Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Jangan Hakimi Film dari Bahasanya
21 Februari 2018 12:47 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari kawula muda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Komedian sekaligus YouTuber, Bayu Skak, baru saja menggelar gala premier film perdananya yang berjudul ‘Yowis Ben’. Pada film yang ditulisnya itu, Bayu memasukkan dialek Jawa hingga kurang lebih 90 persen.
ADVERTISEMENT
Porsi bahasa Jawa yang banyak itu kemudian menjadi buah bibir di kalangan warganet. Ada yang memuji, seperti misalnya Denis Adhiswara. Namun, tidak sedikit pula yang mencibir dengan kasar.
Respons para warganet itu harusnya membuat kita sedih. Merendahkan bahasa dan suku adalah sebuah perilaku yang sangat memalukan.
Lagipula, apa yang Bayu Skak lakukan sesungguhnya adalah suatu hal yang keren. Ia adalah satu dari sedikit anak muda yang jujur dengan daerahnya. Bila pada kenyataannya, orang Jawa berinteraksi menggunakan bahasa Jawa, kenapa harus dibuat-dibuat pakai bahasa Indonesia?
Sebetulnya, yang justru aneh itu adalah film-film yang mengangkat kehidupan orang Jawa yang ngomong bahasa Indonesia tapi dimedok-medokin. Apalagi kalau karakter si orang Jawanya juga dibangun berdasarkan stereotip semata--dibuat suka nunduk-nunduk lah, dibuat kelewat halus lah, dan sebagainya. Padahal enggak semua orang Jawa seperti itu juga kali.
ADVERTISEMENT
"Saran gw ya jangan jawa lah nggak bhinneka tunggal ika banget lo," kata salah satu komentar. Ini adalah contoh orang yang tidak paham makna semboyan negaranya sendiri.
Bhinneka tunggal ika dibuat bukan untuk membungkam keragaman! Malah sebaliknya, bhinneka tunggal ika mengajak kita untuk menghidupi kultur di daerah kita masing-masing. Dengan catatan: kita harus tetap memiliki semangat kesatuan.
Tentu akan sangat menyenangkan bila, anak muda mampu menampilkan potret kebudayaan di daerahnya masing-masing. Dengan begitu, anak muda tidak hanya mengenal kehidupan Jakarta saja, tapi juga kehidupan di berbagai daerah, dari Sabang sampai Merauke.
Untuk itu, film tentu memiliki peran yang besar. Film, sebagai medium audiovisual, adalah alat yang paling kuat dalam menampilkan potret budaya. Lewat film, kita bisa memahami budaya di berbagai tempat, seterpencil apapun itu.
ADVERTISEMENT
Oh ya, sebelum 'Yowis Ben', sebetulnya kita juga sudah memiliki film berbahasa Jawa yang menarik. Beberapa film itu bahkan diapresiasi di berbagai ajang festival internasional. Ambil contoh: Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya, Siti, dan Turah.
Ketiga film itu telah membawa bahasa Jawa ke telinga-telinga penonton di berbagai negara. Dan para penontonnya tidak ada masalah apa-apa! Tidak seperti warga negeri ini sendiri, yang merasa lebih hebat daripada sesamanya.
Sudah jelaslah bahwa tidak ada alasan sama sekali untuk menghakimi film hanya karena bahasa yang digunakan di dalamnya. Setoplah itu semua. Kecuali bila kamu adalah orang bebal yang merasa kelompok dan kebudayaannya paling hebat. Iya, seperti Hitler.