Drama Ikatan Cinta, Jatuh Cinta, dan Mencintai

Kelik Novidwyanto Wibowo
Sejak kuliah telah menekuni dunia penulisan baik sebagai penulis maupun penyunting. Menyelesaikan studi S-1 di jurusan Ilmu Ekonomi Pembangunan, di Kota Jogja. Tahun 2021, menempuh studi Magister Manajemen di UST, Yogyakarta.
Konten dari Pengguna
25 Mei 2021 13:58 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kelik Novidwyanto Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mencintai itu seni, artinya bisa dipelajari. Mencintai tidak terjadi tiba-tiba. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Mencintai itu seni, artinya bisa dipelajari. Mencintai tidak terjadi tiba-tiba. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Cinta menjadi momok sepanjang peradaban umat manusia, dari sinilah takdir indah atau bencana bermula. Kita mengenal kisah percintaan tragis ala “Romeo and Juliet” William Shakespeare, Minke-Annelies “Bumi Manusia” atau “Layla Majnun” karya sastrawan Persia asal Azerbaijan Nezami Ganjavi. Kita juga termehek-mehek oleh kisah cinta indah ala Adam-Hawa, Amongrogo-Tambangraras “Centhini”, Rama-Sinta “Ramayana” karya Valmiki, sampai kisah cinta Aldebaran-Andin di sinetron “Ikatan Cinta”.
ADVERTISEMENT
Begitu mengasyikkan membincangkan cinta, sampai-sampai para emak rela nongkrong berjam-jam di layar kaca demi menyaksikan romantisme Al dan Andin di layar kaca. Ketulusan Andin dan sikap jual mahal Mas Al pelan namun pasti memelintir definisi cinta dalam kaca mata emak-emak. “Sudah ganteng, kaya raya, tegas lagi,” puji Bu Ita, seorang ibu rumah tangga menggambarkan sosok Aldebaran.

Jatuh Cinta

Lepas dari intrik siapa sebenarnya pembunuh Roy dan apakah Elsa bakal ketahuan belangnya, sinetron Ikatan Cinta berfokus pada bagaimana kebahagiaan seorang istri bernama Andin berkelindan. Seakan Andin menjadi perwakilan mimpi para emak yang berharap memiliki sosok suami perfect bernama Aldebaran. Ciri fisik, kekayaan dan standar kepribadian Mas Al menjadi prasyarat kebahagiaan atau alasan seorang wanita mencintai. “Duh, bahagianya ya andai punya suami kayak Mas Al,” ujar Mba Javi, tetangga sebelah rumah.
ADVERTISEMENT
Melalui pengertian di atas, laki-laki dianggap menarik bila memiliki standar atau model tertentu yang diinginkan wanita. Begitu pula sebaliknya, laki-laki mempunyai standarnya sendiri tentang sosok wanita seperti apa yang patut dicintai. Misal secantik Luna Maya, seanggun Citra Kirana atau seseksi Anya Geraldine.
Orang-orang bisa memutuskan jatuh cinta ketika menemukan objek-objek yang dianggapnya layak dicintai. Objek-objek itu dianggap sebagai “juru selamat” dari problem manusia modern, yaitu rasa sepi dan keterasingan.
Mereka menganggap jatuh cinta sama dengan rasa suka, datangnya tiba-tiba, seperti kebetulan (refleks) berdasarkan objek-objek yang dipilih. Seorang lelaki yang baru sekali ketemu sesosok wanita bisa saja memutuskan jatuh cinta. Perasaan jatuh cinta (falling in love) akan muncul dan tumbuh ketika syarat-syarat atau komoditas yang ditawarkan terpenuhi.
ADVERTISEMENT
Namun cinta yang berlandaskan objek-objek ini sesungguhnya lemah dan cenderung rapuh. Jika diandaikan dua orang yang awalnya saling asing kemudian berjumpa lalu memutuskan merobohkan tembok kesendirian dan kesepian.
Setelah tembok-tembok lenyap dan mereka semakin dekat, merasa satu, dunia seakan menjadi milik berdua. Maka kedua insan yang tengah dimabuk cinta ini, menganggap percintaan mereka teramat indah dan mempesona.
Namun seperti hukum Gossen, ketika keduanya telah benar-benar saling mengenal, keintiman yang semula dirasa menyenangkan dan memesona perlahan memudar dan hambar. Keindahan berubah menjadi rasa jijik, pesona menjadi benci, rasa senang menjadi kecewa, hingga berujung pada pertentangan, pertengkaran sampai keterasingan. Akhirnya semua kembali menjadi tembok baru bernama kesendirian dan sepi.

Mencintai dan Problem “Keterpisahan”

Orang menganggap lebih sulit mencari objek untuk dicintai dibanding mencintai. Padahal persoalan utamanya bukan “apa” yang pantas dicintai tapi “bagaimana” mencintai secara sehat. Menurut psikolog Erich Fromm dalam bukunya “The Art of Loving”, mencintai bukan terletak pada keinginan untuk dicintai dan memiliki, melainkan wujud nyata untuk memberi (aktif).
ADVERTISEMENT
Ketika seseorang merasakan atau menganggap dirinya jatuh cinta, perlu diteliti lagi apakah itu bukan sekadar perasaan sesaat. Seorang pecinta haruslah aktif, belajar memahami apa itu cinta dan bagaimana cara mencintai yang baik. Setelah seorang jomblo diterima cintanya lalu berpacaran atau menikah, PR-nya tidak berhenti di situ. Mencintai bukan sebuah pencapaian melainkan proses pembelajaran terus-menerus.
Dalam Ngaji Filsafat, Dr. H. Fahruddin Faiz, S.Ag., M.Ag membedah seni mencintai ala Erich Fromm dengan analogi seorang penulis. “Mencintai itu seni, artinya bisa dipelajari. Mencintai tidak terjadi tiba-tiba,“ ujarnya. “Ibarat penulis, bisa saja kita menemukan objek bagus untuk ditulis. Tapi tanpa pengetahuan tentang cara menulis yang benar, tak akan tercipta sebuah tulisan. “
Menurut Fajar Nurcahyo dalam tulisannya “Erich Fromm dan Konsep tentang Mencintai” di laman lsfcogito.org, problem utama memahami makna “mencintai” terletak pada anggapan bahwa mencintai adalah persoalan mencari objek yang menarik untuk dimiliki, bukan suatu kemampuan untuk menerima, memahami, dan berbagi.
ADVERTISEMENT
Idealnya manusia tak perlu sibuk mencari siapa yang layak dicintai tapi fokus menjadikan diri sebagai seorang “pecinta”. Pecinta sejati akan memahami apa yang diinginkan dari kemampuan untuk menerima, memahami, dan berbagi. Yaitu pemahaman bahwa persoalan mencintai bukan terletak pada keinginan untuk dicintai dan memiliki, tapi wujud nyata untuk memberi.
Wujud nyata untuk memberi itu berasal dari kesadaran akan terbatasnya masa kehidupan manusia serta fakta bahwa manusia terlahirkan dan mati di luar kendali dan kehendaknya. Manusia juga menyadari bahwa kemungkinan ia mati mendahului orang-orang yang dicintainya. Pada akhirnya manusia menyadari keterpisahan dan kesendiriannya. Fromm menyebut kesadaran akan keterpisahan dan kesendiriannya itu sebagai penjara eksistensi manusia. Oleh karena itu, manusia perlu membebaskan diri dari penjara mengerikan itu dengan cara “memberi”, bukan dengan mengharap untuk menerima.
ADVERTISEMENT
Menurut Fromm, memberi dalam cinta, dapat menyelamatkan manusia dari kesadaran akan keterpisahan. Tapi upaya menyelamatkan diri dari rasa keterpisahan itu tak jarang menjebak manusia dalam 3 (tiga) perilaku kontraproduktif, yaitu: perilaku orgiastik, konformitas, dan kesatuan simbiotik.
Pengalaman orgiastik ini diwujudkan dalam bentuk perilaku seksual serta menenggelamkan diri dalam pengaruh candu alkohol dan obat-obatan terlarang. Penyelesaian mengatasi keterpisahan melalui model ini hanya menghasilkan rasa keterpisahan yang semakin dalam, karena tindakan yang tak disadari oleh cinta tidak akan bisa menghubungkan jiwa suatu pasangan, kecuali hanya sementara.
Sedang konformitas menjadi jalan yang ditempuh untuk mencari ketentraman dengan cara melenyapkan batas individu ke dalam komunitas-komunitas. Masalahnya, dalam konformitas suara individu lenyap digantikan suara komunal, meski dalam kesatuan tetap ada perbedaan yang dihormati. Konformitas juga memicu lahirnya penyeragaman dan rutinitas dalam kesatuan yang membuat manusia melupakan kesadaran bahwa dirinya sesungguhnya unik dan berbeda.
ADVERTISEMENT
Walaupun begitu, bentuk konformitas lebih diminati ketimbang bentuk orgiastik atau konsumsi alkohol dan obat-obatan karena sifat konformitas yang tenang sebagai pereda ketegangan yang muncul dari rasa keterpisahan.
Cara mengatasi keterpisahan selanjutnya adalah melalui kesatuan simbiotik. Cara ini mempunyai 2 (dua) bentuk, yaitu pasif dan aktif. Kesatuan simbiotik dalam bentuk pasif diwujudkan dalam sikap patuh, tunduk atau masokisme (menjadi bagian dari orang lain yang mampu mengendalikannya), mengarahkan dan melindungi. Orang lain itu (misal suami) adalah segala-galanya, sementara dirinya (si aku/istri) bukan apa-apa. Aku hanya bagian darinya, tidak independen, dan tidak punya integritas.
Sementara bentuk aktif dari kesatuan simbiotik adalah dominasi atau sadisme, yaitu menjadikan orang lain sebagai bagian dari dirinya. Memaksa dan membuat orang lain agar tunduk dan menyembah kepadanya. Secara umum, perbedaan kesatuan simbiotik pasif (masokisme) dan aktif (sadism) adalah tindakannya. Pribadi sadistik mengukuhkan eksistensinya lewat tindakan memerintah, mengeksploitasi, menyakiti atau menghina sedang pribadi masokhistik mengungkapkan dirinya dengan membiarkan dirinya diperintah, dieksploitasi, disakiti bahkan dihina.
ADVERTISEMENT

Cinta yang matang

Eric Fromm melalui “The Art of loving” mencoba memaknai cinta melalui kerangka pemikirannya. Baginya, mencintai adalah seni yang bisa dipelajari dan dikembangkan, sifatnya aktif bukan pasif. Namun lebih dari itu, cinta harus dialami dan dipraktikkan dalam kehidupan nyata.
Menurut psikolog kelahiran Jerman itu, cinta yang matang adalah bentuk kesatuan dengan seseorang di bawah kondisi tetap mempertahankan integritas dan individualitas masing-masing. Dua sosok yang menjadi satu namun sesungguhnya tetaplah dua.
Melalui jalan mencintai manusia berhasil menanggalkan penjara kesendirian dan isolasi akibat kesadaran akan keterpisahan. Namun pada tingkatan tertentu, seorang pecinta bisa saja terjebak dalam cinta yang tidak produktif yaitu narsisme dan egosentrisme. Bentuk narsisme dan egoisme ini digambarkan melalui perilaku berlebih-lebihan menunjukkan kepada publik rasa cintanya kepada pasangan, serta tindakan mencintai tanpa memiliki kepedulian kepada orang lain.
ADVERTISEMENT
Padahal Fromm mengatakan, jika benar-benar mencintai seseorang, kita harus mencintai semua orang, mencintai seluruh dunia, mencintai kehidupan. Jika bisa mengatakan kepada orang lain, “Saya mencintai kamu”, maka saya juga harus mampu mengatakan, “Saya mencintai semua orang, saya mencintai seluruh dunia, saya mencintai kamu dan juga diriku.”
Bagi Fromm, cinta yang matang haruslah memberi sumbangan kepada peradaban, bukan cinta kekanakan (infantile) yang eksklusif. Bentuk cinta juga tak melulu erotis (pria-wanita), ada cinta kepada orang tua, sesama dan Tuhan. Pada prinsipnya, mencintai adalah persoalan kemampuan yang disadari, bukan tidak disadari atau bahkan dikendalikan. Kemampuan ini diwujudkan melalui tindakan memberi, bukan menerima.
Namun tindakan memberi ini bukanlah tindakan mengorbankan, tidak ada yang dikalahkan dan harus tunduk atau dimenangkan dan harus menguasai. Bukan pula bentuk pengorbanan yang ditujukan agar mendapatkan imbalan sebagai motif.
ADVERTISEMENT
Contoh memberi ini dapat digambarkan melalui relasi suami-istri yang tidak terbatas pada laku seksual saja. Ketika seorang istri menyerahkan dirinya kepada sang suami melalui janji di hadapan Tuhan, artinya bukan hanya kelamin atau tubuhnya saja yang diberikan. Si istri memberikan sesuatu yang paling berharga dari dirinya yaitu kehidupannya. Di dalamnya termaktub segala kegembiraan, pemahaman, pengetahuan, kesedihan, dan segala hal lain yang termanifestasi dalam dirinya.
Melalui tindakan memberi itu, si istri telah meningkatkan perasaan hidup orang lain (suaminya) melalui peningkatan perasaan hidupnya sendiri. Si istri tidak memberi untuk berharap imbalan, karena ketika si istri memberi, sesungguhnya otomatis memendarkan kegembiraan luar biasa kepada dirinya sendiri. Tindakan memberi ini sudah sangat membahagiakannya, apalagi ketika yang diberi pun merasakan kegembiraannya. Segala kenikmatan memberi itu memancar kembali kepadanya.
ADVERTISEMENT
Seperti ucapan Fromm, “Hanya butuh satu detik untuk mengatakan ‘I love you’, tapi butuh waktu seumur hidup untuk membuktikannya.” Mencintai sesungguhnya tak pernah ada batas akhirnya.