Konten dari Pengguna

Generasi Stroberi: Nampak Indah, Tapi Sebenarnya Rapuh

Kelik Novidwyanto Wibowo
Sejak kuliah telah menekuni dunia penulisan baik sebagai penulis maupun penyunting. Menyelesaikan studi S-1 di jurusan Ilmu Ekonomi Pembangunan, di Kota Jogja. Tahun 2021, menempuh studi Magister Manajemen di UST, Yogyakarta.
23 Februari 2025 10:36 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kelik Novidwyanto Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernah melihat buah stroberi? Warnanya kemerahan, sebesar duku. Bentuknya mungil dan indah. Tapi hati-hati jikalau memegangnya, buah ini mudah rusak saking rapuhnya.
ADVERTISEMENT
Sosok buah stroberi ini menjadi gambaran suatu generasi yang tampak menarik dari luar tetapi rapuh saat menghadapi tekanan.
Generasi Stroberi adalah mereka yang lahir dengan kemajuan teknologi tetapi rapuh di dalam. Foto: Pixabay.
zoom-in-whitePerbesar
Generasi Stroberi adalah mereka yang lahir dengan kemajuan teknologi tetapi rapuh di dalam. Foto: Pixabay.
Di dunia kerja, kita kerap menemui fenomena ini. Banyak perusahaan di Indonesia mengeluhkan para anak muda yang lebih mudah menyerah jika merasa tidak cocok dengan lingkungan kerjanya.
Anak muda ini tidak kuat menerima kritik atau ketika tidak mendapat apresiasi. Bagi mereka, kritik dari atasan atau rekan kerja dianggap sebagai serangan pribadi, bukan sebagai masukan untuk berkembang. Alih-alih melakukan introspeksi, mereka cenderung melakukan "quiet quitting" (bekerja seperlunya saja) atau malah resign.
Istilah Generasi Stroberi (Strawberry Generation) pertama kali muncul di Taiwan, diperkenalkan oleh seorang jurnalis dan penulis Taiwan, Wu Ruojun pada awal tahun 2000-an. Wu menggambarkan generasi muda Taiwan yang tumbuh dalam kondisi ekonomi yang lebih baik, tapi kurang memiliki ketahanan mental dan fisik dibandingkan generasi sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Kiwari, kita cenderung mengkotakkan generasi stroberi pada sosok Generasi Z yang lahir di medio 1997-2012 dan Generasi Alpha, yang lahir setelah 2013. Mereka ini generasi yang diasuh oleh gadget dan dibesarkan oleh media sosial.
Pesatnya perkembangan teknologi dan media sosial memang menjadi salah satu pemicu lahirnya fenomena Generasi Stroberi. Mereka tumbuh di era digital, di mana media sosial menjadi sebuah kebutuhan mendasar.
Kehidupan di media sosial sering kali menampilkan standar kesuksesan yang tidak realistis, sehingga memunculkan insecure atau rasa minder. Interaksi yang didominasi aktivitas virtual, secara otomatis mengurangi keterampilan sosial mereka di dunia nyata.
Selain aspek teknologi, peran pola asuh orang tua juga sangat berpengaruh. Banyak orang tua, terutama dari generasi Boomer dan Gen X, ingin memberikan kehidupan yang lebih baik bagi anak-anak mereka.
ADVERTISEMENT
Pola asuh yang overprotektif alias terlalu melindungi, atau dikenal sebagai helicopter parenting membuat anak-anak tak terbiasa menghadapi tantangan sendiri. Akibatnya, mereka kurang mandiri, sulit mengambil keputusan sendiri, dan mudah menyerah saat menghadapi kesulitan.
Untuk mengatasi fenomena Generasi Stroberi, diperlukan solusi dari berbagai pihak, mulai dari individu, hingga institusi pendidikan dan keluarga.
Dari sisi individu, anak muda perlu meningkatkan ketahanan mental. Mereka perlu belajar menerima kegagalan sebagai bagian dari proses belajar. Mengembangkan growth mindset, melihat kesalahan sebagai kesempatan untuk berkembang, serta mengurangi ketergantungan pada validasi sosial dari media sosial.
Mereka juga perlu meningkatkan kemampuan problem solving., yaitu belajar menyelesaikan masalah sendiri tanpa bergantung pada orang lain.
Selanjutnya, anak muda perlu menyeimbangkan digital dan real life. Artinya, mereka perlu belajar mengurangi screen time dan perbanyak interaksi sosial langsung. Anak-anak muda bisa didorong untuk mengembangkan hobi atau kegiatan yang tidak melibatkan gadget.
ADVERTISEMENT
Dari sisi pendidikan, sekolah haruslah mengajarkan keterampilan hidup (Life Skills)”. Artinya, harus lebih banyak menekankan problem solving, manajemen emosi, dan keterampilan komunikasi daripada sekedar mengejar nilai atau prestasi akademik.
Nah, ini aspek yang paling penting, yaitu dari sisi keluarga. Orang tua haruslah menghindari pola asuh overprotektif. Daripada mengekang, orang tua dapat memilih memberikan kebebasan anak untuk mencoba dan gagal. Orang tua perlu mengajarkan anak untuk menghadapi konsekuensi dari keputusan mereka sendiri.
Menurut pakar psikolog, kebiasaan mendorong anak untuk bertanggungjawab dengan melakukan tugas rumah tangga sejak kecil, dapat mengajarkan nilai-nilai tanggung jawab, kerja keras dan memupuk ketahanan mental anak.
Ketika anak dibesarkan dengan terlalu banyak perlindungan dan kemudahan, mereka tidak terbiasa menghadapi kesulitan. Akibatnya, mereka kurang mandiri, rapuh, mudah menyerah, dan sulit menghadapi tekanan.
ADVERTISEMENT
Tanpa pola asuh yang melatih ketahanan mental sejak kecil, factor-faktor eksternal seperti teknologi, media sosial, atau tekanan akademik akan semakin memperburuk kondisi mental mereka.
Dus, walaupun dianggap rapuh, Generasi Stroberi sebenarnya anak-anak yang melek teknologi dan memiliki segudang kreativitas. Sebagai generasi penerus, yang mereka butuhkan adalah pendekatan berbeda untuk berkembang.
Pola asuh orang tua yang tepat, pendidikan yang menanamkan life skills, serta lingkungan sosial yang suportif dapat membantu mereka menjadi generasi yang lebih kuat, kreatif dan inovatif.