Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Benarkah Media Sosial Memicu Perilaku Agresif Kita?
13 Juli 2021 15:25 WIB
·
waktu baca 7 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 14:04 WIB
Tulisan dari Kelik Novidwyanto Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa minggu belakangan, jagad media sosial kita dihebohkan perseteruan Artis Shandy Aulia dengan seorang wanita di laman instagram. Pemilik akun @laprilya19 itu menyebut putri Shandy Aulia, Claire, kurang gizi. Bahkan ia menyamakan perkembangan sulung pelakon film Eiffel I'm in Love itu dengan binatang.
ADVERTISEMENT
Dirundung geram, Shandy Aulia menggandeng pengacara Hotman Paris Hutapea untuk melacak dan mensomasi pelaku perundungan. Ternyata Si Perundung yang diketahui bernama Laura ini bukanlah anak baru gede (ABG) labil atau iseng. Ia seorang dewasa, berpendidikan tinggi dengan pekerjaan yang baik di Manado.
Si Perundung akhirnya gentar juga. Buru-buru menyampaikan permohonan maaf dan mengaku tersulut amarah dan berkata kasar lantaran Shandy sering membuat kontroversi. Ia juga merasa diacuhkan saat berusaha memberi nasihat tentang tumbuh kembang putri Shandy. Di akhir penuturannya, wanita ini menegaskan jika sebenarnya ia menyayangi Claire.
Kisah perundungan di media sosial sepertinya kian marak dan cenderung mengganas. Netizen tak segan-segan mengeluarkan hujatan atau kata-kata kotor untuk mengungkapkan isi pikirannya. Media sosial nampaknya telah menggiring masyarakat untuk memunculkan agresivitas. Perilaku menyerang, mendominasi, melukai atau mencelakakan individu lainnya secara verbal.
ADVERTISEMENT
Mengenali media sosial
Secara umum, ‘Social Media’ atau Media Sosial (medsos) diartikan sebagai media online (daring), di mana para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi (konten). Jenis media sosial bisa berupa blog, jejaring sosial (WhatsApp, Instagram, Facebook, Twitter, Telegram), Wikipedia, Youtube, forum, dan dunia virtual lainnya.
Menurut Boyd dan Ellison (2007), Social Networking Site (SNS) atau media sosial didefinisikan sebagai suatu layanan berbasis web yang memungkinkan setiap individu untuk membangun hubungan sosial melalui dunia maya. Seperti membuat suatu profil tentang dirinya sendiri, menunjukkan koneksi seseorang dan memperlihatkan hubungan apa saja yang ada antara satu member dengan member lainya dalam sistem yang disediakan.
J.A. Barnes (dalam Nawawi M.R, 2008) menyebut media sosial sebagai struktur sosial yang terdiri dari elemen-elemen individual atau organisasi. Jejaring ini merupakan suatu jalan di mana seseorang bisa bergabung karena memiliki kesamaan sosial, mulai dari mereka yang dikenal sehari-hari sampai dengan keluarga.
ADVERTISEMENT
Selain media sosial, kita juga mengenal istilah “netizen” atau warganet sebagai kombinasi warga (citizen) dan Internet yang artinya "warga internet". Mengutip laman wikipedia.com, kata netizen merujuk pada seseorang yang aktif dalam komunitas maya atau Internet pada umumnya. Istilah ini juga umum ditujukan kepada kepentingan dan kegiatan aktif di Internet, sebagai wadah sosial dan intelektual, atau struktur politik di sekitarnya. Khususnya terkait akses terbuka, netralitas internet dan kebebasan berbicara. Warganet juga bisa diartikan sebagai warga siber atau cyber citizen.
Jika melihat filosofi terciptanya media sosial, sejatinya bertujuan mulia untuk mempermudah komunikasi, memperkecil jarak, serta mendobrak sekat-sekat di masyarakat. Idealnya media sosial tumbuh menjadi sebuah alat untuk menyambung silaturahmi.
Media sosial menumbuhkan agresivitas
ADVERTISEMENT
Media sosial nyatanya malah tumbuh menjadi sarang berputarnya hoax (hoaks). Alat paling efektif dan efisien untuk menyebarkan berita bohong, menggiring opini, melakukan agitasi, pemerasan, dan penipuan. Ketidakmampuan masyarakat untuk melakukan filter (penyaringan) terhadap informasi yang masuk, menyebabkan hoaks via social media terasa alot untuk diberantas.
Jika mengutip data Google berdasarkan rata-rata akses internet kurun waktu 2019 ke belakang, dalam waktu 60 detik terdapat 16 juta pesan terkirim, 4,1 juta video dilihat di Youtube. Setidaknya ada 46.200 konten diunggah di Instagram, 3,5 juta pencarian di Google, 342.000 aplikasi diunduh di Playstore, $751,522 transaksi belanja online, 900.000 login Facebook serta 452.000 tweet dikirim.
Media Sosial juga menggiring tumbuhnya agresivitas. Kita lebih sering menemui hujatan-hujatan dan makian di laman facebook, instagram atau twitter. Contoh kasus perundungan yang menimpa Claire, putri Shandy Aulia menjadi bukti begitu gampangnya netizen untuk menghujat netizen lainnya. Begitu mudah mengeluarkan kata-kata tidak pantas lalu meminta maaf.
ADVERTISEMENT
Agresivitas diartikan sebagai perilaku fisik atau verbal (lisan dan tulisan) yang disengaja dan bertujuan untuk melukai orang lain. Jika terdapat perilaku yang dapat menyakiti atau melukai orang lain tetapi tidak dilakukan secara sengaja tidak dapat dikatakan sebagai agresi.
Myers (2012) mendefinisikan agresivitas sebagai perilaku fisik atau verbal yang dimaksudkan untuk menyebabkan kerusakan. Agresivitas ini terdiri dari Hostile aggression dan Instrumental aggression. ‘Hostile aggression’ berasal dari kemarahan yang bertujuan melukai, merusak, atau merugikan, sedangkan ‘Instrumental aggression’ merupakan agresi yang bertujuan untuk melukai, merusak atau merugikan tetapi hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan lainnya.
Sementara menurut Baron (2002), tingkah laku yang termasuk dalam agresivitas mencakup empat faktor, yaitu: tujuan untuk melukai atau mencelakakan, individu yang menjadi pelaku, individu yang menjadi korban dan ketidakinginan korban menerima tingkah laku si pelaku.
ADVERTISEMENT
Penelitian yang dilakukan oleh Slaters,dkk (2003) membuktikan bahwa penggunaan media sosial dapat meningkatkan agresivitas pada remaja baik agresivitas secara verbal (lisan dan tulisan) maupun non verbal. Agresivitas ini muncul ketika peran dan fungsi naluriah (insting) individu menjadi lebih dominan dibandingkan peran dan fungsi logika.
Hilangnya fungsi logika atau biasa disebut ‘logical fallacy’ (sesat pikir) dalam penggunaan media sosial dipicu oleh ketiadaan tatap muka langsung (interaksi fisik) serta rasa aman anonimitas (penggunaan nama samaran), sehingga pelaku merasa bebas untuk melakukan tindakan sesuka hatinya tanpa ‘ewuh pakewuh’ (rasa segan).
Emha Ainun Najib (Cak Nun) berseloroh bahwa media sosial bisa membuat seseorang menjadi pengecut dan lari dari tanggung jawab. Netizen bebas berbicara dan berekspresi tanpa lebih dahulu memikirkan konsekuensi dari tindakannya alias bertanggungjawab. Acap kita temui orang-orang yang terlihat cerewet, keras, dan radikal di media sosial, padahal sesungguhnya pendiam di dunia nyata.
ADVERTISEMENT
Contoh pengaruh media sosial terhadap logical fallacy (sesat pikir) bisa ditunjukkan melalui beberapa ciri: (1) Menyerang karakter atau kehidupan personal lawan untuk meruntuhkan argumennya (2) Memanipulasi tindakan emosional untuk membuktikan sebuah pendapat (3) Menggunakan pendapat orang lain sebagai ‘expert’ walaupun sebenarnya bukan (4) Menghindari kritikan dengan cara mengkritik kembali orang yang mengkritiknya (5) Menggunakan cerita personal untuk membuktikan fakta universal, serta (6) berasumsi bahwa bila sebuah prinsip benar untuk sebuah kondisi, maka prinsip itu akan berlaku untuk kondisi lainnya.
Agresivitas ini diperparah dengan maraknya konten-konten pornografi, informasi bohong (hoaks), propaganda, ujaran kebencian, serta foto-foto sadis yang dengan bebas bisa diakses oleh semua orang.
Bijak bermedia sosial
Selain memicu munculnya agresivitas sebagai dampak negatif dari penggunaan media sosial, sesungguhnya ada banyak dampak positif yang dapat kita manfaatkan. Ibarat pisau, media sosial bermata dua. Pisau bisa digunakan untuk memotong sayuran atau mengancam orang lain. Bagaimana niat kita menggunakannya, begitulah kita akan memperoleh manfaatnya.
ADVERTISEMENT
Salah satu dampak positif dari penggunaan media sosial adalah fasilitasi terhadap silaturahmi, pertemanan dan komunikasi dengan orang lain tanpa batasan jarak dan waktu. Beberapa ajaran agama bahkan meyakini bahwa melalui persambungan silaturahmi yang baik maka akan terbukalah pintu-pintu rezeki.
Keuntungan nyata yang diperoleh dengan menggunakan media sosial, kita dapat menjalin kembali pertemanan atau silaturahmi yang terputus, bisa bergabung dalam beragam komunitas yang bermanfaat bagi pengembangan diri (personal development), bisa mendapat informasi dengan murah dan cepat, dapat menyalurkan hobby, serta dapat dimanfaatkan sebagai sarana bisnis.
Maka, bijak dalam menggunakan media sosial sangatlah penting. Menurut Cak Nun, Tuhan menyuruh manusia untuk tadabbur. Artinya “memikirkan, berpikir atau merenungkan”. Pengguna media sosial harus mampu menahan diri untuk tidak melakukan agresivitas dengan membiasakan menimbang segala sesuatu, berpikir logis tentang manfaat dan mudharat suatu tindakan.
ADVERTISEMENT
Hari-hari ini, tambah Cak Nun, keberadaan Media Sosial sudah seperti pantat karena keberadaan dubur. Tadabbur telah diplesetkan menjadi dubur. Sebab, terkadang yang keluar sudah tanpa kontrol. Jika tidak dikontrol, artinya ada yang salah dalam tubuh komunikasi masyarakat kita.
Untuk mengontrol perilaku masyarakat pengguna media sosial, pemerintah melalui Kementrian Komunikasi dan informasi memberikan beberapa tips yang sekiranya dapat kita lakukan: (1) Usahakan tidak memasang nama dan profil lengkap di sosmed karena bisa memicu terjadinya tindak kejahatan, (2) Tidak sembarang memasang foto dan video pribadi di medsos. Karena seperti yang pertama, rentan terhadap timbulnya tindak pelecehan atau kejahatan.
Selanjutnya, (3) Berhati-hati dalam mengekspresikan perasaan, karena bisa saja orang tidak nyaman atau risi terhadap sikap kita. Bisa saja postingan Anda termasuk jenis dalam ujaran kebencian. Jadi berhati-hatilah dalam mengekspresikan perasaan. (4) Biasakan mengecek kebenaran setiap informasi yang diterima lewat internet. Jangan gampang men-share berita tanpa klarifikasi. Bisa saja berita itu hoaks, tidak valid atau bahkan mengandung provokasi dan perselisihan.
ADVERTISEMENT
Kemudian (5) Jangan mengklik link atau konten yang tidak jelas. Mungkin sekali itu berisi malware, spam, trojan atau phising. Karena malware, spam, trojan atau phising seringkali merupakan jebakan hacker. Yang terakhir, (6) Hindari mengakses konten atau situs-situs terlarang, seperti konten pornografi. Karena jika itu terjadi, data kita akan tersimpan di dalam server sebagai pengakses situs cabul itu.
Dus, ada baiknya mengutip pandangan spiritual Cak Nun, bahwa seseorang yang telah mengenal jati dirinya (wening), tak akan mudah larut ke dalam realitas di jagad media sosial. Karena dunia simulacra (dunia maya) itu berada di luar dirinya. Jika yang di dalam (batin/pikiran) telah wening (damai, stabil), maka hiruk-pikuk di luar tidaklah berarti.
Orang yang mengenal dirinya akan memilih merendah, ‘semakin berisi, semakin merunduk’. Artinya menutup semua pintu-pintu bagi sikap agresi (merasa paling tahu, paling benar), dan memilih duduk bersama, belajar bersama, sinau bareng.
ADVERTISEMENT