Soekarno dan Jejak Islam di Dagestan, Rusia

Konten dari Pengguna
3 April 2019 19:19 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari KBRI MOSKOW tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dubes RI bersama 2 anak Dagestan bernama Sukarno. Foto: Dok. KBRI Moskow
zoom-in-whitePerbesar
Dubes RI bersama 2 anak Dagestan bernama Sukarno. Foto: Dok. KBRI Moskow
ADVERTISEMENT
Nama kedua anak itu bernama Sukarno bin Kamil (Rusia: Sukarno Kamilevich) dan Sukarno bin Muhammad (Rusia: Sukarno Magomedovich), berumur 12 dan 10 tahun.
ADVERTISEMENT
Orang tua mereka kakak adik, jadi mereka saudara sepupu, tinggal sekitar 1 jam naik mobil dari Makhachkala, ibu kota Republik Dagestan. Mereka datang ke Makhachkala atas undangan Abdulaev Ibragimgadzi, Kepala Pusat Nusantara, yang baru saja saya resmikan pada 26 Maret 2019.
Ceritanya panjang, kata Abdulaev. Dimulai dari Musa Gashimovich, yang pada Juni 1961 menghadiri sidang Partai Komunis di Kremlin. Dia warga asli Dagestan yang saat itu menjabat sebagai Ketua Kelompok Tani (Kolkhoz).
Kunjungan ke kota tua Derbent (Imam Masjid Juma Derbent bersama Dubes RI). Foto: Dok. KBRI Moskow
Pada sidang Komite Sentral Partai Komunis Uni Soviet kala itu hadir beberapa kepala negara asing, termasuk Presiden pertama RI, Soekarno. Sidang hari itu jatuh pada hari Jumat. Ketika saatnya waktu zuhur, tiba-tiba Presiden Soekarno berdiri dan minta izin kepada Sekjen Partai Komunis, Nikita Khrushchev, untuk meninggalkan ruangan karena akan menunaikan salat. Nikita Khrushchev pun mengizinkan.
ADVERTISEMENT
Musa pun terkejut dan seolah tidak percaya. Kegiatan beragama, termasuk Islam, selama zaman Uni Soviet dilarang atau dilakukan diam-diam.
Menurut Musa, apa yang dilakukan oleh Soekarno sangatlah luar biasa dan di luar pikiran kebanyakan orang Rusia ketika itu. Atas kekagumannya pada Soekarno, Musa pun memberi nama anaknya Sukarno bin Musa (Sukarno Musaevich), yang lahir pada 1962. Menurut Abdulaev, Musa sempat menulis surat kepada KBRI Moskow kala itu untuk meminta izin memberi nama anaknya “Sukarno”, tapi tidak pernah dijawab.
Dubes RI berbincang dengan penjual saat blusukan di pasar tradisional Makhachkala. Foto: Dok. KBRI Moskow
Salah seorang anak Sukarno, Kamil, menamai anaknya Sukarno bin Kamil (Sukarno Kamilevich). Anehnya, saudara sepupu Kamil, Muhammad, juga memberi nama anaknya Sukarno bin Muhammad (Sukarno Magomedovich) karena kekagumannya pada bapaknya (Musa).
ADVERTISEMENT
Nah berarti kedua anak yang datang pada peresmian Pusat Nusantara tersebut, Sukarno bin Kamil dan Sukarno bin Muhammad, adalah cicit dari Musa Gashimovich yang hadir di sidang Konggres Partai Komunis Uni Soviet 1961.
Sampai saat ini, nama Soekarno masih banyak dikenal oleh generasi tua, terutama di kota-kota yang pernah dikunjungi Presiden Soekarno seperti di Moskow, Saint Petersburg, Yekaterinburg, Sochi dan Samarkand yang sekarang masuk wilayah Uzbekistan.
Kunjungan ke kota tua Derbent (mengunjungi benteng kuno). Foto: Dok. KBRI Moskow
Di Moskow, Soekarno mengunjungi Masjid Katedral (Agung) yang saat itu sangat kecil dan fotonya masih tersimpan di masjid kebanggaan umat Muslim Rusia. Di Saint Petersburg dalam kunjungannya tahun 1956, Soekarno meminta Nikita Khrushchev agar mengizinkan kembali dibukanya Masjid Biru sebagai tempat ibadah umat Islam.
ADVERTISEMENT
Khrushchev pun mengijinkannya 10 hari setelah kunjungan Soekarno. Imam Masjid Biru, Cafer Nasibullahoglu, pun mengakui jasa Soekarno.
Demikian juga dengan cerita makam Imam Bukhari. Walaupun tidak ada sumber sejarah resmi, masyarakat Samarkand sampai saat ini meyakini bahwa makam Imam Bukhari dibangun oleh Uni Soviet atas jasa Soekarno.
Konon Soekarno bersedia memenuhi undangan Nikita Khruschev dengan syarat ditemukannya makam Imam Bukhari. Dan benar saja, Khruschev memenui syarat itu dan Soekarno sendiri dalam rangkaian kunjungannya pada 1956 mengunjungi makam tersebut dengan perjalanan kereta api yang ditempuh sekitar 3 hari.
Republik Dagestan adalah salah satu negara bagian yang memiliki kekhasan di Rusia. Ada 22 negara bagian di Rusia dengan nama Republik karena mayoritas penduduknya bukan etnis Rusia.
ADVERTISEMENT
Walaupun secara resmi nama itu sudah dihapus, namun masih banyak yang menyebutnya sebagai republik, seperti Republik Tatarstan, dengan kepala pemerintahannya bergelar presiden.
Sebagaimana Chechnya dan Tatarstan, mayoritas penduduk Dagestan beragama Islam, bahkan Menteri Kebijakan Nasional dan Agama Republik Dagestan, Enrik Muslimov, menyebut sekitar 95 persen warga Dagestan beragama Islam.
Kunjungan ke kota tua Derbent (melakukan ziarah makam kerabat sahabat Nabi). Foto: Dok. KBRI Moskow
Secara kasat mata memang terlihat banyak masjid di Dagestan. Kita bisa mendengarkan suara azan dan para wanitanya sebagian mengenakan jilbab, persis seperti di Indonesia. Tidak sedikit juga yang menggunakan baju modis ala wanita modern.
Bahkan mereka umumnya berparas cantik karena campuran dari Persia, Arab, Barat, dan lokal. Islam di Dagestan cukup toleran dan moderat dan beraliran Sunni seperti di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di Makhachkala terdapat masjid yang diklaim sebagai yang terbesar di Rusia dan bahkan Eropa mengalahkan Masjid Katedral di Moskow.
Masjid Jumma Makhachkala dapat menampung sekitar 17 ribu jamaah, dibanding Masjid Katedral Moskow yang hanya menampung 10 ribu orang. Bahkan saat ini sedang dibangun Islamic Center di tanah seluas 35 hektare, dengan masjid yang akan mampu menampung sekitar 50 ribu jamaah.
Beruntung saya sempat melihat pembangunan kompleks masjid dan Pusat Studi Islam ini dan menanam pohon perdamaian.
Sekitar 170 kilometer ke arah selatan dari Makhachkala, atau 2,5 jam perjalanan darat, terdapat kota tua Derbent yang telah berumur sekitar 2 ribu tahun bahkan lebih.
Derbent dimasukkan UNESCO menjadi salah satu kota “heritage” yang dilindungi. Di situ terdapat benteng Naryn-Kala yang dibuat abad VI oleh Kerajaan Sasanian untuk melindungi diri dari serangan penduduk pegunungan Kaukasia.
ADVERTISEMENT
Di kota itu juga terdapat masjid tertua yang dibangun tahun 734 atau 10 tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat di jaman Kekhalifaan Rasyidin di bawah Abu Bakar, melalui peperangan. Tidak jauh dari masjid terdapat makam kuno para martir yang sampai saat ini masih dirawat dengan baik.
Sambutan Dubes RI saat peresmian Pusat Nusantara. Foto: Dok. KBRI Moskow
Selama ini, Dagestan dianggap sebagai wilayah konflik dan bahkan situs-situs perjalanan masih menyebutkan daerah ini tidak aman untuk turis. Ternyata keadaan di lapangan berbicara lain.
Di luar acara resmi, saya meminta untuk berkunjung ke pasar. Pasar adalah potret kehidupan masyarakat umum yang tidak bisa direkayasa. Protokol pun memenuhi permintaan saya. Saya melihat suasana yang ramai seperti pasar pada umumnya, tidak melihat adanya tentara yang berjaga, hanya satpam biasa.
ADVERTISEMENT
Kedatangan saya menarik para penjual, mungkin karena wajah saya berbeda dan mereka jarang melihat turis dari Asia Tenggara. Setelah mengetahui yang datang dari Indonesia, ramai-ramai mereka menawarkan oleh-oleh kepada saya untuk dibawa pulang. Hal ini sangat menyentuh hati. Saya pun harus mencari tas tambahan untuk membawa oleh-oleh dari mereka.
Moskow, 3 April 2019
*Penulis adalah Duta Besar LBBP RI untuk Federasi Rusia dan Republik Belarus.