Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Rumah Panggung Bugis di Persimpangan Zaman: Tradisi, Perubahan, dan Harapan
19 Februari 2025 13:38 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Kayla Hridayaneisha Paramajna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Desa Batu Putih, yang terletak di Kecamatan Kolono Timur, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, merupakan sebuah komunitas yang kaya akan keanekaragaman budaya dan tradisi. Desa ini memiliki keindahan alamnya yang asri dan kehidupan masyarakat yang erat, di mana nilai-nilai kekeluargaan dan gotong royong menjadi bagian integral dari keseharian. Dalam konteks ini, Desa Batu Putih terdiri atas tiga dusun yang dihuni oleh lima suku, yakni Bugis, Tolaki, Muna, Toraja, dan Buton, dengan mayoritas penduduk berasal dari Suku Bugis.
ADVERTISEMENT
Di tengah derasnya arus modernisasi, rumah panggung Bugis—sebagai salah satu warisan arsitektur tradisional di Indonesia—mulai menghadapi ancaman eksistensi. Rumah panggung tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, melainkan juga mencerminkan nilai budaya dan filosofi mendalam masyarakat Bugis, seperti kearifan dalam memilih material dan teknik konstruksi yang menyesuaikan dengan sumber daya yang ada di daerah setempat. Namun, di Desa Batu Putih sendiri memiliki area yang unik terletak Dusun III menjadi pusat konsentrasi rumah panggung terbanyak. Dalam kegiatan program kerja KKN-PPM Universitas Gadjah Mada periode IV tahun 2024 "Kelana di Kolono" di bawah bimbingan Ibu Dra. Eko Tri Sulistyani, M.Sc., penulis mencoba mencari makna filosofis yang terkandung dalam bangunan-bangunan tradisional. Pencarian ini menghasilkan temuan yang cukup berbeda dari ekspektasi.
ADVERTISEMENT
Menjelajahi Eksistensi Rumah Panggung di Dusun III
Saat menapaki daerah Dusun III, suasananya memang lebih berbeda daripada di dusun lainnya yang berada di pinggir jalan poros. Letaknya sendiri cukup memisah dari area penduduk Dusun I dan Dusun II, sekitar 4 km dari jalan poros utama. Jalan menuju dusun ini sendiri tidak semulus jalan utama yang dilalui dusun dusun lainnya, membuat akses ke dusun ini tidak mudah. Daerah ini masih sangat asri dengan banyak pohon pohon perkebunan. Tak heran bahwa di daerah ini masyarakatnya mayoritas bekerja di kebun. Berbagai jenis tumbuhan dapat ditemukan di sini seperti pohon sawit, kelapa, pohon asem, pohon coklat, jambu mete, pohon aren, dan masih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Dusun III kini memiliki 14 rumah panggung tradisional yang berdiri kokoh. Rumah-rumah ini tidak hanya menjadi tempat tinggal, tetapi juga merepresentasikan identitas budaya yang terus dijaga oleh masyarakat. Dalam kunjungan ke rumah-rumah panggung tersebut, penulis dan rekan-rekan KKN mengalami pengalaman unik saat ingin bertamu. Posisi pintu yang berada di lantai dua menimbulkan kebingungan tentang etika bertamu yang tepat—apakah langsung mengetuk pintu di atas atau cukup memberi salam dengan suara lantang dari bawah. Hal ini mencerminkan bagaimana tradisi arsitektur lokal tidak hanya mempengaruhi tata ruang dan fungsi rumah, tetapi juga membentuk pola interaksi sosial di dalam masyarakat.
Perbincangan kami dengan beberapa pemilik rumah tradisional mengungkap temuan yang unik sekaligus mengkhawatirkan. Pembangunan rumah panggung masih dilakukan secara gotong royong, mencerminkan nilai sosial yang tetap bertahan di tengah perubahan budaya. Namun, rumah panggung kini menghadapi berbagai tantangan, terutama dari segi biaya dan ketersediaan bahan baku. Dibandingkan dengan rumah batu, pembangunan rumah panggung membutuhkan biaya lebih besar karena kayu sebagai bahan utama semakin sulit didapat. Akses ke hutan semakin terbatas, sementara usaha menanam pohon kayu secara berkelanjutan juga semakin jarang dilakukan.
ADVERTISEMENT
Dulu, kayu untuk membangun rumah panggung diambil langsung dari hutan, tetapi kini masyarakat mulai beralih ke jenis kayu yang lebih mudah ditemukan, seperti kayu jati, serta pada beberapa narasumber menyebutkan penggunaan kayu lainnya dengan nama lokal yaitu bitti dan amara coppo sebagai bahan rumahnya. Selain akses mobilitas, menurunnya kebiasaan menanam pohon kayu turut memperburuk kondisi ini. Seorang warga mengungkapkan,
Ungkapan ini menunjukkan bahwa sejak dahulu sudah ada kesadaran untuk menjaga keseimbangan alam dengan menanam pohon sebagai bentuk tanggung jawab terhadap lingkungan. Namun, perubahan pola pikir dan kebiasaan masyarakat kini berpotensi mengancam keberlanjutan tradisi ini.
ADVERTISEMENT
Padahal, penggunaan kayu ini sudah menjadi ciri khas dari rumah panggung. Masyarakat Bugis pada masa lalu menerapkan teknik konstruksi khas dengan menggunakan kayu panjang tanpa sambungan. Teknik ini tidak hanya menonjolkan keindahan alam material kayu, tetapi juga berfungsi untuk meredam getaran gempa. Hal ini selaras dengan informasi yang diberikan oleh salah satu narasumber kami. Dengan potongan kayu utuh tanpa sambungan membuat, struktur rumah panggung mampu menyerap dan mengurangi dampak getaran, sehingga meningkatkan stabilitas dan keselamatan bangunan dalam menghadapi bencana alam (Kasdar, 2018).
Perubahan lainnya dapat dilihat dari konstruksi rumah panggung yang mulai mengalami banyak modifikasi. Misalnya, dinding rumah yang dulunya menggunakan bambu dan kayu kini diganti dengan seng atau terpal karena bahan alami lebih cepat lapuk serta mahalnya bahan bahan tersebut di zaman sekarang. Modifikasi yang paling sering ditemui yaitu penggunaan terpal di langit langit rumah, hal ini dipercaya untuk menghalau kotoran. Tetapi, praktik ini justru membuat rumah menjadi panas dan pengap. Rumah panggung yang didesain secara turun temurun mengikuti kondisi iklim di daerah pesisir menjadi tidak relevan lagi.
ADVERTISEMENT
Pudarnya Makna Filosofis Rumah Panggung
Dalam wawancara dengan beberapa warga, terungkap bahwa banyak dari mereka tidak mengetahui makna filosofis rumah panggung Bugis. Saat ditanya mengenai pakem atau aturan tertentu dalam pembangunan rumah, mereka tidak bisa memberikan jawabannya. Padahal, rumah panggung Bugis memiliki makna simbolis yang kuat, mulai dari penggunaan tiang, bentuk rumah, hingga ornamen yang terletak di ujung atap rumah disebut anjong. Anjong memiliki banyak variasi menyesuaikan lingkungan sekitar. Selain itu, anjong dapat menyimbolkan status sosial pemilik rumah (Syarif, 2020).
Pada studi masyarakat suku Bugis mempercayai bahwa alam semesta memiliki bentuk segi empat. Kepercayaan ini mendasari banyak bidang kehidupan Suku Bugis, terdapat filosofi yang dinamakan sulapa eppa yang secara harfiah berarti “empat sisi”. Sulapa eppa adalah filosofi yang mendalam bagi masyarakat Bugis, yang mencerminkan pandangan dunia dan menjadi bekal dalam menata kehidupan. Filosofi ini mengandung makna kesempurnaan alam semesta yang tercermin dalam nilai-nilai kemanusiaan yang dipercaya oleh masyarakat Suku Bugis (Syarif dkk., 2018). Jika di masa lalu rumah panggung mencerminkan filosofi Bugis tentang ketahanan, keterhubungan dengan alam, serta kehidupan komunal, kini rumah panggung lebih dipertahankan atas dasar kemudahan konstruksi, dan angan-angan orang terdahulu, tetapi tidak didasari oleh nilai-nilai filosofisnya.
ADVERTISEMENT
Selain perubahan zaman dan perubahan lingkungan, dinamika budaya yang unik di desa ini turut berperan terhadap pudarnya pengetahuan ini. Sebagai pendatang yang menghuni tanah Suku Tolaki, masyarakat Bugis di Dusun III hidup dengan prinsip menghormati adat setempat. Hal ini menyebabkan mereka enggan menjalankan beberapa tradisi Bugis yang masih kuat di daerah asalnya. Seperti yang dikatakan salah satu warga,
Sikap ini menunjukkan adanya adaptasi budaya yang terjadi antara Suku Bugis dan Suku Tolaki. Namun, di sisi lain, hal ini juga membuat sebagian besar warisan budaya Bugis di Dusun III perlahan menghilang.
Meskipun makna filosofisnya mulai memudar, rumah panggung tetap menjadi simbol kehidupan sosial masyarakat Dusun III. Proses pembangunannya masih dilakukan secara gotong royong, melibatkan tidak hanya warga Dusun III, tetapi juga dari Dusun II dan Dusun I. Gotong royong ini mencerminkan eratnya hubungan sosial di antara mereka, terutama karena banyak keluarga yang masih memiliki hubungan kekerabatan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, setiap rumah panggung di Dusun III memiliki usaha produksi gula aren. Pohon aren di sini banyak tumbuh dengan subur, bukan dari hasil perkebunan massal hasil tanam manusia. Tetapi, melalui persebaran benih secara alami melalui kelelawar. Proses pembuatan gula arennya pun juga masih menggunakan cara tradisional yang dicetak membentuk kerucut. Dalam sehari bisa mendapatkan 20 hingga 30 kerucut tergantung pada banyak sedikitnya nira yang terkumpul. Gula aren yang sudah jadi akan diperjualbelikan di pasar terdekat. Dengan demikian, rumah panggung tidak hanya menjadi tempat tinggal, tetapi juga pusat kegiatan ekonomi keluarga.
Perlunya Kajian Mendalam terhadap Filosofi Rumah Panggung
Realitas di Dusun III menunjukkan bahwa rumah panggung Bugis masih bertahan secara fisik, tetapi makna dan filosofinya semakin terkikis. Jika tidak ada upaya untuk merekonstruksi pemahaman budaya ini, maka rumah panggung di Dusun III akan kehilangan identitasnya dan hanya menjadi bangunan tanpa makna.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, kajian lebih lanjut tentang filosofi rumah panggung Bugis diperlukan untuk mendokumentasikan dan menghidupkan kembali pemahaman masyarakat mengenai warisan budaya mereka. Dengan menggali kembali makna filosofi rumah panggung dan menerapkannya, masyarakat tidak hanya mempertahankan warisan leluhur, tetapi juga membangun kesadaran akan pentingnya menjaga identitas budaya di tengah perubahan zaman.
Referensi
Kasdar, K. (2018). Arsitektur benteng dan rumah adat di Sulawesi.
Syarif, B., Yudono, A., Harisah, A., & Sir, M. M. (2018). Sulapa eppa as the basic or fundamental philosophy of traditional architecture buginese. In SHS Web of Conferences (Vol. 41, p. 04005). EDP Sciences.
Syarif, S. (2020). Konstruksi nilai-nilai kearifan lokal arsitektur tradisional bugis soppeng (Doctoral dissertation, UNIVERSITAS HASANUDDIN).
ADVERTISEMENT