Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
‘Grit’, Cara Memaknai Kegagalan dan Sesal dengan Ketabahan
2 Juli 2021 14:54 WIB
·
waktu baca 4 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 13:53 WIB
Tulisan dari Kelik Novidwyanto Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernahkah merasa menyesal karena mengambil keputusan yang salah? Salah memilih pekerjaan, salah memilih jurusan kuliah, sampai salah memilih pasangan hidup. Atau ketika menyesal karena bertahan pada hal yang sebenarnya tak ada gunanya.
ADVERTISEMENT
Ada kalanya rasa sesal muncul karena kegagalan. Menyesal karena gagal masuk universitas impian, gagal lulus tes ujian CPNS atau rasa sesal karena gagal membina hubungan yang baik dengan pasangan dan orang tua.
Segala bentuk kegagalan dalam hidup pasti memicu rasa kecewa, amarah, rasa malu pada diri sendiri dan terutama memunculkan rasa sesal. “Ah, andai dulu aku memilih pasangan yang tepat, pasti hidupku ga menderita seperti ini.”
Penyesalan memang selalu datang belakangan. Mau marah pada diri sendiri tapi kok rasanya pedih. Mau memaafkan diri sendiri kok juga sulit. Seolah-olah kita terikat dengan rasa sesal itu, tak bisa berlari atau melepaskan diri walau sudah berusaha menghindar. Lalu bagaimana cara mengatasi rasa sesal dan mengelolanya bagi pengembangan diri (growth mindset) kita?
ADVERTISEMENT
Memahami Penyesalan
Sebenarnya apa sih penyesalan? Rasa sesal muncul ketika ekspektasi tidak berjalan sesuai kenyataan. Ketika pikiran membandingkan dua hal: rasa indah di angan-angan dan pahitnya kenyataan. Kala kita membandingkan hasil saat ini dengan keputusan di masa lalu.
Menurut Janet Landman, Ph.D, psikolog sosial dari Universitas Boston, penyesalan adalah keadaan kognitif dan emosional yang menyakitkan karena menyesalkan kemalangan, keterbatasan, kehilangan, kelemahan, pelanggaran, atau kesalahan.
Senyampang dengan Landman, Zeelenberg & Pieters (2007) menyebut penyesalan sebagai emosi yang memberi arah pada suatu perilaku, di mana dapat digambarkan ketika sebuah ekspektasi yang kita miliki tidak sesuai pada kenyataan yang terjadi.
Secara umum, seperti merujuk laman satupersen.net, rasa sesal memiliki 2 (dua) karakteristik. Yaitu penyesalan jangka pendek dan penyesalan jangka panjang. Penyesalan jangka pendek dipicu oleh tindakan yang baru saja kita perbuat. Misal penyesalan karena kamu memutuskan resign dari pekerjaan sehingga tidak mempunyai penghasilan.
ADVERTISEMENT
Sementara penyesalan jangka panjang biasanya dipicu oleh tindakan yang tidak pernah kita ambil. Misal penyesalan karena kamu tidak pernah mencoba melamar pekerjaan impianmu karena takut gagal. Akhirnya kamu benar-benar gagal sebelum mencoba. Rasa sesal karena tidak pernah mencoba bakal lebih menyakitkan dibanding ketika mencoba kemudian gagal.
Rasa sesal sendiri dikategorikan sebagai emosi negatif. Dalam rasa sesal terkandung emosi sedih yang mendalam (grief), apatis (apathy), rasa bersalah (guilt) dan malu (shame). Namun ibarat dua mata koin, emosi negatif ini bisa menjadi bermanfaat ketika sanggup menjadikannya pelajaran. Tapi sebaliknya, emosi ini bisa menjadi toxic (racun) ketika terus-menerus larut dalam penyesalan sehingga menjadi over thinking yang pada akhirnya merusak diri sendiri.
Menurut Landman penyesalan sesungguhnya memiliki beberapa makna, yaitu teguran, pelajaran, pengerahan, dan perilaku etis. Mampu mengambil hikmah sehingga membuat lebih bijaksana di masa depan.
ADVERTISEMENT
Rasa sesal yang berlebihan kadang membuat kita menutup diri dan takut mencoba. Padahal rasa sesal karena takut mencoba bakal lebih membekas dibanding penyesalan jangka pendek. Rasa takut mencoba juga bakal membuat kita gagal memetik pelajaran atau hikmah dari kegagalan yang terjadi.
‘Grit’, Kekuatan Ketabahan
Kita bisa saja mengambil pelajaran dari kegagalan sekaligus meminimalisir beban penyesalan. Seperti semakin mengenali potensi diri (self knowledge, self love dan self care), belajar memitigasi risiko gagal dengan persiapan matang, serta membuat kita mempunyai sudut pandang baru yang lebih luas.
Namun tidak hanya berhenti di situ, kita perlu mempunyai kekuatan dan daya tahan untuk survive dan bertumbuh. Kekuatan itu bernama ‘Grit’ alias ketabahan. Konsep ketabahan ini diperkenalkan oleh Angela Lee Duckworth melalui bukunya “Grit, The Power of Passion and Perseverance”.
ADVERTISEMENT
Profesor psikologi di University of Pennsylvania kelahiran 1970 ini membahas mengenai rahasia pencapaian seseorang dalam hidup. Menurut Angela, pencapaian bukan ditentukan oleh bakat tetapi gabungan dari passion dan kegigihan. Kombinasi keduanya disebut dengan “grit” alias ketabahan.
Grit bisa juga disebut sebagai resep membuat seseorang melakukan sesuatu hal terus-menerus walaupun sudah gagal berkali-kali. Dalam bukunya, Angela mengisahkan tentang karakteristik para taruna di Akademi Militer West Point Amerika Serikat.
Untuk bisa masuk ke Akademi Militer ini ternyata lebih sulit dibanding masuk ke Universitas Harvard. Bukan hanya harus memiliki skor tertinggi tetapi calon taruna juga harus memiliki ketahanan fisik dan mental seperti baja. Walaupun begitu, tetap saja beberapa calon taruna banyak yang memutuskan keluar setelah diterima.
ADVERTISEMENT
Taruna yang bisa melewati tahun pertamanya di West Point rata-rata memiliki setidaknya 3 (tiga) karakteristik; yaitu passion (gairah) yang tinggi, bersemangat, serta tahu ke mana akan melangkah. Mereka ini yang disebut Angela sebagai karakteristik manusia dengan Grit level tinggi.
Seiring bertambahnya usia, Grit level juga akan terus meningkat simultan dengan bertambahnya kompilasi pengalaman. Artinya, kekuatan ketabahan ini tidaklah statis melainkan bisa berkembang. Lalu bagaimana jika kita memiliki Grit level rendah?
Setidaknya ada 4 ciri Grit (ketabahan) yang kita butuhkan: 1.) Kesukaan (interest), lakukan hal yang kamu sukai. Pada awalnya kita mencoba banyak hal namun seiring berjalannya waktu kita akan benar-benar mengetahui dan menemukan minat kita. 2.) Latihan (practice). Sesuka apapun kita pada sesuatu namun tanpa latihan yang konsisten dan sungguh-sungguh maka kita tidak akan bisa berkembang.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, 3.) Tujuan (purpose). Apakah alasan kamu melakukan sesuatu selalu didorong keinginan untuk berkontribusi. Biasanya orang mengembangkan keahlian dan minatnya bertahun-tahun sebelum mereka menemukan tujuan hidup mereka. 4.) Harapan (expectation). Kita selalu membutuhkan harapan bahwa usaha yang kita lakukan akan menghasilkan masa depan yang lebih baik. Kekuatan inilah yang akan menjadi alasan untuk kita bertahan dan bangkit setiap mengalami kegagalan.
Perkembangan Grit level seseorang ternyata sangat ditentukan oleh lingkungan. Menurut Angela, lingkungan yang kondusif berperan penting bagi pertumbuhan Grit level kita. Lingkungan itu dibaginya menjadi 3 (tiga) unsur.
Pertama, Parenting. Parenting di sini tidak selalu berkonotasi antara orang tua dan anak, melainkan perilaku untuk mengembangkan orang lain. Orang yang memiliki Grit level tinggi biasanya setidaknya memiliki satu mentor yang memotivasi dirinya untuk mengembangkan potensi dirinya. Kedua, Tempat Latihan (ekstakulikuler). Anak-anak yang berpartisipasi aktif dalam kegiatan di luar kelas rata-rata mempunyai kemampuan yang lebih baik di banyak bidang.
ADVERTISEMENT
Ketiga, Budaya (culture). Nilai-nilai budaya yang kita anut akan menentukan keberhasilan hidup kita. Jika ingin hidupmu berubah bergabunglah dengan lingkungan yang tepat. Hindari hal-hal atau lingkungan yang toxic. Misalnya jika kita ingin menjadi fotografer yang andal maka bergabunglah dengan komunitas fotografi, atau ikuti kelas-kelas pelatihan fotografi.
Dus, menyesal karena kegagalan sebenarnya sangat manusiawi. Sebagai manusia kita dipaksa keadaan untuk mengambil keputusan atas beberapa pilihan. Namun menyesali keputusan yang telah diambil atau sama sekali tidak mengambil keputusan karena takut gagal adalah perjalanan hidup yang mungkin memang harus kita lalui. Dengan begitu kita bisa bertumbuh lebih bijak dan kuat, sekaligus tabah.