Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Ketika Bumi Mati, Apakah Meriam Masih Berguna?
28 Oktober 2024 14:32 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Keavin Natanael tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di tengah krisis lingkungan yang makin menggila—dari perubahan iklim, kebakaran hutan, sampai banjir bandang—negara-negara besar dunia malah lebih sibuk naikin anggaran militernya. Setiap kali perang pecah, bukan cuma manusia yang jadi korban, tapi bumi juga ikut hancur. Polusi udara, rusaknya sumber air, dan infrastruktur yang runtuh jadi 'efek samping' dari setiap konflik yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Yang bikin heran, meskipun krisis lingkungan jelas lebih mengancam kehidupan kita di masa depan, dana yang dihabisin buat beli senjata dan tank jauh lebih besar dibanding usaha buat nyelamatin alam. Dunia kayak udah kebalik, lebih takut sama negara lain daripada bencana alam yang nyata di depan mata. Kita hidup dalam pola pikir anarki global—di mana tiap negara sibuk ngejaga kekuasaan lewat militer, sementara lingkungan yang kita butuhin buat bertahan hidup dibiarkan rusak. Padahal, kalau bumi kita udah mati, apa senjata masih ada gunanya?
Anarki dalam hubungan internasional diartikan sebagai tidak adanya otoritas pusat yang mampu mengatur hubungan antar negara. Menurut pandangan realis, yang dipengaruhi oleh gagasan Thomas Hobbes, dunia internasional dipandang sebagai ”keadaan alami” di mana tidak ada otoritas global yang lebih tinggi dari negara itu sendiri, dan dalam keadaan ini negara bebas bertindak. Bertindak sesuai dengan kepentingan nasionalnya sendiri tanpa dipengaruhi oleh kekuatan yang lebih tinggi. Situasi ini menciptakan ketidakpastian dan ketidakpercayaan antar negara, yang seringkali berujung pada perlombaan senjata dan konflik militer sebagai sarana pertahanan diri.
ADVERTISEMENT
Dalam kondisi anarki, negara-negara lebih fokus pada pertahanan militer daripada kerja sama untuk mengatasi masalah global seperti krisis lingkungan hidup. Hobbes berpendapat bahwa dalam keadaan alamiah, masyarakat dan negara bertindak berdasarkan kepentingan dan kekuasaannya sendiri. Dalam sistem internasional yang anarkis, sulit bagi negara-negara untuk membangun kerja sama yang kuat karena semua orang khawatir akan ancaman dari negara lain. Bahkan ketika ancaman perubahan iklim semakin nyata, negara-negara masih lebih memilih meningkatkan anggaran militer mereka daripada berinvestasi pada solusi iklim global.
ADVERTISEMENT
Konflik bersenjata seringkali mempercepat deforestasi, terutama di wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Ketika militer pindah ke hutan tropis atau harus membuka wilayah yang luas untuk tujuan militer, hutan yang penting bagi ekosistem lokal akan rusak atau hancur. Salah satu contoh yang paling mencolok adalah penggunaan senjata kimia seperti Agen Oranye pada Perang Vietnam, yang mengakibatkan hancurnya lebih dari 3 juta hektar hutan dalam waktu kurang dari 10 tahun. Hal yang sama berlanjut hingga saat ini di Afrika dan Amerika Selatan, dimana konflik modern berkontribusi terhadap hilangnya tutupan hutan.
ADVERTISEMENT
Contoh dampak konflik terhadap lingkungan dapat dilihat dalam beberapa perang modern, khususnya di Timur Tengah dan Afrika. Misalnya, selama Perang Teluk, pembakaran sumur minyak oleh pasukan Irak menyebabkan polusi udara yang signifikan, melepaskan gas sulfur dioksida dan senyawa kimia beracun lainnya ke atmosfer, yang berdampak buruk pada kesehatan masyarakat dan ekosistem lokal. Di Afrika, banyak konflik yang berdampak signifikan terhadap sumber daya alam, misalnya di Republik Demokratik Kongo (DRC). Milisi di wilayah tersebut sering terlibat dalam penambangan ilegal, yang menyebabkan pencemaran air dan tanah. Perang di negara-negara seperti Sudan dan Republik Afrika Tengah juga berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan melalui perusakan hutan dan sumber daya air.
ADVERTISEMENT
Kerusakan yang disebabkan oleh konflik bersenjata sering kali tidak hanya berdampak langsung pada manusia, namun juga berdampak pada flora dan fauna, sehingga menimbulkan efek berjenjang yang memperburuk perubahan iklim global. Polusi bahan kimia akibat konflik sering kali menyebar ke wilayah yang lebih luas melalui saluran air dan arus udara, sehingga memperburuk krisis lingkungan di luar zona pertempuran.
Dalam menghadapi krisis lingkungan yang semakin mengkhawatirkan, perhatian dunia terhadap anggaran militer yang terus meningkat menunjukkan ketidakadilan yang mencolok. Ketika negara-negara lebih memilih untuk memperkuat kekuatan militer mereka daripada berinvestasi dalam solusi untuk menyelamatkan planet kita, kita harus mempertanyakan prioritas global yang ada. Anarki dalam hubungan internasional, di mana setiap negara bertindak berdasarkan kepentingan nasionalnya sendiri, telah menciptakan lingkungan yang tidak kondusif untuk kerja sama dalam mengatasi tantangan besar seperti perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Dampak dari konflik bersenjata tidak hanya menghancurkan kehidupan manusia, tetapi juga merusak ekosistem yang kita andalkan untuk bertahan hidup. Dari polusi udara akibat pembakaran sumber daya hingga penggundulan hutan yang tak terhindarkan, efek jangka panjang dari perang terhadap lingkungan sangat merugikan. Dengan demikian, penting bagi kita untuk menyadari bahwa jika bumi kita hancur, semua senjata dan kekuatan militer tidak akan memiliki arti.
Oleh karena itu, sudah saatnya bagi masyarakat sipil dan pemimpin dunia untuk bersatu dalam menuntut perubahan. Kita perlu mengalihkan fokus dari pengeluaran militer yang berlebihan ke investasi dalam keberlanjutan dan perlindungan lingkungan. Hanya dengan cara ini kita dapat memastikan bahwa generasi mendatang tidak hanya mewarisi dunia yang aman dari konflik, tetapi juga satu yang layak huni dan berkelanjutan. Mari kita renungkan: di tengah ancaman nyata terhadap kehidupan kita, apakah masih ada tempat untuk senjata?
ADVERTISEMENT