru besar, J.L. Austin. Searle berfokus pada sifat bahasa, aturan bertutur kata, dan cara atau proses penyampaian yang dapat memiliki makna tertentu, ia memaparkan teori Speech Act lebih sistematis dibandingkan Austin.
ADVERTISEMENT
Pada dekade-dekade berikutnya, Searle telah dikenal dengan cara berpikirnya yang berbeda daripada filsuf analitis lainnya. Ketika para filsuf lain melihat bahasa sebagai latar belakang masalah filsafat, ia melihatnya sebagai dasar dari kapasitas neurobiologis dan psikologis manusia untuk mendukung kompetensi kita dalam menggunakan bahasa.
Teori Speech Act, apakah itu?
Speech Act atau yang dalam bahasa Indonesia disebut tindak tutur, merupakan teori yang menganggap bahwa makna ungkapan linguistik dapat dijelaskan dengan mengikuti aturan yang berlaku saat melakukan tindak tutur, seperti misalnya menegur (admonishing), menegaskan (asserting), memerintah (commanding), menyerukan (exclaiming), menjanjikan (promising), mempertanyakan (questioning), meminta (requesting), memperingatkan (warning). Hal ini berbeda dengan teori yang menyatakan bahwa ungkapan linguistik memiliki makna bergantung dengan adanya kesesuaian kata tersebut dalam kalimat atau tidak, tindak tutur disini menjelaskan makna linguistik dalam hal penggunaan kata dan kalimat saat bertutur kata.
ADVERTISEMENT
Dimensi dan taksonomi
Secara umum, Searle mengidentifikasi tiga dimensi dasar yang memiliki perbedaan jenis satu dengan yang lain, yakni tindak lokusi (locutionary acts), tindak ilokusi (illocutionary acts), dan tindak perlokusi (perlocutionary acts). Tindak lokusi (the act of saying something) adalah tindak tutur untuk mengutarakan sesuatu dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung. Tindak ilokusi (the act of doing something) adalah tindak tutur untuk melakukan sesuatu dengan maksud tertentu. Tindak perlokusi (the act of affecting someone) adalah tindak tutur yang dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur.
Arah kesesuaian tindak tutur menggambarkan bagaimana suatu tindakan tersebut berhubungan dengan dunia. Sebuah pernyataan memiliki kesesuaian “word-to-world” yang merupakan upaya penutur untuk menjadikan kata-katanya "cocok" dengan realitasnya. Sebaliknya, ungkapan janji memiliki kesesuaian “world-to-word” karena merupakan upaya dari pihak penutur untuk membuat realitas sesuai dengan kata-katanya.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, dari tiga dimensi tersebut, Searle mengembangkan taksonomi tindak tutur yang terdiri dari lima kategori: (1) Asertif, bermaksud untuk menyampaikan sesuatu yang terikat pada kebenaran yang diungkapkan (pernyataan, deskripsi, dan prediksi), (2) Direktif, bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang dilakukan penutur (perintah, permintaan, dan permohonan), (3) Komisif, bermaksud mengikat tuturan dari si penutur untuk melaksanakan apa yang disebutkannya di masa depan (janji, sumpah, dan taruhan), (4) Ekspresif, bertujuan untuk mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat (salam, pujian, dan berterima kasih), dan (5) Deklarasi, bermaksud untuk mengubah realitas keadaan sesuai dengan proporsi (pemecatan, perekrutan, dan pengesahan).
Searle juga memperkenalkan gagasan tindak tutur tidak langsung, yaitu ketika penutur melakukan satu jenis tindak tutur dengan melakukan tindakan lainnya dengan maksud berbeda. Contohnya adalah pernyataan "Kamu menginjak kakiku", yang diucapkan dengan maksud untuk meminta atau menyuruh lawan tutur menurunkan kakinya dari si penutur.
ADVERTISEMENT
Menurut Searle, tindak tutur tidak berfungsi sendiri-sendiri. Mereka tertanam dalam suatu struktur yang tidak saling berhubungan, namun setiap keterkaitannya harus ditemukan jika maksud dari tindak tutur tersebut ingin tersampaikan. Misalnya, sebuah janji “Saya akan membelikan kalian makan malam”, yang berarti bahwa penutur memahami apa itu makan malam, apa itu uang, apa itu restoran. Ia juga mengerti bagaimana cara berperilaku di restoran, serta bagaimana aturan makan dan minum.
Diperlukannya teori tindak tutur dalam filsafat bahasa tidak hanya karena telah mendemonstrasikan berbagai macam penggunaan bahasa yang bermakna, tetapi juga untuk menghasilkan wawasan ke dalam masalah mendasar. Seperti misalnya perbedaan antara makna penutur secara langsung dan tidak langsung, maksud dari suatu petunjuk dan kebenaran, pembagian antara aspek semantik dan pragmatis dari makna yang dikomunikasikan, serta pengetahuan di bidang linguistik.
ADVERTISEMENT