Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Pengendalian Vektor Malaria di Wilayah Pesisir Pantai
30 Oktober 2021 14:44 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Vella Rohmayani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Wilayah pesisir pantai memiliki potensi yang sangat besar menjadi tempat perindukan yang sangat sesuai dengan bionomik vector malaria. Malaria merupakan penyakit endemis atau hiperendemis yang tersebar diseluruh dunia, terutama pada daerah tropis maupun subtropic.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia berdasarkan data tren kasus positif malaria dan jumlah penderita malaria (Annual Parasite Incidence/API), ternyata kabupaten/kota endemis tinggi malaria masih terkonsentrasi di kawasan timur Indonesia. Pada tahun 2019 di Indonesia terdapat sebanyak 250.644 kasus. Kasus tertinggi terjadi di Provinsi Papua, sebesar 86 % atau sebanyak 216.380 kasus.
Sedangkan kasus malaria pada tahun 2020 di Indonesia telah mengalami penurun menjadi 235,7 ribu (Kemkes.go.id, 2021), serta terdapat terdapat 18 kabupaten baru telah berhasil mencapai status eliminasi setelah melalui proses penilaian oleh Komisi Penilaian Eliminasi Malaria (KOPEM) (who.int, 2021).
Oleh sebab itu upaya pengendalian vector malaria harus terus dilakukan, agar lebih banyak kabupaten di Indonesia yang dapat tereliminasi dari status endemis malaria, terlebih yang memiliki kawasan pesisir yang luas.
ADVERTISEMENT
Upaya pengendalian vector malaria tentu harus didukung dengan adanya kerja sama antar multi disipliner, yaitu kerja sama dari pemangku kebijakan atau pemerintahan setempat, para pakar atau ilmuan, pihak pengelola pariwisata, asosiasi terkait dan pihak-pihak lain yang terkait, serta serta seluruh masyarakat yang tinggal di lokasi tersebut.
Sejarah penyakit Malaria di Indonesia
Menurut pemaparan dari Prof. Dr. M. Sudomo (Ketua Komisi Ahli Vektor BP2. Kemenkes RI) pada acara webinar Nasional Perkumpulan Entomologi Kesehatan Indonesia (PEKI) Lampung yang dilaksanakan pada tanggal 30 Oktober 2021, menyampaikan bahwa pada tahun 1753 diperkirakan terdapat 85.00 personel VOC yang tertular penyakit malaria, karena terjadinya penyebaran malaria di wilayah kota Batavia sebelah utara yang saat ini dikenal sebagai kota Jakarta.
ADVERTISEMENT
Jumlah kasus yang diakibatkan oleh terjadinya infeksi malaria di Jawa dan Madura pada tahun 1870 – 1880 terus mengalami peningkatan, di mana puncaknya terjadi pada tahun 1880 dengan jumlah kasus kematian kurang lebih sebanyak 60.000 kasus (Gardiner & Oey, 1982: Ndoen, 2009)
Swellengrebel pada tahun 1900an melakukan studi di Kawasan pantai utara Surabaya dan diperoleh hasil dari 740 nyamuk dari spesies nyamuk yang berkembang di air payau, terdapat 69 yang terinfeksi malaria. Sedangkan 634 spesies nyamuk yang berkembang di air tawar hanya terdapat 3 nyamuk yang teridentifikasi terinfeksi malaria.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa habitat yang sesuai dengan bionomic vector malaria adalah di air payau. Beberapa penelitian terkait menyebutkan nyamuk yang memiliki potensi terbesar menjadi vector penularan penyakit malaria adalah nyamuk Anopheles sundaicus.
ADVERTISEMENT
Karena secara umum nyamuk An. sundaicus lebih suka menghisap darah manusia dibandingkan dengan darah hewan atau bersifat antropofilik. Hal inilah yang kemudian menyebabkan tingginya persentase angka kesakitan maupun kematian penyakit malaria dari penularan vector nyamuk An. sundaicus.
Walaupun sebenarnya perilaku istirahat dan menggigit nyamuk spesies ini dapat berbeda-beda bergantung dengan lokasi geografisnya. Karena setelah dilakukan penelitian di wilayah Yogyakarta nyamuk An. sundaicus ternyata bersifat zoofilik atau lebih suka menghisap darah hewan dibandingkan dengan darah manusia.
Secara umum nyamuk An. sundaicus ini menyukai habitat yang langsung terkena sinar matahari, yaitu di wilayah sungai yang terbentuk di dekat wilayah pesisir pantai, di kawasan hutan mangrove yang terbuka atau sudah rusak, saluran irigasi, tambak yang sudah tidak digunakan lagi serta sudah ditumbuhi alga dan lain seterusnya.
ADVERTISEMENT
Walaupun begitu keberadaan nyamuk tersebut ternyata juga dapat ditemukan di kawasan pegunungan hingga ketinggian 700 m di atas permukaan air laut, tetapi persentase kasusnya tentu jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan wilayah pesisir.
Oleh sebab itu penting dilakukan upaya pengendalian vector malaria terutama di wilayah pesisir pantai.
Upaya pengendalian Vektor malaria
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengendalikan vector malaria adalah dengan Repelen spasial atau cara mengendalikan nyamuk tanpa membunuh nyamuk . Repelen spasial atau disebut dengan Spatial Repellent (SR) merupakan suatu senyawa kimia yang memiliki sifat mengusir nyamuk, sehingga dapat meyebabkan terjadinya penurunan kontak, yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya penurunan kasus penularan malaria.
Menurut pemamaran dari Prof. dr. Din Syafruddin, Ph.D. (Komisi Ahli Vektor BP2, FK UNHAS, Lembaga Eijkman) pada webinar PEKI Lampung, menjelaskan bahwa upaya pengendalian menggunakan metode Repelen spasial tentu harus diberikan dan dapat bertahan selama mungkin, sehingga penerapannya dapat berlangsung lebih efektif.
ADVERTISEMENT
Namun upaya pengendalian secara Repelen spasial, tentu harus dilaukan secara penyeluruh disuatu wilayah tertentu, mengingat jika tidak dilakukan seperti itu, maka akan menyebabkan wilayah lain yang belum menerapkan upaya SR akan menjadi risiko lebih besar untuk tertular malaria. Sebab nyamuk akan menjauh lokasi SR dan akan berpindah pada lokasi yang belum diberlakukan upaya SR.
Adapun upaya lainnya yang dapat digunakan untuk mengendalikan vector malarian adalah pengendalian populasi nyamuk dengan metode pengasapan, pengendalian larva nyamuk secara fisik yaitu pemberantasan sarang nyamuk (PSN), pengendalian secara biologi dengan menggunakan tumbuhan yang tidak disukai nyamuk, hewan, bakteri dan lain seterusnya. serta pengendalian nyamuk secara kimia dengan menggunakan larvasida.
Namun ada penelitian terbaru yang dilakukan untuk mengendalikan nyamuk vector malaria, dengan menggunakan nanosilver (Ag2NO3).
ADVERTISEMENT
Pengendalian Vektor nyamuk dengan Nanosilver (Ag2No3)
Pengendalian vector nyamuk memggunakan bahan kimia tentu dapat menyebabkan terjadinya tingkat resistensi yang lebih tinggi, terjadinya risiko pada organisme non target dan terjadinya risiko terhadap lingkungan.
Oleh sebab itu nanosilver dapat digunakan sebagai material inovasi penggati insektisida, sehingga dapat mengendalikan nyamuk tanpa meninpukan risiko yang telah disebutkan di atas.
Material nanosilver memiliki ukuran yang jauh lebih kecil yaitu sebesar 1-100 nm, serta memiliki sifat yang berbeda dari senyawa aslinya. Berdasarkan pemaparan materi dari Dr. Ir. Musid Raharjo, M.Si. pada webinar PEKI Lampung tanggal 30 Oktober 2021, menyebutkan bahwa hasil penetilian pengendalian vector malaria di wilayah endemis malaria di Purworejo menggunakan nanosilver dalam skala lapangan diperoleh hasil bahwa pada konsentrasi antara 1 – 1,5 g/lt mampu membunuh seluruh hewan uji atau sebesar keberhasilan sebesar 100%.
ADVERTISEMENT
Konsentrasi tersebut tentu jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan menggunakan konsentrasi insektisida yang selama ini digunakan untuk membunuh nyamuk, yaitu dbutuhkan sebesar 6,6 gram/ liter.
Selain itu nanosilver juga memiliki keunggulan lain, karena dalam skala nano maka memiliki sifat volatile sehingga mampu instrusi ke dalam tubuh nyamuk melalui system pernafasan serta mengganggu hormone ACHe.